Senin, 11 November 2024

Kumpulan Manaqib Syekh Abdul Qadir



 

Kumpulan Manaqib Syekh Abdul Qadir

9 Bacaan

1/9

Bab Pertama


Dengan menyebut nama Allah Yang Maha Pengasih lagi Maha Penyayang. Segala puji bagi Allah, Dzat yang telah mengutus junjungan kita Nabi Muhammad ﷺ dengan syariat yang sempurna dan agama yang murni; Allah juga telah menghiasi kerasulannya dengan berbagai mukjizat; lagi memperkuatnya dengan para sahabat pemberani dan mendapat hidayah dari-Nya. Allah pun memberi keistimewaan kepada siapa yang dikehendaki-Nya, yakni orang-orang yang mengikuti agama-Nya, dengan menaikkannya menuju puncak makrifat dan hakikat, serta membanjirinya dengan samudera ilmu laduni serta ilmu lathifah dan pelita ilmu ketuhanan. Tak heran, mereka menjadi juru penunjuk umat dan perintis jalan Allah yang Mahaagung lagi Maha Mengetahui, mengajak hamba-hamba-Nya menuju setinggi-tingginya jalan yang lurus. Semoga Allah senantiasa mencurahkan rahmat dan salam-Nya kepada Sang Nabi dan para sahabatnya; dan juga semoga memberikan pertolongan kepada kita untuk mendapat hidayah melalui petunjuk-petunjuk mereka, mengikuti amalan-amalan mereka, serta mendapatkan cahaya mereka agar kebodohan yang pekat menjadi lenyap, selagi manaqib mereka masih semerbak mengharumkan telinga-telinga kesadaran, selagi kisah-kisah keutamaan mereka dibacakan, yang kemudian semua itu membangkitkan ketaatan kepada Allah.Setelah itu semua, orang yang membutuhkan kemurahan Dzat yang Mahamulia dan Maha Menyelamatkan, yakni Syekh Ja’far bin Hasan bin ‘Abdil Karim Al-Barzanji, berkata: Kitab manaqib ini hanyalah bagian kecil penjelasan perilaku wali quthub yang bisa memberi pertolongan, sebagai perantara agar terkabul tujuan, pimpinan para wali arif billah, imamnya para ulama yang berjalan di jalan Allah untuk meraih lautan haikat, yaitu seorang sayyid yang mulya, yang dirinya dijadikan sandaran yang amat kuat, keturunan bangsawan yang berderajat tinggi, memiliki perkumpulan majelis besar, yaitu sayyid besar Asy-Syekh Abdul Qadir Al-Jilani—semoga Allah mecurahkan keridaan kepadanya. Al-Fatihah.Semoga Allah mengantarkan diri Syekh Abdul Qadir yang kuat dan ramah kepada surga kedekatan dan surga pengharapan. Manakib ini bagai kalung yang tersusun dari untaian permata amalan dan petuah Syekh Abdul Qadir Al-Jilani agar dengan kata-kata mutiaranya itu telinga orang-orang yang hadir menjadi terhiasi, terutama oleh amalan penting Tuan Syekh dan amalan lainnya.Kami pilihkan kitab manaqib ini dari keterangan para ulama ahli tarekat dan para ulama yang berkeyakinan mantap, serta memiliki kecintaan yang kokoh kepada Syekh Abdul Qadir Al-Jilani, seperti waliyullah Syekh Abdul Wahan As-Sya’roni yang sudah terbukti kesuksesannya serta waliyullah Syekh Sirojid Dimisqiy penyusun kitab Nitajul Arwah.Karena terdorong rasa cinta, kami sebar luaskan manaqib para wali yang telah mencapai tingkat kesempurnaan amal, juga menyebarkan manaqib para wali yang terpilih, serta mengharapkan turunnya rahmat yang melimpah dan keberkahan yang deras, karena dengan menyebut-nyebut ihwal para ulama dan waliyullah, menyebabkan terbukanya pintu-pintu langit yang tinggi, juga turunnya awan kemurahan dari Allah. Dengan bahasa sederhana, kami uraikan kitab manaqib ini kepada orang-orang yang meridhai Tuan Syekh , dan memohon pertolongan dengan perantara rahasia-rahasianya. Maka orang-orang yang hadir hendaknya menyemarakkan nama Tuan Syekh , terutama orang yang membaca manaqib ini datang menyampaikan segala kabarnya. Selanjutnya, kami namai kitab manaqib ini dengan Al-Lujain Ad-Dani yang berisi sebagian manaqib (pekerti luhur) junjungan kita Syekh Abdul Qadir Al-Jilani—semoga Allah mecurahkan keridhaan kepadanya ﴾Al-Fatihah﴿.Selanjutnya kami katakan bahwa Abdul Qadir adalah Syekh yang sempurna, wali yang wusul (sampai) kepada Allah, dan insan pemilik kedudukan luhur dan mulia, pemilik martabat yang tetap, derajat yang sempurna, perilaku yang luhur, serta kesempurnaan yang tinggi. Ia adalah wali quthub yang ma’rifat kepada Tuhan, cahaya penerang hati, pemilik bentuk yang terhormat, dan penerima pertolongan cahaya, tepatnya Abu Muhammad Abdul Qadir Al-Jilani—semoga Allah mecurahkan keridhaan kepadanya (Al-Fatihah). Ia adalah putra Syekh Abi Shalih Musa Janki Dausat--ada pula yang menyebut Janka Dausat—bin Syekh Abdillah bin Yahya Az-Zahid bin Musa Al-Juni bin Abdillah Al-Mahdhi bin Al-Hasan Al-Mutsanna bin Al-Hasan As-Sibthi bin Ali bin Abi Tholib, juga putranya Syarifah Fatimah Az-Zahra, putri dari junjungan kita Nabi Muhammad ﷺ Sang Rasul.Garis nasab Syekh Abdul Qadir bagaikan sinar mentari di waktu dhuha, laksana cahaya menjulang di waktu subuh. Silsilah Syekh Abdul Qadir juga sudah kentara di wajah Nabi Adam a.s. Karena itu, malaikat langit diperintah bersujud kepada Adam a.s. Tak hanya itu, nasab ini pun sudah disanjung dalam Kitabullah. Sehingga siapa yang sengaja mengingkari silsilahnya akan terkalahkan dalilnya.
2/9

Bab Kedua


Syekh Abdul Qadir Al-Jilani—semoga Allah meridhainya—dilahirkan di dusun Jilan, kota terpencil di luar kota Thabaristan, pada tanggal 1 Ramadhan 471 H. Di saat masih bayi, Syekh Abdul Qadir tidak mau menetek siang hari di bulan Ramadhan, berkat pertolongan Allah padanya. Kemudian menjelang usia balig, Tuan Syekh sudah gemar belajar ilmu pengetahuan, mengunjungi para ulama yang mulia nan berilmu tinggi, dengan amalan-amalan salehnya guna mencapai derajat utama. Tak heran, jika kemajuannya di bidang ilmu lebih cepat dari terbangnya burung merak.

Syekh Abdul Qadir ra belajar fiqih kepada Syekh Abil Wafa ‘Ali bin ‘Aqil, kepada Syekh Abil Khatab Al-Kalwadzani Mahfudh bin Ahmad Al-Jalil, kepada Syekh Abil Husaini Muhammad bin Al-Qadhi Abi Ya’la, dan juga kepada para ulama yang berilmu luhur serta derajatnya yang mulya. Di bidang adab, Tuan Syekh belajar kepada Syekh Abi Zakariya Yahya bin Ali Ath-Tibrizi. Di situlah Syekh Abdul Qadir mengunakan kesempatan sebaik-baiknya untuk mengali berbagai hal bermanfaat dan sarat guna. Kemudian Syekh Abdul Qadir berbai’at dan belajar ilmu tarekat kepada seorang guru mursid yang arif billah, yaitu Syekh Abil Khairi Hammad bin Muslim Ad-Dabbas.

Kemudian Syekh Abdul Qadir meneruskan bai’at toriqohnya kepada Syekh Qodli Abi Sa’id Al-Mubarak. Ia pun meniru adabiyah sang guru yang sudah sempurnya. Tak henti-hentinya Syekh terpelihara atas inayah Allah, hingga derajat kewaliannya terus mendaki ke puncak kesempurnaan berkat cita-citanya yang luhur, membawa dirinya kepada kesungguhan, hingga jauh meniggalkan keramaian dan kebahagiaan dunia selama 25 tahun seraya menyusuri padang pasir dan tanah-tanah kosong Iraq. Sampai-sampai tidak mengenali dan tak dikenali orang-orang. Tak sedikit pula yang mencemooh dan tidak mau memperdulikan, karena keluarga yang menjadi tanggung jawabnya seakan-akan diabaikan. Pada mulanya, Tuan Syekh merasakan pengembaraannya banyak tantangan dan kehawatiran, tetapi kemudian tantangan dan kekhawatiran itu dapat dihadapinya dengan sabar hingga terus melanjutkannya.

Pakaian yang dipakainya adalah jubah dari berbahan bulu, kepalanya ditutupi secarik kain, berjalan tanpa sandal saat melintasi tempat-tempat berduri di tanah terjal. Yang demikian itu dilakukan Tuan Syekh karena tidak menemukan sandal. Sementara makanannya adalah buah buahan yang masih dipohon, sayuran yang sudah dibuang, serta daun rerumputan yang berada di tepian sungai. Namun, lebih seringnya, Tuan Syekh lebih banyak tidur dan tidak minum.

3/9

Bab Ketiga


Syekh Abdul Qadir Al-Jilani ra pertama kali masuk Irak ditemani Nabi Khadir a.s. Saat itu, Syekh belum mengenalinya hingga Sang Nabi memberikan sejumlah persyaratan kepada Syekh , di antaranya jangan sekali-kali menentang. Sebab, menentang akan menyebabkan perpisahan di antara keduanya. Kala itu, Nabi Khadir berpesan, “Duduklah engkau di tempat ini.” Maka duduklah Syekh Abdul Qadir di tempat yang disyaratkan hingga tiga tahun lamanya dimana setiap tahun sekali Sang Nabi datang menemui. Kemudian Sang Nabi kembali berpesan, “Jangan sekali-kali meningalkan tempat ini sampai aku datang lagi.”

