Doa, Harapan dan Ekspresi Musibah Ekologis untuk Sumatera (Aceh, Sumut, Sumbar)
Merapat bersama Koalisi Masyarakat Puisi
Bersama WALHI Sumatera Selatan
Penggalangan Dana untuk Korban Banjir Sumatera (Aceh Tamiang)
Merapat di Tanah Air yang Terendam
Aceh, Sumatra Utara, Sumatra Barat,
nama-nama yang kini disebut
bukan sekadar peta,
melainkan ratapan sungai dan hutan.
Satu per satu suara bangkit.
Ada yang berdoa—
menyebut Tuhan dengan lirih,
mengharap air surut dari dada manusia,
mengharap hutan kembali
menjadi ibu, bukan korban.
Ada yang berorasi—
menyebut fakta dengan tegas:
tentang hulu yang digunduli,
tentang tambang yang rakus,
tentang sawit dan kuasa
yang menukar keseimbangan dengan keuntungan sesaat.
Ada yang membaca puisi—
kata-kata menjelma perahu,
mengangkut duka, mengantar harapan
ke seberang kesadaran.
Ada lagu yang dipetik pelan,
nada-nada menjahit luka,
musikalisasi puisi
menjadikan air mata bagian dari irama perlawanan.
Ada dongeng—
tentang hutan yang dulu bicara,
tentang sungai yang tahu batas,
tentang manusia yang pernah hidup cukup.
Kami tidak datang dengan tangan kosong.
Kami membawa baju
yang masih hangat oleh niat baik,
uang yang dikumpulkan
dari empati yang tak mau diam,
beras, minyak, teh—
hal-hal sederhana yang menyelamatkan martabat.
Setiap dus pakaian adalah pelukan.
Setiap rupiah adalah janji
bahwa mereka tidak sendirian
di tengah lumpur dan kehilangan.
Di sini, seni bukan hiasan.
Ia adalah sikap.
Puisi bukan pelarian,
melainkan pernyataan:
bahwa bencana ekologis bukan takdir semata,
melainkan akibat yang bisa—dan harus—diubah.
Kami merapat.
Bukan hanya untuk mengenang musibah,
tetapi untuk menjaga ingatan,
menguatkan solidaritas,
dan menyuarakan ulang:
Sumatra bukan sekadar sumber daya.
Ia adalah rumah.
Dan rumah,
harus kita jaga bersama.
--------------------------------------------------------------------------- Yoel@KIFPark,_20Des'2025


Tidak ada komentar:
Posting Komentar