Ratu Sinuhun - Penyusun Undang- Undang Simbur Cahaya
(Wanita Hebat, Pahlawan Palembang yang Terlupakan)
Contoh puisi bertema Ratu Sinuhun :
Berikut versi syair 4 baris dengan rima khas Melayu (a-a-a-a), bernuansa klasik, elegan, dan berakar pada tradisi sastra Melayu-Palembang. Menggunakan diksi lembut, sedikit arkais, tetap menjaga khidmat tokoh Ratu Sinuhun.
---
Ratu Sinuhun
(rima a-a-a-a, gaya syair klasik Melayu)
1
Tersebut kisah di tanah Palembang,
Seorang ratu berhati senang,
Diam bertahan meski dipanang,
Mengangkat marwah negeri nan renang.
2
Bukan berpedang ia berperang,
Namun sabarnya tiada terbilang,
Budi bahasanya bagai gemilang,
Cahayanya hidup walau terbuang.
3
Rambut terurai seperti sutra,
Berkaca jiwa dalam nestapa,
Meski tak tersurat dalam warkata,
Namanya tersimpan di dada rakyat jelata.
4
Sinuhun ratu peneguh duka,
Tiada gentar menahan lara,
Langkah terjaga sehalus sutra,
Namun mengguncang takdir negara.
5
Tidak diarak dalam balairung,
Namun sabdanya sampai ke gunung,
Tak tampak bergaung tapi berhujung,
Di hati pujangga bernyala agung.
6
Hari ini kami menulis ratib,
Menghidupkan kisah yang lama ketitip,
Syair dituang dengan adab dan titip,
Agar makna tak terbuang dan tak terhimpit.
7
Ratu Sinuhun oh cahaya senja,
Namamu teguh tak lekang masa,
Jasamu hidup dibawa rasa,
Walau sejarah enggan berkata.
8
Maka berdiri penyair muda,
Menggenggam pena sebagai senjata,
Bersumpah menyambung hikayat pusaka,
Agar engkau kekal dalam cerita.
---
=================================================================
Berikut versi puisi dengan diksi klasik Melayu-Palembang, bernuansa sastra lama dan adat keraton. Mengadopsi ritme syair tradisional dengan sentuhan naratif historik.
---
“Ratu Sinuhun – Seri Pelangi di Balik Tabir Istana”
(Versi berdiksi klasik Melayu-Palembang)
Di kala fajar menjingga rupa,
terdengar bisik pada langit purba.
Bahwa tersebutlah seorang wanita mulia,
bergelar Ratu Sinuhun, cahaya istana.
Lembut tutur tiada bertaka,
tapi diamnya seteguh baja.
Bukan bersenjata, bukan bersaba,
namun berani menampung duka negara.
Adapun rambutnya bagai sutra diterbang angin,
beraroma rempah, berbalut keringat kerja keratin.
Jari jemarinya menulis hukum tak kasat mata,
tak disebut dalam babad, tapi hidup di hati rakyat jelata.
Konon, ia tidak dinobatkan di balairung megah,
namun jiwa dan akalnya penopang marwah.
Tiada ia menghunus keris bertuah,
namun sabarnya membawa musuh menyerah.
Wahai Sinuhun, engkaulah putri rahasia,
yang dipendam sejarah, tidak tertera.
Meski wujudmu dikaburkan para penjaga pusaka,
ingatlah – nama dan jasamu takkan sirna.
Hari ini dipanggil segala penyair dan pujangga muda,
menulis dengan tinta rindu dan darah merdeka.
Membaca engkau, wahai ratu bersahaja,
agar jelaslah langkah, terbukalah tirai Maha Cinta.
Maka disusunkanlah syair ini sebagai tanda,
bahwa engkau pernah hidup, bersujud untuk nusa.
Menjaga Palembang dengan jiwa dan rasa,
meski lidah zaman tak sempat menyampa.
Ratu Sinuhun…
Terserahlah kini pada takdir bumi dan langit,
kamilah yang menyambung hikayatmu yang sempat terhimpit.
Karena puisi – pada zaman ini –
ialah ganti pedang dalam memelihara martabat dan hakikat.
(Maka berakhirlah kata, namun tidak pada makna.)
---
=================================================================
Berikut contoh puisi bertema Ratu Sinuhun, dengan pendekatan historis, simbolik, dan bernuansa spiritual sesuai karakter tokoh:
---
“Ratu Sinuhun”
Di ambang fajar yang retak
aku mendengar langkahmu,
senyap seperti doa yang belum selesai
menyusuri lorong istana dan sungai-sungai tua.