Saat menunaikan riyadlah di emperan istana Raja Madani di malam yang sangat dingin, Syekh Abdul Qadir tertidur. Tiba-tiba ia bermimpi mengeluarkan mani. Seketika itu pula Tuan Syekh terbangun lalu pergi ke sungai untuk mandi besar. Kemudian ia tidur lagi, namun kembali bermimpi yang sama. Ia bangun lagi dan kembali pergi mandi. Kejadian itu terjadi hingga 40 kali dalam semalaman itu juga. Akhirnya Syekh Abdul Qadir naik ke atas pagar tembok emperan. Tujuannya agar tak tertidur lagi demi menjaga langgengnya kesucian dari hadats. Memang kebiasaan Syekh Abdul Qadir, bila berhadats ia terus berwudhu dan shalat sunnah dua rakaat sehingga dirinya selalu suci dan tidak lama menanggung hadats.

Tak henti-hentinya kesungguhan Syekh Abdul Qadir dalam menjaga wudhu sampai kebiasaannya itu berhasil membawanya wusul kepada Allah dan tampak pancaran cahaya keindahan pada dirinya. Tampak pula sifat keluhuran di wajahnya. Dan tidak ada yang disadarinya selain apa yang ada pada dirinya. Pernah suatu ketika, Tuan Syekh berpura-pura bisu dan tunagrahita sampai berkali-kali diobati ke kota Marastan. Namun hal itu malah membuat kewalian Syekh kian tersohor melampaui keluhuran para ulama di zamannya. Keilmuan, amalan, kezuhudan, kemakrifatan, ketokohan, dan fatwa-fatwanya kian diterima khalayak banyak. Tak heran jika nama baiknya pun terus tersiar di ke seantero negari bagaikan peredaran matahari.

Dikisahkan, pernah pada suatu ketika seratus ulama ahli fiqih Baghdad berkumpul di hadapan Syekh Abdul Qadir. Masing masing mengumpulkan sejumlah masalah dan membawanya kepada Syekh Abdul Qadir guna menguji kemampuannya. Setelah para ulama itu duduk dalam majelis, Syekh pun menundukkan kepala. Tiba-tiba keluarlah cahaya terang dari dadanya menembus dada para ulama. Seketika itu pula hilanglah apa yang ada dalam hati mereka. Masalah-masalah yang sudah dipersiapkan pun hilang. Para ulama yang hadir pun bingung dan gemetar. Mereka berteriak sekeras-kerasnya. Bahkan tanpa sadar, mereka menyobek-nyobek pakaian dan membuka tutup kepala mereka. Tak lama Syekh Abdul Qadir naik ke atas kursinya seraya memberikan jawaban yang sudah tersimpan dalam hati masing-masing ulama yang hadir. Setelah menguraikan semua jawaban masalah, para ulama di majelis itu pun mengakui keunggulan Syakh Abdul Qadir. Dan sejak itu pula mereka tunduk kepadanya.

Syekh Abdul Qadir ra pernah mengajar tiga belas disiplin ilmu, antara lain: tafsir, hadits, perbandingan mazhab, ilmu ushul, nahwu, qira’at, dan sebagainya.

Syekh juga biasa memberi fatwa sesuai madzhab Imam Syafi’i dan imam Hambali. Semoga Allah meridhai keduanya.

Para ulama Iraq pun terkagum-kagum terhadap fatwa Tuan Syekh Abdul Qadir, sehingga terlontar ucapan mereka, “Mahasuci Allah yang telah memberikan padanya ilmu yang begitu luas.” Suatu ketika, Syekh Abdul Qadir pernah disodori masalah yang tak terpecahkan para ulama Baghdad. Masalahnya adalah: Ada seseorang yang bersumpah untuk menalak tiga istrinya, sementara orang tadi harus beribadah kepada Allah dengan ibadah yang tidak sedang dikerjakan orang lain pada waktu itu. Bagaimana orang itu bisa selamat dari sumpahnya dan ibadah apa yang harus ia kerjakan? Syekh Abdul Qadir ra menjawab seketika: Agar orang tadi selamat dari sumpahnya, maka ia harus pergi ke Makkah Al-Mukarramah, menunggu sepi orang yang ber-thawaf. Ketika sudah sepi, hendaknya ia ber-thawaf tujuh kali. Maka kepada Allah-lah, Syekh Abdul Qadir ra mengembalikan segala urusan. Dengan demikian telah bebaslah orang itu dari sumpahnya dan tidak mempunyai tanggungan apa-apa.

4/9

Bab Keempat


Syekh Abdul Qadir berpakaian dengan pakaian ulama besar, yaitu pakaian yang menutupi muka dan kepala, serta berkendara dengan kendaraan keledai. Saat menghormati tamu, Tuan Syekh membuka kerudungnya dan saat mengajar, ia duduk di kursi tinggi agar dirinya terlihat dan ucapanya terdengar jelas. Terkadang Syekh Abdul Qadir seperti berjalan di angkasa, kemudian kembali lagi duduk di kursi. Dan hal itu disaksikan orang-orang yang hadir. Dan perlu diketahui, waktu Tuan Syekh hanya dipergunakan untuk taat kepada Allah semata.

Pelayan dekat Tuan Syekh , yakni Syekh Abu Abdillah Muhammad bin Abdil Fatah Al-Harawi mengatakan, “Saya menjadi pelayan Syekh Abdul Qadir--(Al-Faatihah)—selama 40 tahun. Selama itu bila shalat subuh, beliau masih menggunakan wudhu isya. Kalau berhadats segera memperbaruhi wudhunya dan menunaikan shalat sunnah dua rakaat. Selain itu, setelah shalat isya, beliau masuk kamar pribadi. Tidak seorang pun bisa masuk dan membukanya. Dan beliau tidak keluar sebelum terbit fajar. Bahkan, Raja Baghdad yang berkali-kali ingin bertemu Tuan Syekh pada malam hari, tidak bisa menemuinya.

Syekh Abdul Fatah bercerita, “ Saya pernah bermalam di rumah Tuan Syekh . Saya melihat, beliau shalat sunnah sebentar pada permulaan malam, kemudian berdzikir mengingat Allah sampai sepertiga malam. Setelah itu, beliau membaca Asmaul A’dham yang sembilan, yaitu: Al-Muhithu, Arrabbu, Asy-Syahidu, Al-Hasibu, Al-Fa’aalu, Al-Khallaqu, Al-Khaliqu, Al-Bari-u, Al-Mushawwiru, hingga tubuh beliau naik ke atas dan menghilang dari pandanganku. Kemudian, beliau kembali ke kamarnya, shalat dengan khusyu’, dan membaca Al-Qur’an hingga habis sepertiga malam kedua.

Adalah shalat beliau sujudnya sangat panjang, kemudian duduk menghadap kanjiwanya kehadirat Allah, muroqobah kepada-Nya sampai terbit fajar dengan sopan dan merendah berdoa kepada Allah sehingga beliau tertutup penuh olehcahaya terang, dengan nampak terang jelas, sehingga menyilaukan pandanganmata sampai Syekh Abdul Qadir tidak terlihat karena tertutup oleh cahaya. Syekh Ibnu Abil Fatah juga berkata: Kemudian saya mendengar di sampingnyaada yang mengucapkan salam Assalaamu’alaikum, kemudian Syekh Abdul Qadirmenjawabnya, keadaan demikian ini terjadi sampai Syekh Abdul Qadirmengerjakan shalat fajar.

Syekh Abdul Qadir ra telah berkata, “Tak sepantasnya seorang ahli tasawuf memulai dan bertindak sebagai mursyid, kecuali telah dianugerahi Allah ilmu para ulama, siasat para raja, kebijaksanaan para ahli hikmah.”

Syekh Ibnu Fatah juga mengatakan: Pada suatu hari, ada seorang melapor kepada Syekh Abdul Qadir bahwa dirinya mengaku pernah melihat Allah ta’ala dengan kedua matanya. Kemudian Tuan Syekh bertanya, “Benarkah apa yang dikatakan orang-orang bahwa engkau pernah melihat Allah dengan kedua matamu?” Orang tadi menjawab, “Iya benar.” Akhirnya Syekh Ibnu Abil Fatah melarang untuk mendengar jawaban orang tersebut. Syekh Abdul Qadir pun melarang hal itu seraya membentaknya kemudian berpesan untuk berhati-hati agar jangan sampai ucapanya diulang kembali. Selanjutnya, Syekh menoleh kepada mereka yang hadir seraya menanyakan, “Pengakuan seperti itu benar atau salah?” Tuan Syekh melanjutkan, “Dia benar, tapi dalam kebimbangan. Sesungguhnya yang melihat cahaya keindahan Allah adalah mata hatinya, kemudian mata hatinya itu menembus kedua mata kepalanya. Mata kepalanya itulah yang bisa melihat mata hatinya, kemudian cahaya mata hatinya menyatu dengan cahaya keindahan Allah, sehingga orang itu ber-prasangka bahwa mata kepalanya melihat apa yang sebenarnya dilihat mata hatinya. Sekali lagi, yang dapat melihat cahaya keindahan Allah hanyalah mata hati, tetapi ia belum mengerti. Mendengar jawaban Syekh Abdul Qadir tadi, para ulama dan ahli tarekat gemetar dan terkagum-kagum.

Syekh Ibnu Abdil Fatah berkata: Pada suatau ketika, Syekh Abdul Qadir melihat seberkas cahaya berkilauan menerangi ufuk langit. Tidak lama kemudian menampakkan diri, cahaya itu memanggil-manggil, “Wahai Abdul Qadir ra (Al-Fatihah), aku adalah Tuhanmu, sungguh aku perbolehkan untukmu semua yang diharamkan.” Maka Syekh Abdul Qadir menjawab, “A’ûdzu billâhi minasy syaithânir rajîm,” (yang artinya: Aku berlindung kepada Allah dari syetan yang terkutuk.” Seketika itu juga cahaya tadi berubah menjadi gelap dan menyerupai awan dengan berteriak keras, “Wahai Abdul Qadir, (Al-Fatihah), selamatlah engkau dari tipu sesatku berkat ilmumu tentang Tuhanmu dan berkat pemahamanmu tentang kedudukanmu. Sungguh aku sudah menyesatkan seperti yang terjadi pada tujuh puluh orang ahli tarekat lainnya.” Setelah selamat dari godaan setan, Tuan Syekh kemudian memuji Allah dengan mengucap, “Anugerah dan keselamatan hanya karena Tuhanku.” Lalu ditanyakan kepada Tuan Syekh , “Bagaimana Syekh bisa tahu bahwa itu adalah setan?” Syekh Abdul Qadir menjawab, “Dari ucapanya: Telah aku perbolehkan bagimu apa yang diharamkan. Karena setahuku, Allah ta’ala tidak akan memerintah berbuat keji.”

5/9

Bab Kelima


Syekh Abdul Qadir ra tidak mau mengagung-agungkan orang kaya walau sekadar berdiri karena kedatangan seorang raja atau orang-orang yang dianggap berkedudukan. Dan seringkali saat raja bermaksud untuk berkunjung kepada Syekh dan beliau sedang duduk-duduk, kemudian beliau tinggalkan masuk ke kamar pribadinya. Kemudian beliau keluar lagi menemui setelah raja tadi duduk. Hal ini dilakukan semata demi memuliakan para ahli tasawuf yang tidak tertarik kepada kedudukandan dunia dan tidak pernah berdiri hormat sekedar menyambut kedatangan raja. Selain itu, Tuan Syekh juga tidak pernah mau berdiri di depan pintu raja dan menteri, atau menerima hadiah dari penguasa, sampai-sampai ada raja yang merendahkannya karena gara-gara Tuan Syekh tidak mau menerima pemberian. Kala itu, Tuan Syekh Abdul Qadir berkata pada raja, “Kalau begitu silahkan bawa sendiri hadiah itu ke sini.” Raja pun menyanggupinya lalu membawa buah apelny sendiri untuk Tuan Syekh . Namun, saat akan dikonsumsi, tiba-tiba buah apel hadiah sang raja penuh darah dan nanah. Syekh Abdul Qadir kembali berkata kepada raja, “Mengapa raja selalu mencemooh dan mencelaku? Padahal aku tidak mau buah apel, sebab semua buah itu penuh dengan darah dan nanah manusia.” Kemudian, sang raja meminta maaf dan bertaubat di hadapan Tuan Syekh . Sejak itu, raja sering berkunjung kepada Tuan Syekh sebagaimana kebanyakan orang. Ia pun menjadi sahabat Tuan Syekh hingga wafatnya.

Syekh Abdul Qadir ra mempunyai derajad tinggi. Namanya harum ke mana-mana. Terkenal mau menghormati fakir miskin, menemani duduk mereka, membersihkan sendiri kutu-kutu yang ada di pakaia mereka. Beliau juga penah mengatakan, “Seorang fakir yang mau bersabar lebih utama dari orang kaya yang bersyukur. Namun orang fakir yang bersyukur lebih utama dari keduanya, kemudian orang fakir yang mau bersabar dan bersyukur, lebih utama dari semuanya. Selain itu, tidaklah senang dan merasa nikmat menerima petaka, kecuali orang yang tahu kepada Dzat yang menurunkan petaka tersebut, yaitu Allah.

Syekh Abdul Qadir juga berkata, “Ikutilah sunnah Rasulullah dan jangan berbuat bid’ah. Berbaktilah kepada Allah dan rasul-Nya. Jangan sampai keluar dari Islam. Bersabarlah dan jangan menggerutu. Berharaplah untuk mendapatkan kesejahteraan dan jangan pernah putus asa! Berkumpullah dengan majelis dzikir kepada Allah ta’ala dan jangan bercerai-berai! Bersihkan dirimu dengan bertaubat dari segala dosa dan jangan melumurinya dengan noda. Teruslah menghadap pintu Allah untuk memohon ampunan.

Syekh Abdul Qadir juga berkata: Janganlah engkau menginginkan kenikmatan dan menolak ujian. Sebab kenikmatan menghubungkanmu dengan pembagian Allah, baik diharapkan maupun tidak. Demikian pula cobaan, meski engkau tak menyukainya, pasti datang menimpamu. Maka serahkanlah segala urusan kepada Allah, Dzat Yang Maha Berbuat apa pun yang dikehendaki-Nya. Tatkala kenikmatan datang menghampirimu, sibukkanlah diri dengan mengingat Allah dan bersyukur. Sementara bila cobaan yang datang, sibukkanlah diri dengan kesabaran dan kesadaran. Kemudian, jika engkau ingin mendapat tempat yang lebih tinggi lagi dari semula, maka kau harus rida dan berusaha menikmati ujian. Ketahuilah bahwa ujian turun bukan untuk membinasakan orang mukmin, tetapi untuk mengujinya.

Syekh Abdul Qadir juga mengatakan: Tidak boleh terjadi bergaul dengan Dzat yang Hak kecuali orang-orang berusaha membersihkan diri dari segala noda dan dosa. Dan tidak akan dibuka kecuali bagi orang-orang yang mengosongkan dari macam-macam pengakuan diri dan dan perbuatan meresahkan. Ketika kebanyakan yang terjadi pada manusia adalah tidak mau membersihkan diri, maka Allah akan menguji mereka dengan berbagai penyakit sebagai kafarat dan pembersih dosa-dosa. Selain itu agar mereka layak bergaul dengan dan mendekat kepada Allah. Hal itu terjadi, baik mereka sadari maupun tidak.

6/9

Bab Keenam


Di antara karomah Syekh Abdul Qadir adalah pakaiannya tidak pernah dihinggapi lalat, karena mewarisi Sang Eyang, yaitu Rasulullah ﷺ. Orang yang melihatnya pernah menanyakan alasannya? Syekh Abdul Qadir menjawab, “Untuk apa lalat hingap di tubuhku. Bukankah pada diriku tidak ada tujuan meraih nikmat dunia dan madu akhirat?”

Di antara karomah lain Tuan Syekh adalah, satu ketika ia duduk mengambil air wudhu. Tiba-tiba tubuhnya kejatuhan kotoran burung emprit. Ia lantas mengangkat kepala. Saat itu pula si burung jatuh dan mati. Tuan Syekh lalu melepas pakaian dan mencucinya. Setelah itu, pakaian tersebut disedekahkan sebagai tebusan burung yang mati. Tuan Syekh berkata, “Bila pada diriku ada dosa, maka itulah tebusannya.”

Karomah berikutnya, ada seorang perempuan datang kepada Tuan Syekh membawa putranya lalu dipasrahkan kepadanya (Al-Fatihah) supaya menjadi santrinya dan belajar ilmu suluk. Anak si perempuan pun diterima, kemudian diperintahkan memerangi nafsunya serta menjalankan ibadah sebagaimana dilakukan oleh para ulama salaf. Suatu hari ibunya sowan kepada Tuan Syekh . Terlihatlah anaknya menjadi kurus. Si ibu kemudian masuk ke dalam kamar Tuan Syekh dan melihat di depanya ada tulang-tulang ayam sisa makannya. Sang ibu lantas menanyakan arti dari semua keadaan itu. Syekh pun menjawab pertanyaan itu dengan cara meletakkan tanganya di atas tulang-tulang tadi seraya berkata, “Berdirilah atas izin Allah, Dzat yang menghidupkan tulang-tulang yang hancur.” Maka seketika tulang-tulang itu berdiri kembali menjadi ayam dan bersuarah dengan suara unik, “Lâ ilâha illallâh muhammadur rasûlullâh asy-syekhu abdul qâdir waliyyullâh” (Tidak ada Tuhan yang wajib disembah melainkan Allah, Nabi Muhammad adalah utusan-Nya, dan Syekh Abdul Qadir adalah kekasih-Nya)—semoga Allah mecurahkankeridaan kepada Tuan Syekh (Al-Fatihah). Setelah itu, Tuan Syekh berkata lagi kepada si ibu tadi, “Jika anakmu sudah mampu berbuat seperti ini, maka ia boleh makan apa saja.”

Karomah berikutnya lagi, pada suatu hari, ketika angin sedang bertiup kencang, ada seekor burung elang di atas majelis pengajian Tuan Syekh dengan suara keras sehingga cukup menggangu orang-orang yang hadir di majelis. Kemudian Tuan Syekh berkata, “Wahai angin, potonglah kepala burung itu.” Seketika itu pula jatuhlah burung itu dengan keadaan kepala terputus. Kemudian Tuan Syekh turun dari kursinya, dan mengambil burung tersebut sambil mengelus-elusnya seraya membaca, “Bismillaahir rahmaanir rohiim.” Tiba-tiba burung itu hidup dan terbang lagi atas izin Allah ta’ala. Kejadian itu disaksikan oleh orang orang yang hadir di majelisnya.

Dalam karomaah lainnya, disebutkan Syekh Abu Umar Utsman As-Shairafi dan Syekh Abu Muhammad Abdul Haqqi Al-Harimiyah—semoga Allah merahmati keduanya—bercerita: Kami pernah berdampingan dengan Tuan Syekh saat berada di madrasahnya, tepat pada hari Ahad 3 Shafar tahun 555 H. Tuan Syekh saat itu berwudhu dengan klompennya lalu shalat dua rakaat. Usai salam, ia berteriak sekeras-kerasnya seraya melemparkan klompen yang satu sejauh-jauhnya ke atas sampai tidak kelihatan oleh pandangan kami, kemudian ia melakukannya lagi dengam klompen yang kedua. Kemudian Tuan Syekh duduk. Tidak ada seorang pun yang berani menanyakan kejadian itu. Setelah 23 hari sejak kejadian itu, datanglah serombongan musafir dari luar negeri. Mereka menyampaikan: Kami mempunyai nadzar. Maka kami mohon diizinkan untuk menghadap kepada Tuan Syekh. Beliau berkata kepada kami berdua, “Ambillah nadzar yang dibawa mereka.” Kemudian mereka memberikan barang nadzarnya yang berupa emas, pakaian sutera, pakaian berbulu, dan klompen milik Syekh Abdul Qadir. Maka kami bertanya kepada mereka tentang apa yang terjadi sesungguhnya? Mereka bercerita, “Pada hari Ahad tanggal 3 Shafar yang lalu, kami dalam perjalanan, tiba-tiba ada serombongan orang yang dipimpin dua orang. Mereka merampok harta kami dan kami pun turun ke tepi jurang. Selanjutnya, kami berunding hingga sepakat kalau harta kami bisa selamat melalui wasilah Syekh Abdul Qadir—semoga Allah mecurahkan keridaan kepadanya (al-Fatihah)—kami bernadzar akan memberikan sebagian harta itu kepada Tuan Syekh. Dan ternyata nadzar kami terkabulkan. Tidak lama sejak itu kami mendengar suara yang amat keras sebanyak dua kali hingga memekikkan telinga, bahkan berdesing hingga memenuhi seluruh lorong jurang. Kami melihat mereka begitu lelah, gemetar, dan ketakutan. Kami menduga bahwa mereka kedatangan perampok yang merebut hasil rampasan mereka. Tiba-tiba di antara mereka ada yang mendatangi kami dan berkata: Kemarilah kalian untuk ikut kami. Ambillah kembali hartamu dan periksalah apa yang membingungkan kami. Kemudian mereka membawa kami kepada kedua pemimpinnya. Ternyata kami mendapati mereka berdua telah meninggal. Sementara di sampingnya masing-masing ada klompen yang masih basah dengan air. Akibat kejadian itu, yang lain menjadi ketakutan hingga harta yang dirampasnya dikembalikan kepada kami. Mereka mengatakan, “Peristiwa ini menggemparkan dan tidak pernah terjadi sebelumnya.”