Engkau, perempuan yang disembunyikan waktu,
mendekap rahasia pada lipatan sutra sejarah,
matahari enggan berkata
bagaimana engkau mencintai negeri ini
dengan diam yang paling nyaring.
Di rambutmu,
pernah bertaut wewangian rempah dan air mata,
di jemarimu,
tertulis hukum peri kehidupan
yang tak dicatat oleh pena penjajah.
Ratu,
engkau datang tanpa mahkota
namun tak pernah tunduk pada gelombang.
Suaramu disamarkan oleh larik-larik babad,
tapi masih terdengar
di dada para penyair
yang menulis dengan darah kerinduan.
Sinuhun,
namamu adalah seribu cermin,
merefleksikan perlawanan yang tidak berpedang,
mengajari kami
bahwa kadang seorang pemimpin
hanya butuh keberanian untuk diam—
dan tetap berdiri.
Hari ini, kami membaca engkau
dengan tinta puisi,
menjemput gelegar yang lama terpendam
di ruang sunyi keraton dan nisan tanpa nama.
Bila malam datang,
izinkan kami menyalakan lilin di hatimu,
agar sejarah tak lagi menjadi kubur senyap
bagi perempuan yang pernah
memeluk Palembang dengan seluruh napasnya.
---
=================================================================
Berikut versi lebih teatrikal, dibuat untuk pembacaan panggung, dengan jeda, intensitas suara, dan penegasan dramatik. Gunakan ekspresi tubuh, permainan volume suara (dari lirih ke lantang), dan pencahayaan bila memungkinkan.
---
“Ratu Sinuhun – Suara dari Balik Tirai Keraton”
(Lampu redup. Suara gamelan atau detak jantung pelan.)
(Pembaca melangkah perlahan ke tengah panggung.)
[Lirih, nyaris berbisik]
Di fajar yang retak…
aku dengar langkahmu—
senyap… seperti doa yang tertahan
di ujung lidah para perawi istana.
(Hening sejenak)
[Sedikit meninggi]
Ratu…
engkau berjalan tanpa mahkota,
tapi bumi bergeser
setiap kali engkau menunduk.
[Dengan penekanan]
Siapa kau… wahai perempuan yang namanya
disembunyikan babad,
dihapus dari lembaran sejarah,
namun berdiri
dalam dada rakyat yang tak pernah selesai percaya?
(Melangkah maju. Nada menekan.)
Di rambutmu—
terurai wangi rempah,
di jemarimu—
tertulis hukum kehidupan
yang tak pernah dicatat pena penjajah.
(Satu langkah, lantang)
Engkau tak berpedang…
TAPI ENGKAU MELAWAN!
(Langit-langit suara menggema, lalu turun kembali.)
[Pelan, getir]
Dengan diam.
Dengan sabar.
Dengan air mata yang mengalir
melalui alur sungai Musi
sampai muara peradaban ini.
(Berbalik arah; seolah berbicara pada langit)
Ratu Sinuhun…
(Kau hidup
atau hanya nama samar
di batu nisan yang retak?)
(Menghadap penonton lagi. Mantap.)
Hari ini—
kami membacamu
dari balik tirai keraton
yang lama terkatup debu.
Kami nyalakan lilin
di setiap bait puisi,
karena sejarah terlalu sering
menjadi kuburan bagi perempuan
yang mencintai negeri dengan sunyi.
(Suara meninggi, semangat)
Maka lihatlah!
Kami—penyair,
kami—anak zaman,
kami—yang tak lagi ingin diam—
[Teriakan penuh energi]
Hari ini membacamu, Ratu!
Membangunkan
suara yang pernah terpenjara—
(Tangan ke dada)
—dan menanamnya kembali
di jantung Palembang!
(Nada turun perlahan, seperti mantra)
Agar setiap anak sungai berkata:
"dia pernah hidup…"
Agar setiap lembar puisi bersumpah:
"dia takkan hilang."
(Hening cukup lama. Lalu penutup lirih)
Wahai Ratu Sinuhun…
izinkan kami meneruskan langkahmu
meski hanya dengan kata.
Karena puisi—
adalah bentuk lain dari perjuangan.
(Lampu padam perlahan. Selesai.)
---
Gunakan jeda dramatis, terutama pada bagian “…tapi engkau melawan!”
Mainkan volume: mulai lirih, naik perlahan, lalu ledakkan di bagian klimaks.
Gunakan sorotan lampu mengikuti energi puisi.
Bila mungkin tambahkan musik latar minimalis (rebab, suling, atau suara air sungai).
Bisa dibuatkan :

Tidak ada komentar:
Posting Komentar