Karomah selanjutnya, pernah ada seorang laki-laki dari kota Asfihan berkunjung kepada Tuan Syekh untuk mengobati budak perempuannya yang sering tak sadarkan diri walau sudah diobati ke mana-mana. Kala itu, Syekh Abdul Qadir berkata: Ini gangguan jin dari goa Sarandib. Namanya jin Khanis. Apabila ia sakit lagi bacakan di telinganya: “Hai jin Khonis, Syekh Abdul Qadir—semoga Allah meridainya (Al-Fatihah)—yang tinggal di Baghdad mengatakan kepadamu, jangan kembali kalau tidak ingin binasa.” Tak lama laki-laki itu pula dan tidak datang lagi. Dua puluh tahun kemudian, si laki-laki datang lagi menghadap Tuan Syekh . Ketika ditanya, ia menjelaskan bahwa apa yang disarankan Tuan Syekh sudah dilaksanakan dan penyakit pun sembuh sampai sekarang. Bahkan sebagian tabib ahli jiwa berkomentar: Selama empat puluh tahun, kami menetap di Baghdad, tepatnya selama hidup Tuan Syekh Abdul Qadir Abdul Qadir—semoga Allah meridainya (Al-Fatihah)—di sana tidak ada seorang pun yang menderita sakit jiwa. Namun, setelah beliau wafat penyakit itu menjangkiti lagi.”

Dalam karomah lainnya, ada tiga orang guru dari negeri Jilan datang berziarah kepada Tuan Syekh . Sewaktu masuk rumah Tuan Syekh, mereka melihat kendi yang tidak menghadap kiblat dan seorang pelayan yang berdiri di sisi Tuan Syekh . Kemudian mereka saling memandang seperti sedang menunjukkan sikap tak senang kepada Tuan Syekh, sebab kendi yang tidak menghadap kiblat dan seorang pelayan yang berdiri di sebelahnya. Syekh Abdul Qadir lantas meletakkan kitab yang ada di tangannya terus memandang kepada mereka dan kepada pelayan. Saat itu juga sang pelayan meninggal. Lalu beliau memandang ke arah kendi. Tak disangka kendi pun berputar sendiri menghadap kiblat.

Karomah lainnya dikisahkan bahwa Abul Mudhaffar Hasan bin Tamimi Al-Baghdadi yang merupakan seorang pedagang, datang kepada Syekh Hammad bin Muslim bin Darwah Ad-Dabbas—semoga Allah memberi rahmat keduanya—pada tahun 521 H seraya berkata: Wahai junjungan, saya telah menyiapkan kafilah yang membawa dagangan seharga 700 dinar ke negeri Syam. Syekh Hammad berkata: Kalau kamu pergi pada tahun ini kamu akan terbunuh dan daganganmu dirampas. Setelah itu, Abul Mudhaffar keluar dari Syekh Hammad dengan membawa perasaan sedih. Di perjalanan, ia berjumpa dengan Syekh Abdul Qadir Abdul Qadir—semoga Allah mecurahkan keridhahan kepada beliau—(Al-Fatihah ), yang pada waktu itu masih berusia muda. Abul Mudhaffar lantas menceritakan apa yang dikatakan Syekh Hammad kepada dirinya. Syekh Abdul Qadir pun berkata kepadanya: Pergilah, niscaya engkau akan selamat dan pulang membawa keuntungan. Apa yang dikatakan Syekh Hammad, akulah yang bertanggung jawab. Abul Mudhaffar pun pergi ke negeri Syam. Dan ternyata benar saja, Abul Mudhaffar bisa menjual dagangannya seharga seribu dinar. Pada satu hari, tepatnya di wilayah Halab, Abul Mudhaffar masuk WC untuk menunaikan hajat. Ia kemudian meletakkan uang yang seribu dinar di gantungan WC. Rupanya, ketika keluar WC, ia lupa akan uangnya. Sesampainya di rumah, karena mengantuk dirinya tidur. Dalam tidurnya Abul Mudhaffar bermimpi berada dalam kafilah yang didatangi orang-orang Arab pedalaman yang merampas hartanya dan membunuh semua orang yang dibawa kafilah itu. Ada pula orang Arab pedalaman yang menghampirinya dan membunuhnya dengan pedang. Seketika ia terbangun sambil gemetar ketakutan dan menemukan bekas darah di lehernya disertai rasa sakit yang teramat sangat. Setelah teringat uangnya yang seribu dinar tertinggal, Abul Mudhaffar cepat-cepat bangun dan pergi ke WC di Halaba. Untungnya, uang tersebut didapatinya masih berada di tempat semula dengan selamat. Ia pun pulang ke Bagdad. Sesampainya di Baghdad, ia berkata dalam hati, “Jika aku menemui Syekh Hammad lebih dahulu, memang beliau lebih sepuh. Kemudian jika aku menemui Syekh Abdul Qadir—semoga Allah mecurahkan keridaan kepadanya (Al-Fatihah)—karena beliau memang perkataannya benar.” Sewaktu berpikir demikian di pasar Sulthan, Abul Mudhaffar berjumpa dengan Syekh Hammad dan berkata kepada dirinya: Wahai Abul Mudhaffar, mulailah engkau berkunjung kepada Syekh Abdul Qadir Al-Jailani. Karena beliau dicintai Allah dan beliau telah berdoa kepada Allah untukmu sebanyak tujuh belas kali, sehingga kepastian matimu yang sebenarnya hanya engkau rasakan dalam mimpi dan kepastian fakir yang akan menimpamu berubah hanya karena lupa saja. Kemudian Abul Mudhoffar pergi berkunjung kepada Syekh Abdul Qadir—semoga Allah mecurahkan keridhahan kepadanya (Al-Fatihah). Setibanya Tuan Syekh mendahului berkata, “Syekh Hammad telah mengatakan kepadamu bahwa aku berdoa kepada Allah tujuh belas kali. Demi kemuliaan Allah yang berhak disembah, sesungguhnya satu kali aku berdoa kepada Allah untukmu sebanyak tujuh belas kali dan satu kali lagi aku berdoa tujuh belas kali sampai tujuh puluh kali, sehingga terjadi seperti apa yang dikatakan Syekh Hammad.

Dalam karomah lainnya lagi, disebutkan bahwa Syekh Ali Al-Haity dan Syekh Syarif Abdullah bin Muhammad Abal Ghana-im—semoga Allah memberi rahmat keduanya—berkunjung ke rumah Syekh Abdul Qadir—semoga Allah mensucikan dirinya—Ternyata di sana sudah ada seorang pemuda yang sedang terkulai lemah. Pemuda itu pun memohon kepada Syekh Al-Haity ra, “Wahai junjunganku, mohonkan pertolongan kepada Syekh Abdul Qadir agar aku sembuh kembali.” Maka ketika disampaikan, Syekh Abdul Qadir pun memberinya pertolongan dengan mengatakan, “Sungguh aku berikan pertolongan kepadanya.” Maka keluarlah kedua Syekh itu menemui sang pemuda seraya memberitahukan bahwa Syekh Abdul Qadir sudah memberi pertolongan kepadanya. Seketika sang pemuda bisa berdiri lalu keluar melalui jendela rumahnya lalu terbang ke udara. Kemudian kedua syekh tadi kembali menghadap Syekh Abdul Qadir—semoga Allah mecurahkan keridaan kepadanya. Keduanya pun menanyakan ihwal pemuda tadi. Lantas Syekh Abdul Qadir menjelaskan bahwa pemuda tersebut sesungguhnya berkata dalam hatinya: Tidak ada di Baghdad ini seorang pun yang bisa sepertiku. Karena itulah aku lenyapkan kehebatannya. Kalau bukan karena Syekh Ali, kehebatannya tidak akan aku kembalikan.

Dalam karomah lainnya disebutkan bahwa Syekh Abul Hasan atau yang lebih dikenal dengan Ibnu Thanthanah Al-Baghdadi—semoga Allah merahmatinya—berkata pada hari wafatnya Syekh Abdul Qadir al-Jilani—semoga Allah meridainya (Al-Fatihah) dan semoga Allah mensucikan dirinya serta menerangi makamnya: Sewaktu belajar di pondok Syekh Abdul Qadir, aku tidak pernah tidur malam dikarenakan sibuk memperhatikan keperluan Syekh Abdul Qadir. Pernah pada suatu malam di bulan Shafar 553 H, Tuan Syekh kaluar dari rumah. Saat itu, aku menghaturkan sebuah kendi kepadanya, tetapi Tuan Syekh tidak mau menerimanya. Beliau malah menuju pintu madrasah, lalu memberi isyarat pada pintu tersebut. Tiba-tiba pintu pun terbuka sendiri. Syekh Abdul Qadir keluar sementara aku di belakangnya sambil berkata dalam hati, “Sungguh Syekh Abdul Qadir tidak tahu kalau sedang aku ikuti dari belakang. Tak lama pintu madrasah itu kembali menutup. Kemudian Tuan Syekh menuju pintu kota Baghdad. Dan pintu kota itu pun membuka sendiri setelah ditunjuk olehnya. Beliau berjalan sampai di satu tempat yang belum aku kenal. Beliau lalu masuk ke suatu tempat yang di dalamnya terdapat sebuah bangunan menyerupai pondok. Di dalam bangunan itu ada enam orang sedang duduk. Begitu melihat Syekh Abdul Qadir, mereka langsung berdiri mengucapkan salam hormat kapadanya. Sementara aku bersembunyi di belakang tiang pondok itu. Tak lama aku mendengar suara rintihan dari tempat itu. Sesaat kemudian suara rintihan tidak lagi terdengar. Kemudian masuklah seorang laki-laki ke tempat di mana rintihan tadi terdengar lalu keluar lagi sambil membopong seseorang. Ketika itu juga datanglah seorang yang tidak memakai tutup kepala serta berkumis panjang dan berhenti tepat di depan Tuan Syekh. Laki-laki itu kemudian diperintah berikrar mengucapkan dua kalimat syahadat, mencukur rambut dan kumisnya serta mengenakan tutup kepala. Terakhir, si laki-laki diberi nama Muhammad. Syekh Abdul Qadir lantas berkata kepada enam orang tadi, “Sungguh aku perintahkan demikian agar Muhammad ini menjadi pengganti orang yang meninggal tadi.” Maka enam orang tersebut menjawab, “Kami dengarkan dan akan kami laksanakan.” Setelah itu, Tuan Syekh meninggalkan mereka dan aku tetap mengikutinya secara diam-diam. Tidak seberapa lama berjalan, Tuan Syekh sudah sampai lagi di depan pintu Baghdad. Pintu itu pun kembali terbuka seperti tadi. Dan Tuan Syekh sampai lagi di depan pintu madrasah yang juga terbuka seperti yang terjadi sebelumnya. Tuan Syekh masuk rumah. Keesokan harinya, aku menghadap kepada Syekh Abdul Qadir untuk menguji. Begitu menghadap, aku merasa takut sendiri kerena pamor kewibawaannya. Sampai-sampai aku taku bisa membaca kitab. Namun dengan tenang, Tuan Syekh berkata, “Wahai anakku, bacalah. Tidak apa-apa.” Akhirnya, aku memberanikan diri meminta agar beliau berkenan menjelaskan kejadian yang aku lihat semalam. Dan beliau pun menjelaskan, “Tempat yang aku kunjungi itu namanya Nahawand. Sedangkan enam orang itu adalah wali abdal. Kemudian, orang yang merintih kesakitan adalah orang ketujuh dari mereka. Ketika orang sakit itu sampai ajalnya, aku datang untuk takziyah. Adapun orang yang membawa jenazahnya adalah Abul Abas yang lebih dikenal dengan sebutan Nabi Khidlir as. Ia mengambilnya untuk dirawat, dimandikan, dikafani, dan dishalati serta dikuburkan. Dan yang aku ikrarkan mengucapkan dua kalimat syahadat adalah Nashrani dari negeri Qusthonthiniyah untuk aku jadikan pengganti orang meninggal tadi. Sekarang ia menjadi pengganti dari mereka (wali abdal). Abu al-Hasan berkata, “Terakhir, Tuan Syekh mengambil sumpahku untuk tidak membocorkan rahasia itu kepada siapa pun selama Tuan Syekh masih hidup. Disampaikannya, ‘Awas jangan sampai menyebarkan rahasia ini selama hidupku.”

Syekh Abdullah Al-Mushaliy bercerita, ada seorang raja yang adil. Dikenal Al-Mustanjid Billah atau Abul Mudhaffar Yusuf. Ia datang menghadap Syekh Abdul Qadir—semoga Allah mensucikan dirinya dan memberi kesejahteraan kepada dirinya. Sang raja memohon dinasehati sambil membawa sepuluh kantong penuh berisi uang yang dibawa sepuluh pembantunya sebagai hadiah kepada Syekh. Namun Syekh Abdul Qadir menolak hadiah itu. Sang raja pun merasa kecewa seraya memaksa agar Syekh Abdul Qadir berkenan menerimanya. Akhirnya Syekh Abdul Qadir mengambil hadiah dua kantong saja. Tiba-tiba, mengalirlah darah dari dua kantong itu. Kemudian, Syekh Abdul Qadir berkata kepada sang raja, “Apakah raja tidak malu kepada Allah memeras darah rakyat kemudian diserahkan kepadaku dengan cara memaksa?” Seketika itu juga sang raja pingsan tak sadarkan diri. Syekh Abdul Qadir kembali berkata, “Demi Dzat Yang Mahaagung dan yang berhak disembah, seandainya aku tidak menghormati nasabnya yang bersambung dengan Rasulullah, pasti sudah aku biarkan darah itu terus mengalir sampai rumahnya.

Syekh Abdullah Al-Mushaliy kembali menceritakan, pada suatu hari, aku menyaksikan Raja Abul Mudhaffar Yusuf berada di depan Syekh Abdul Qadir. Sang Raja berkata, “Saya ingin melihat sebagian karomahmu guna menenangkan hati saya.” Syekh Abdul Qadir lantas bertanya, “Apa yang engkau kehendaki?” Jawab Sang Raja, “Saya menginginkan buah apel dari alam gaib.” Padahal di Iraq saat itu tidak sedang musim apel. Syekh Abdul Qadir kemudian menyodorkan tangannya ke udara. Tiba-tiba di tangannya sudah ada dua buah apel. Yang satu diberikan kepada raja dan satunya lagi dipegangnya. Kemudian Syekh Abdul Qadir memecah apel yang di tangannya. Tiba-tiba apel itu warnanya putih bersih, harum bagaikan minyak kasturi. Dan raja pun memecah apel yang di tangannya. Anehnya apel itu penuh dengan ulat. Sang Raja berkata, “Mengapa seperti ini, sedangkan apel yang di tanganmu bagus sekali.” Tuan Syekh menjawab, Wahai Abul Mudhaffar, apel ini di tangan orang lalim maka akan mengeluarkan ulat sebagaimana yang engkau lihat, sedangkan jika apel ini berada di tangan kekasih Allah, menjadi harum dan nikmat rasanya. Dan cerita apel ini sudah ada di muka, tepatnya dalam kisah raja yang menghaturkan hadiah untuk Syekh Abdul Qadir. Sesungguhnya karomah Tuan Syekh ini masih banyak dan lebih agung lagi dari apa yang sudah disampaikan. Semoga Allah yang Mahatinggi mencurahkan keridaan-Nya kepada Syekh Abdul Qadir dan kepada kita semua, serta menolong kita dengan pertolongan-Nya.
7/9

Bab Ketujuh


Syekh Abdul Qadir—semoga Allah mecurahkan keridaan kepadanya—mengatakan bahwa di antara bentuk mensyukuri nikmat, sesuai firman Allah, “Dan terhadap nikmat Tuhanmu, maka hendaklah kamu menyebut- nyebutnya,” (QS. Adl-Dluha [93]: 11) adalah: Tidaklah seorang muslim melewati pintu madarasahku, kecuali Allah akan meringankan siksa yang menimpanya pada hari kiamat. Dan diberitakan pula bahwa suatu ketika ada seorang yang menjerit-jerit dalam kuburnya. Kemudian, Syekh Abdul Qadir mendatangi kuburannya seraya berkata, “Sesungguhnya orang ini pernah mengunjungiku satu kali. Maka selayaknya Allah merahmatinya. Sejak itu tidak lagi terdengar suara menjerit-jerit dari dalam kubur tadi.”

Syekh Abdul Qadir—semoga Allah mecurahkan keridaan kepadanya—menuturkan bahwa suatu ketika Syekh Husain Al-Halaj pernah terpeleset dalam menjalankan kewaliannya. Hanya saja, waktu itu tidak ada seorang pun yang dapat menolongnya. Seandainya aku hidup di zamannya, tentu sudah aku tolong. Sebab, aku akan menolong orang-orang yang terpeleset, baik dari kalangan sahabat-sahabatku, murid-muridku, dan orang-orang yang sekadar cinta kepadaku sampai hari kiamat. Aku akan gandeng tangannya, baik mereka masih hidup maupun sudah meninggal. Disebabkan karena kudaku sudah terpasang pelananya, tombakku sudah tertancapkan, pedangku sudah terhunus, dan anak panahku sudah terpasang busurnya untuk menjaga muridku yang lalai.

Syekh Abdul Qadir—semoga Allah mencurahkan keridaan kepadanya—pernah menyatakan, “Aku ini ibarat api Allah yang telah dinyalakan. Aku ini wali Allah yang akan merobek setiap orang yang tidak mempunyai sopan-santun kepadaku. Aku diberi ilmu bagai lautan yang tak bertepi. Aku ini dijaga Allah. Aku adalah wali Allah yang diperhatikan. Wahai orang-orang yang berpuasa di siang hari, wahai yang bertahjud di malam hari, wahai orang-orang yang tinggal di gunung yang sudah dibinasakan gunung-gunugnya, wahai orang-orang ahli gereja yang sudah dirobohkan gereja-gerejanya, menghadaplah kalian untuk menaati perintah-perintah Allah. Wahai rijalullah, wahai wali abthal, wahai wali athfal, kemarilah kalian, ambillah ilmu dari waliyullah yang bagikan lautan yang tak bertepi. Wahai Tuhan Yang Mahaagung, Engkaulah satu-satunya yang menguasai mahluk di langit dan di bumi, dan aku adalah orang yang menyatukan hati hanya untuk musyahadah kepada-Mu di bumi. Siang dan malam telah disampaikan kepadaku sebanyak tujuh puluh kali: ‘Aku (Allah) telah memilihmu dengan Dzat-Ku.’ Dan sebanyak tujuh puluh kali disampaikan kepadaku: ‘Engkau diciptakan sebagai penghias mata-Ku.’ Demi keagungan Tukanku, orang-orang yang beruntung dan celaka diperlihatkan kepadaku dan diberhentikan di hadapanku. Sungguh, nur mataku ada yang tinggal di lauhil mahfudh. Aku adalah waliyullah yang bisa melihat kejadian yang telah lalu. Aku waliyullah yang pada hari kiamat dijadikan hujjah Allah untuk kamu sekalian. Aku menjadi pengganti dan pewaris Rasulullah. Dan telah dikatakan kepadaku, ‘Wahai Abdul Qadir, semoga Allah mecurahkan keridhahan kepadanya (Al-Fatihah)—bicaralah. Maka dari ucapanmu akan didengar dan dikabulkan.’” Syekh Abdul Qadir—semoga Allah mecurahkan keridaan kepadanya (Al-Fatihah)—barkata, “Demi Allah, aku tidak akan minum hingga disampaikan kepadaku, ‘Wahai Abdul Qadir—semoga Allah mecurahkan keridaan kepadanya (al-Fatihah)—dengan hak-Ku untukmu silahkan minum.’ Serta tidak makan hingga disampaikan kepadaku, ‘Atas hak-Ku untukmu, silahkan makan. Dan telah Aku telah selamatkan engkau dari segala hal yang merusak.’ Masa, tahun, bulan, minggu, dan hari, semuanya memberi salam kepadaku serta memberitakan kejadian-kejadian pada waktu- waktu tersebut.” Pada suatu ketika, Tuan Syekh berada di atas kursinya seraya berkata, “Apabila engkau meminta kepada Allah, maka mintalah dengan tawasul kepadaku.” --- (Waktu Doa Musjatab) Dilanjutkan membaca doa dengan bertawasul kepada Nabi Muhammad ﷺ, para Nabi dan Rasul, serta keluarga Nabi, sahabat, dan para wali. Terkhusus wasilah kepada Syekh Abdul Qadir Al-Jilani. ---

Disebutkan, keberadaan warna kulit Syekh Abdul Qadir ra adalah sawo matang, kedua alisnya bertemu, jenggotnya lebat dan panjang, dadanya bidang, fostur badannya ramping, tingginya sedang, suaranya nyaring dan merdu, mudah menetes air matanya, sangat takut kepada Allah ta’ala, besar kewibawaannya, doanya mustajabah, luhur budi pekertinya, ke atas maupun ke bawah, keturunannya baik, sejauh-jauhnya manusia dari perbuatan jahat, dan sedekat-dekatnya manusia kepada perbuatan yang benar, sangat murka bila mengetahui ada larangan Allah yang dilanggar, tidak marah karena menuruti hawa nafsu, tidak mau menolong selain karena Allah, tidak pernah menolak orang yang minta-minta walaupun yang diminta adalah baju satu-satunya, dan hanya pertolongan Allah yang menjadi dasar pokok hidupnya. Semua tarekat-nya dikuatkan Allah, ilmunya menjadi pembersih, kedekatan kepada Allah menguatkan kewaliannya, ingatnya kepada Allah dengan hudlur menjadi gudannya, makrifatnya menjadi benteng, munajatnya kepada Allah menjadi amaliahnya, kewaspadaannya sebagai penghubung diri kepada Allah, kemesraannya kepada Allah menjadi kawan berbincangnya, kelapangan hatinya menjadi kecintaannya, kebenaran menjadi lambang hidupnya, keterbukaan hati menjadi bekalnya, sifat santun menjadi wataknya, dzikir kepada Allah menjadi ucapannya, musyahadah kepada Allah menjadi obatnya, peraturan agama menjadi jembatannya, semua sifat ilmu hakikat menjadi kepribadiannya, menyerahnya hanya kepada ketentuan Allah dengan kesadaran tiada daya dan kekuatan kecuali atas pertolongan-Nya, tarekatnya memurnikan tauhid, meyakinkan keesaan-Nya, disertai hati yang hudlur saat menghamba kepada-Nya. Syekh Abdul Qadir adalah pribadi yang sangat menyadari hakikat dirinya sebagai hamba Allah, pribadi yang teguh beribadah kepada-Nya, bukan beribadah untuk sesuatu dan bukan pula karena sesuatu, tetapi tulus ikhlas karena kesadaran sebagai hamba yang tunduk pada sifat-sifat kesempurnaan Allah. Syekh juga hamba Allah yang agung, hamba yang selalu menyatukan jiwanya dengan Allah untuk berdzikir disertai ketaatan pada hukum-hukum Allah. Keistimewaan-keistimewaan Syekh Abdul Qadir—semoga Allah mecurahkan keridhahan kepadanya—masih banyak lagi, perilaku utamanya tampak jelas, bahkan lebih terang dari matahari di waktu dhuhur. Beliau wafat pada hari Jumat, tanggal 11 Rabi’ul Akhir 571 H. Umurnya 91 tahun. Makamnya di kampung Bebul Araj, Baghdad dan banyak dikunjungi orang dari berbagai penjuru dunia. Semoga Allah mecurahkan keridhahan kepadanya dan memberikan kemanfaatan kepada kita semua. Ya Allah, kabulkan, kabulkan.

8/9

Doa


Setelah apa yang kami inginkan tercapai dan apa yang menjadi tuju selesai, dengan rendah hati, kami angkat tangan ke hadapan Allah seraya berwasilah kepada Syekh Abdul Qadir Al-Jilani beserta keturunannya yang memiliki pribadi mulia dan perilaku terhormat. Kami panjatkan doa: Dengan menyebut nama Allah Yang Maha Pengasih ladi Maha Penyayang, Ya Allah, sesungguhnya kami memohon kepada-Mu dengan perantara nafas orang-orang yang makrifat, dengan perantara hamba-hamba agung yang mengetahui rahasia-rahasia suci, sebagai pewaris Nabi Muhammad ﷺ, yang mempunyai kedudukan tinggi di sisi Allah, dengan perantara orang-orang yang mengikuti jejak Syekh Abdul Qadir yang terang benderang, dengan perantara orang yang menimba air minum makrifat Syekh Abdul Qadir yang lebih manis dan lebih agung, untuk memberikan pertolongan kepada kami, juga dengan perantara keharuman nafas orang-orang yang mengikuti jejak Syekh Abdul Qadir. Dekatkanlah kami dengan orang-orang yang mengikuti jejak Syekh Abdul Qadir. Wahai arwah yang disucikan, wahai wali-wali pemungkas, wahai wali kutub, wahai wali yang menjadi dua imam, wahai wali paku jagat, wahai wali abdal, wahai wali yang waspada akan firman-firman Allah, wahai wali yang dermawan, wahai wali yang mengetahui batin manusia, wahai wali pembela agama Allah, wahai wali yang mempunyai budi pekerti luhur, wahai wali penyelamat, wahai wali yang ber ilmu, wahai wali yang lapang dada, wahai wali yang menjaga dan mengasihi jiwanya, wahai wali yang ahli menghormat tamu, wahai wali yang ahli mengumpulkan ilmu syariat, menjaga tarekat, hakikat, dan makrifat. Wahai wali yang ahli menjaga nafasnya dengan dzkir, wahai wali yang tidak kelihatan dan yang kelihatan di antara kami, wahai wali yang ahli meningkatkan ketaatan kepada Allah, wahai wali yang berwibawa dan memiliki keagungan, wahai wali yang yang terluka hatinya, wahai wali yang terus naik derajatnya, wahai wali yang ahli memerangi nafsunya, wahai wali penolong, wahai wali yang ahli menerima ilham yang jelas, wahai wali yang menjadi paku jagat yang kokoh, wahai wali kutub yang lunak hatinya, wahai wali yang menerima kabar dari rof-rof, wahai para wali yang menerima kabar dari ‘Arsy, wahai wali yang merasa cukup, wahai wali kutub yang sangat takut kepada Allah, wahai wali yang kuat keyakinannya denagn ilmu hikmah dan makrifatnya, wahai wali yang menjadi pengganti rasul, wahai wali yang menetap di enam arah, wahai wali yang tidak menampakkan kebaikannya dan tidak memendam kejahatannya, wahai para wali yang mengharapkan rahmat Allah, wahai para wali yang jernih jiwanya, wahai para wali yang ahli ibadah, wahai para wali yang menjauhi dunia, wahai para wali yang berjalan di atas air, wahai para wali yang menyendiri, wahai para wali kepercayaan Allah, wahai para wali yang selalu membaca Al-Qur’an, wahai para wali yang menjadi kekasih Allah, wahai para wali yang tinggi pangkatnya, wahai para wali yang ahli hadits, wahai para wali yang ahli bangun malam bermunajat kepada Allah, wahai para wali yang mewarisi para wali yang selalu merasa zalim kepada dirinya dan berlomba dalam kebaikan, wahai ruh-ruh yang suci dari golongan para wali yang dapat melihat rahasia dan yang nyata. Jadilah kalian sebagai penolong kami dalam mendapatkan apa yang kami minta, memudahkan yang kami kehendaki, menggapai tujuan-tujuan kami, menyelamatkan kami dari segala yang kami takuti, menutup kekuarangan kami, membayar semua hutang kami, menguatkan prasangka kami, menghilangkan tabir-tabir penghalang, menghilangkan kesulitan, melenyapkan kesedihan, dan memberikan ampuan dosa-dosa.

9/9

'Ibâdallâh...


‘Ibâdallah(i) rijâlallâh(i) ۞ aghîtsûnâ li ajlillâh(i) wa kûnû ‘aunanâ lillâh(i) ۞ ‘asâ naḫdhâ bi fadllillâh(i).Wahai hamba-hamba Allah (para wali Allah), wahai para pejuang Allah. Tolonglah kami karena Allah. Jadilah kalian penolong kami karena Allah. Semoga tercapai hajat karena anugerah Allah.
Alâl kâfî shalâtullâh ۞ ‘alâsy-syâfî salâmullâh Bimuḫyid-dîni khallishnâ ۞ minal balwâ-i yâ AllâhSemoga rahmat Allah tercurahkan atas Nabi yang mencukupi segalanya, semoga salam Allah tercurahkan atas Nabi yang bisa menyembuhkan penyakit. Ya Allah dengan perantara Syekh Muhyiddin (Abdul Qadir al-Jilani), selamatkanlah kami dari segala bala.
wa yâ aqthâbu way â anjâb(u) ۞ way â sâdât way â aḫbâb(u) wa antum yâ ûlil-albâb(i) ۞ ta’âlau wan-shurû lillâh(i)Wahai para wali kutub, wahai para wali yang dermawan, wahai para sayyid dan habaib, kalianlah yang memiliki akal sempurna, kemarilah dan tolonglah kami karena Allah.
sa'alnâkum sa'alnâkum ۞ wa liz-zulfâ rajaunâkum wa fî amrin qashadnâkum ۞ fasyuddû ‘azmakum lillâhiDengan perantaraan kalian, kami memohon (2x). Dengan mengharapkan doa kalian, kami dekat dengan Allah. Dengan maksud perantaraan kalian, semoga tercapai urusan kami, karenanya kokohkanlah tujuan kalian karena Allah.
fayâ rabbî bisâdatî ۞ taḫaqqaq lî isyâratî ‘asâ ta'tî bisyâratî ۞ wa yashfû waqtunâ lillâh(i)Wahai Tuhan kami, dengan perantaraan para wali, kokohkanlah petunjuk-Mu kepada kami. Semoga lekas datang kebahagiaan kami. Semoga waktu (kehidupan) kami menjadi bersih untuk beribadah karena Allah
bikasyfil-ḫujbi ‘an ‘ainî ۞ wa raf‘il baini min bainî wa thamsil-kaifi wal-‘aini ۞ binûril-wajhi yâ Allâh(u)Dengan terbukanya tabir penutup mata kami, dan hilangnya jarak penghalang antara kami dengan Allah, dan terhapusnya keraguan, bagaimana dan di mana Allah, itu semua berkat Cahaya Dzat Engkau, ya Allah.
shalâtullâhi maulânâ ۞ ‘alâ man bil-hudâ jânâ wa man bil-ḫaqqi aulânâ ۞ syafî‘il-khalqi ‘indallâh(i)Wahai Tuhan kami, semoga rahmat Allah dilimpahkan kepada orang yang datang dengan membawa petunjuk kepada kami, yaitu Nabi Muhammad, yang membawa Islam sebagai agama kami, dan memberi syafaat kepada para makhluk di sisi Allah.
Allâhumma wa kamâ aḫdlarnâ khatma kitâbikal-ladzî a’rabat fîhi ‘an syara`i’i aḫkâmika wa waḫyikal-ladzî anzaltahu mufarriqan baina ḫalâlika wa ḫarâmika wa nadabtanâ lita’arrudli litsawâbihil-jasîmi wa ḫadzdzartanâ ‘alâ lisâni wa’îdihi syadîda ‘adzâbikal-alîm faj’alnâ mimman talînu qulûbuhum ‘inda samâ’i ayâtihi wa yadînu laka bi`imtitsâli awâmirihi wa manhiyyâtihi faj’alhu nûran nas’â bihi ilâ ‘arashâtil-qiyâmati wa sullaman na’ruju bihi ilâ dâril-muqâmat(i).Ya Allah, sebagaimana Engkau datangkan kepada kami kitab-Mu yang menjelaskan tatanan hukum-hukum syariat-Mu, Engkau turunkan wahyu-Mu untuk membedakan yang halal dan yang haram, Engkau ajarkan kami untuk memperlihatkan pahala-Mu yang nyata. Engkau peringatkan kami dengan siksa-Mu yang amat pedih sesuai dengan ancaman firman-Mu. Semoga Engkau jadikan kami sebagai golongan orang-orang yang berhati lembut ketika mendengar ayat-ayat kitab-Mu, tunduk kepada-Mu dengan mengikuti perintah-perintah kitab-Mu dan menjauhi larangan-larangan kitab-Mu. Jadikanlah kitab-Mu ini sebagai pelita melewati peritiwa-peristiwa hari kiamat dan menjadi tangga menaiki negeri kelanggengan.
Allâhumma wa sahhil bihi ‘alainâ karbas-siyâqi idzâ danâ minnâ minnâr-raḫîli wabalaghatir-rûhu minnât-tarâqî watajallâ malakul-mauti liqabdlihâ min ḫujubil-ghuyûbi wa qîla man râqin wal-taffatis-sâqu bis-sâqi ilâ rabbika yauma`idzin (i)lmasâqu wa shâratil-a’mâlu qalâ`ida fîl-a’nâqi.Ya Allah, dengan kitab-Mu ini, mudahkanlah kami dari beratnya kematian ketika ajal kami sudah deka dan kami sudah saatnya berangkat ke negeri keabadian; ketika ruh kami sudah sampai tenggorokan dan malakul maut sudah tampak dari tirai kesamaran hendak mencabut nyawa, kemudian disampaikan, “Siapakah yang dapat mengobati sakitnya kematian. Pada hari ini, betis yang satu telah menyatu dengan lain digiring kepada Tuhanmu, kemudian semua catatan amal dikalungkan di leher-leher pelakunya.
Allâhumma lâ taghulla yadan ilal-a’nâqi akuffâ tadarra’at ilaika wa’tamadat fî shalawâtihâ ‘alaika râki’atan wa sâjidatan baina yadaika wa lâ tuqayyid bi`ankâlil-jaḫîm(i) aqdâman sa’at ilaika wa barazat min manâzilâ ilal-masâjidi thâmi’atan fimâ ladaika wa lâ tushimma asmâ’an taladzdzadzat biḫalâwati tilâwati kitâbikal-karîmi wa lâ tathmis bil-‘amâ a’yunâ bakat fî dhulamil-layâlî khaufan min ‘adzâbikal-alîm(i).Ya Allah, janganlah Engkau belenggu satu tangan pun di leher karena bekas memohon kepada-Mu dan menengadah di saat menghadap shalat kepada-Mu, di saat rukuk dan bersujud ke hadirat-Mu. Janganlah Engkau ikat dalam rantai neraka jahim kaki-kaki yang suka berjalan kepada-Mu dan keluar dari rumah menuju ke masjid-masjid-Mu karena mengharapkan pahala yang ada di sisi-Mu. Janganlah Engkau tulikan pendengaran yang telah merasakan lezatnya bacaan kitab-Mu yang mulya. Jangan Engkau butakan mata yang telah menangis dalam kegelapan malam karena takut pada siksa-Mu yang amat pedih.
Allâḫumma shalli wa sallim ‘alâ sayyidinâ Muḫammadin syâfi’I arbâbidz-dzunûbi wa ‘ala âlihi wa ashḫâbihi athibba`il-qulûbi wa ‘ala ummatihil-ladzîna kasyafta lahum kulla maḫbûbin wa analtahum kulla maḫjûbin mâ habatin-nafaḫâtus-saḫariyyati wa ta’aththaratil-majâlisu bi’urfil-akhbâril-akhyâriz-zâkiyyatil-miskiyyati amîna allâhumma amîn(a). allâhumma yâ mu`nisa kulli waḫîdin way â shâḫiba kulli farîdin way â qarîban ghaira ba’idin way â syâhidan ghaira ghâ`ibin way â ghâliban ghaira maghlûbin, allâḫumma rabbanâ âtinâ fid-dunyâ ḫasanatan wa fil-âkhirati ḫasanatan wa qinâ ‘adzâban-nâri, allâḫumma-ftaḫ lanâ futûḫal-a’rifîna, allâhumma yassir lanâ umûranâ ma’ar-râḫatin liqulûbinâ wa abdâninâ was-salâmata wal-‘âfiyata fid-dîni wad-dunyâ wal-âkhirati as`aluka bismika bismillâhir-raḫmânir-raḫîm(i) al-ḫayyul-qayyûmil-ladzî lâ ta`khudzuhu sinatun wa lâ naum, wa as`aluka bismika bismillâhirraḫmânirraḫîmil-ḫayyu wa khasya’at lahul-ashwâtu wa wajilat minhul-qulûbul-qayyûmil-ladzî ‘anat lahul-wujûhu an tushalliya ‘ala sayyidinâ Muḫammadin wa ‘ala ali sayyidinâ Muḫammadin wa an taj’al lî min umûrî farjan wa makhrajan wa taqdlî ḫâjatî fid-dîni wad-dunyâ wal-âkhirati bijâhil-quthbir-rabbânî sayyidinâsy-ysaikh ‘Abdil Qâdiril-Jailânî qaddasallâhu sirrahul wa nawwara dlariḫahu wa yu’lî darajâtihi wa ‘âda ‘alainâ min barakâtihi wa barrihi amîn yâ sulthânal-‘ârifîna sayyidîsy-syaikhi ‘Abdil Qâdiri Al-Jîlânî innî atawassalu ilaika lirabbil-bariyyati batashîli umûrî fîd-dîni wad-dunyâ wal-âkhirat(i), allâhumma aushil wa taqabbal tsawâba mâ qara`nâhu w mâs-taghfarnâhu wa mâ shallainâhu wa mâ da’aunâhu ilâ ḫadlratin-nabiyyil-mushthafâ sayyidinâ wa maulana Muḫammadin shallâllâhu ‘alaihi wa sallama wa ‘alâ âlihi wa shaḫbihi ajma’îna, allâḫumma aushil wa taqabbal tsawâba mâ qara`nâhu wa mas-taghfarnâhu wa shallainâhu wa mâ da’aunâhu ilâ ḫadlratil-quthbir-rabbânî sayyidinâsy-syaikhi ‘Abdil Qâdir Al-Jailânî wa a`immatil-arba’ati radliyallâhu ‘anhum, allâḫumma aushil wa taqabbal tsawâba mâ qara`nâhu wa mâs-taghfarnâhu wa mâ shallainâhu wa mâ da’aunâhu ilâ auliyâ`illâhil-kirâmi Embah sayyid Ja’far Shadiq Sunan Qudus, Embah ‘Umar Sa’id Sunan Muriyâ, Embah ‘Abdul Jalil, Embah ‘Abdul Qahhâr, Embah Sewanegara, Embah Sanusi, Embah Yasin, Embah Ahmad, Embah Rifâ’î, qaddasallâhu sirrahum wa nawwara dlarîhahum wa yu’lî darajâtihim wa a’âda ‘alainâ min barakâtihim wam-thir ‘alainâ ghaitsa karamâtihim, allâhumma aushil wa taqabbal tsawâba mâ qara`nâhu wa mas-taghfarnâhu ila arwâhî ahlil-qubûri minal-muslimîna wal-muslimâti wa khushûshan ila rûḫi syaikhî wa masyâyikhihi ghafarallâhu dzunûbahum wa yu’lî darajâtihim wa shallallâhu ‘alâ sayyidinâ Muḫammadinil-mursalîna wal-ḫamdulillâhi rabbil-‘âlamîn(a).Ya Allah, limpahkanlah shalawat dan salam kepada Nabi kami Muhammad selaku penolong para pelaku dosa-dosa. Shalawat dan salam juga semoga terlimpah kepada keluarga dan para sahabatnya selaku ahli pengobatan hati. Begitu pun kepada umatnya yang telah Engkau bukakan segala tirai penghalang untuk mereka; umatnya yang telah Engkau berikan tirai penghalang yang tertiup hembusan-hembusan sihir; umatnya yang telah Engkau berikan majelis-majelis yang semerbak dengan aroma kabar berita pilihan dan jernih. Kabulkanlah, ya Allah, kabulkanlah. Ya Allah, wahai Dzat penghibur setiap hamba yang menyendiri, wahai Dzat pemilik setiap yang tunggal, wahai Dzat yang Mahadekat dan Tidak Jauh, wahai Dzat yang Mahatampak dan tidak gaib, wahai Dzat yang Mahamenang dan tidak terkalahkan. Ya Allah, ya Tuhan kami, berilah kami kebaikan di dunia dan di akhirat, sertla lindungilah kami dari siksa api neraka. Ya Allah, bukalah kepada kami seperti dibukakannya kepada orang-orang yang makrifat. Ya Allah, mudahkanlah segala urusan kami disertai ketenangan pada hati dan badan kami. Berikanlah kepada kami keselamatan dan kebaikan dalam agama, baik di dunia maupun di akhirat. Dan aku memohon kepada-Mu dengan nama-Mu bismillahirrahamnirrahim, dengan asma-Mu sebagai Dzat yang Mahahidup, Dzat yang Maha Berdiri Sendiri, Dzat yang tidak pernah mengantuk dan tidak pernah tidur. Aku memohon kepada-Mu dengan nama-Mu bismillahirrahmanirrahim, dengan nama-Mu sebagai Dzat yang Mahahidup, Dzat yang Maha Berdiri Sendiri, Dzat yang menjadi arah menghadap seluruh wajah, Dzat yang menjadi arah tertujunya seluruh suara, Dzat yang menjadi sasaran gemetarnya seluruh hati, untuk melimpahkan shalawat kepada junjungan kami, Nabi Muhammad beserta kepada keluarganya. Aku juga memohon semoga memberikan kemudahan dan jalan keluar atas segala urusan kami; memenuhi segala kebutuhanku, baik dalam urusan agama, urusan dunia, maupun urusan akhirat, berkat keagungan Al-Quthbur Rabani Syekh Abdul Qadir al-Jailani—semoga Allah mensucikan dirinya, menerangi kuburnya, meninggikan derajatnya, dan mengembalikan keberkahan dan kebaikannya kepada kami. Amin... Wahai Raja hamba yang bermakrifat, Syekh Abdul Qadir Al-Jailani, sesungguhnya aku bertawasul kepadamu demi mencapai Tuhannya para makhluk supaya memudahkan segala urusanku, baik urusan agama, urusan dunia, maupun urusan akhirat. Ya Allah, sampaikan dan terimalah pahala apa yang kami baca, pahala istigfar kami, pahala shalawat kami, pahala doa kami, kepada hadirat nabi, pemimpin, dan panutan kami, yakni Nabi Muhammad ﷺ, juga kepada seluruh keluarga dan sahabatnya. Ya Allah, sampaikan dan terimalah pahala apa yang kami baca, pahala istigfar kami, pahala shalwat kami, pahala doa kami, kepada hadirat Al-Qutbur Rabani Syekh Abdul Qadir Al-Jailani, dan juga kepada imam yang empat. Ya Allah, sampaikan dan terimalah pahala bacaan kami, pahala istigfar kami, pahala shalawat kami, pahala doa kami, kepada para wali Allah yang mulia, yaitu Embah Sayyid Ja‘far Shadiq Sunan Qudus, Embah Umar Sa‘id Sunan Muria, Embah Abdul Jalil, Embah Abdul Qahar, Embah Siwanara, Embah Sanusi, Embah Yasin, Embah Ahmad, Embah Rifa’i—semoga Allah mensucikan sirr mereka, menerangi kubur mereka, meninggikan derajat mereka, dan mengembalikan keberkahan mereka kepada kami. Hujanilah kami dengan hujan karamah mereka. Ya Allah, sampaikanlah dan terimalah pahala bacaan kami, pahala istigfar kami, kepada arwah ahli kubur dari kalangan kaum Muslimin dan muslimat, khususnya kepada ruh syekhku dan ruh para syekhnya—semoga Allah mengampuni dosa mereka, meninggikan derajat mereka. Semoga Allah melimpahkan rahmat-Nya kepada pemimpin kami, yakni Nabi Muhammad dan juga kepada seluruh keluarga serta para sahabatnya. Mahasuci Dzat Tuhanmu, Tuhan kemuliaan, dari apa yang orang-orang kafir sifatkan. Salam kesejahteraan semoga terlimpah kepada para rasul. Walhamdulillahi rabbil alamin.
Ya arḫamar-râḫimîn(a) ۞ Ya arḫamar-râḫimîn(a) Ya arḫamar-râḫimîn(a) ۞ farrij ‘alal-muslimîn(a) Yâ rabbanâ yâ karîm(u) ۞ yâ rabbanâ yâ raḫîm(u) Antal-jawwadul-ḫalîm(u) ۞ wa anta ni’mal-mu’în(u) Wa laisa narjû siwâk(a) ۞ fadrik ilâhî darâk(a) Qablal-fanâ wal-halâk(i) ۞ ya’ummu dunyâ wa dîn(a) Wa mâ lanâ rabbanâ ۞ siwâka yâ ḫasbunâ Yâ dzal-‘ula wal-ghinâ ۞ way â qawiyyu yâ matîn(u) Nas`aluka wâlî yuqîm(u) ۞ al-‘adla kai nastaqîm(u) ‘Alâ hudâkal-qawîm(u) ۞ wa lâ nuthî’ul-la’în(u) Yâ rabbanâ yâujîb(u) ۞ antas-samî’ul-qaqîb(u) Dlâqal-wasî’ur-raḫîb(u) ۞ fandhur ilal-mu`minîn(a) Nadhrat tanzîlul-‘anâ ۞ ‘annâ wa tudnîl-munâ Minnâ wa kullal-hanâ ۞ nu’thâhu fî kulli ḫînin As`aluka bijâhil-judûd(i) ۞wâlî yuqîmul-ḫudûd(a) Fînâ fayakfîl-ḫasûd(a) ۞wa yadfa’udh-dhâlimîn(a) Yuzîlul lilmunkarât(i) ۞ yuqîmu lishh-shalawât(i) Ya`muru bish-shâliḫâti ۞ muḫibbu lish-shâliḫîn(a) Yuzîḫu kullal-ḫarâmi ۞ yaqharu kullath-thaghâm(i) Rabbi-sqinâ ghaitsa ‘âm(in)۞ Nâfi’ mubârak dawâm(a) Yadûmu fî kulli ‘âm(in) ۞ ‘alâ mamaris-sinîn(a) rabbiḫ-yinâ syâkirîn(a) ۞ wa tawaffanâ muslimîn(a) Nub’ats minal-âminîn(a) ۞ fî zumratis-sâbiqîn(a) bijâhi thâhar-rasûl(i) ۞ jud rabbanâ bilqabûl(i) Wa hab lanâ kulla sûl(in) ۞ rabbis-tajib lî amîn(a) ‘Athâka rabbi jazîl(un) ۞ wa kullu fi’lik(a) jamîl(un) Wa fîka amalnâ thawîl(un) ۞ fajud ‘alath-thâmi’în(a) Yâ rabbi dlâqal-khinâq(u) ۞ min fi’li mâ lâ yuthâq(u) Famnun bifakkil-ghalâq(i) ۞ liman bidzanbihi rahîn(un) Waghfir likullidz-dzunûb(i) ۞wastur likullil-‘uyûb(i) Waksyif likullil-kurûb(i) ۞ wakfi adzâl-mu`dzîyîn(a) Wakhtim bi`aḫsan khitâm(in) ۞ idzâ danal-inshirâm(u) Wa ḫâna ḫînul-ḫimâm(i) ۞ wa zâda rasyḫul-jabîn(i) Tsummash-shalâtu was-salâm(u) ۞ ‘ala syafi’il-anâm(i) Wal-`âli ni’mal-kirâm(i) ۞ wash-shaḫbi wat-tâbi’în(a)Wahai Dzat yang Maha Pengasih di antara para pengasih, wahai Dzat yang Maha Pengasih di antara para pengasih Wahai Dzat yang Maha Pengasih di antara para pengasih, lapangkanlah kaum Muslimin Wahai Tuhan kami, wahai Dzat yang Mahamulia, wahai Tuhan kami, wahai Dzat yang Maha Penyayang Engkau adalah Dzat yang Mahamurah dan penyantun, Engkau sebaik-baiknya pemberi nikmat Kami tak berharap selain kepada Engkau, wahai Tuhanku, sampaikanlah pada keinginan-Mu Sebelum kehancuran dan kebinasaan, meratakan dunia dan agama Bagi kami tiada tuhan, selain Engkau, wahai pelindung kami Wahai Dzat yang memiliki keluhuran dan kekayaan, wahai Dzat yang Mahakuat dan Mahakokoh Kami memohon kepada-Mu, wahai Dzat yang Maha Menegakkan, agar kami mampu istiqamah Dalam meraih puntujukmu yang lurus dan tak menuruti Iblis sang terkutuk Wahai Tuhan kami, wahai Dzat yang Maha Mengabulkan, Engkau Dzat yang Maha Mendengar dan Mahadekat Yang Mahaluas dan Mahalapang, lihatlah orang-orang mukmin Dengan penglihatan yang dapat menghilangkan kesulitan kami dan mendekatkan tujuan kami Serta setiap kebahagiaan, dan kami diberinya setiap saat. Aku memohon kepada-Mu dengan keagungan wali yang menetapkan aturan di tengah kami, wali yang menjauhkan orang-orang hasud dan menolak orang-orang zalim, menghilangkan kemungkaran menegakkan shalat memerintah amalan yang saleh dan mencintai orang-orang saleh menyingkirkan setiap perkara haram membela rakyat jelata menegakkan keadilan di tengah makhluk melindungi orang-orang ketakutan Ya Tuhanku, siramlah kami dengan siraman yang merata bermanfaat dan penuh berkah Selamanya Siraman yang terus-menerus setiap tahun dan sepanjang tahun Ya Tuhanku, hidupkanlah kami dalam keadaan bersyukur wafatkanlah kami dalam keadaan Islam Bangkitkanlah dalam keadaan selamat di tengah orang-orang terdahulu (yang selamat) Berkat keagungan Thaha sang rasul yang diutus, wahai Tuhan kami, muliakanlah dengan pengabulan Berilah apa yang kami mohon wahai Tuhanku, kabulkanlah doaku Wahai Tuhan, perberian-Mu adalah agung setiap perbuatan-Mu adalah indah Harapan kami pada-Mu sungguh panjang maka muliakanlah orang-orang yang berharap Wahai Tuhanku, tenggorokan ini sempit dari perbuatan yang tak mampu Berilah pada orang-orang yang tergadai dengan dosa, dengan mengurai segala kegelisahan Berilah ampunan atas setiap dosa tutupilah segala cela Angkatlah segala kesulitan selamatkanlah dari ancaman orang-orang yang zalim Akhirilah hidup kami dengan keadaan yang terbaik terutama di kala ajal kami sudah dekat Dan kematian sudah saatnya datang dan keringat kening terus bertambah Kemudian shalawat dan salam semoga tercurah kepada Nabi Pemberi syafaat para makhluk Shalawat dan salam juga semoga tercurah kepada keluarganya, sebaik-baiknya orang mulia juga kepada para sahabat dan para tabiin.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Malam Sunyi Sang Wali: Kisah, Teknik, dan Adab Khalwat

  _______________ Di balik gunung yang jauh dari hiruk-pikuk manusia, terdapat sebuah gua kecil yang hanya diketahui oleh segelintir pendudu...