Berikut versi syair panjang (lebih dari 50 bait) tentang (Perang Menteng) — disusun dalam gaya klasik Melayu-Palembang, bernuansa tasawuf, spiritual, dan heroik. Syair ini memadukan sejarah, ruh ratib Samman, kisah Datuk Muhammad Zein, dan semangat jihad para mujahid Palembang.
---
SYAIR PERANG MENTENG
1
Bismillah mula kata bersyair,
kisah mujahid kukisah lahir,
agar generasi tak jadi fakir,
dari sejarah yang makin kian getir.
2
Tersebutlah kisah di bumi Palembang,
Musi beralun tenang dan terang,
datanglah Menteng membawa perang,
hendak menunduk Sultan yang garang.
3
Tahun seribu delapan ratus sembilan belas,
mentari murung seolah membalas,
dentum meriam memecah pusat,
istana Kuto Besak jadi saksi keras.
4
Datuk Muhammad Zein panggilan khalifah,
ahli ratib, pejuang tanpa lelah,
menantu Syekh Abdus Shomad berubudiyah,
tegak di medan dengan hati pasrah.
5
Malam sunyi ratib Samman dilafaz,
di surau Kampung 16 Ilir suara tak terbatas,
“Allāh… Allāh…” jadi pedang tebas,
membelah takut sebelum senjata dilepas.
6
Para santri menutup kepala,
mengenakan jubah tak henti bersela,
tekad syahid memenuhi dada,
mati mulia atau hidup hamba.
7
“La khaula wa la quwwata,” jadi senjata,
hati terpancang pada yang Maha Kuasa,
meski Menteng datang berkuasa,
semangat ratib tak pernah sirna.
8
Serdadu Belanda angkuh menyapa,
membawa kapal dan senjata rupa,
namun tak kenal takut di dada,
rakyat Palembang siap menyapa.
9
Di tepi Musi pasukan berbaris,
dengan salam dan takbir yang manis,
Datuk Zen bertakhtim garis,
“Siapa gentar, mundur ke daris!”
10
Meski peluru menghantam dada,
ratib tetap menggema jua,
para perempuan menitik air mata,
namun tak biarkan perjuangan sirna.
11
Syekh Abdus Shomad di tepian surau,
bentang sajadah, mengangkat doa syahdu,
“Ya Rabb, jadikan darah mereka padu,
di taman Jannah Engkau hibur selalu.”
12
Malam gelita sinar pelita,
dipadu zikir sang pembawa berita,
“Menteng menyerang dari arah kota,
esok subuh perang memuncak nyata.”
13
Maka Datuk Zen segera berbicara,
“Siapkan hati sebelum tombak dijara,
mati bagiku hanya giliran biasa,
hidup sejati bila Tuhan bersuara.”
14
Ratib Samman menggulung ruang,
para mujahid larut dalam bayang,
tak terasa malam jadi hilang,
fajar datang membawa gamang.
15
Dentuman meriam menggetar bumi,
namun zikir tetap tak berhenti,
“Allāh…” menembus setiap hati,
menjelma pedang dari langit tinggi.
16
Pasukan Menteng masuk ke darat,
mengira mudah menunduk rakyat,
tapi disambut tombak dan semangat,
“Allāhu Akbar!” mereka terperanjat.
17
Darah mengalir laksana sungai,
tuan lihat Palembang tak mengeluh sungguh ai,
perjuangan bukan milik seorang sahaja hai,
tapi amanah para wali sejak awal mulai.
18
Datuk Zen maju memukul meriam,
peluru terlepas, musuh pun diam,
meski tertembus surai dan piam,
beliau tersenyum dalam kalam.
19
“Inilah saatku pulang pada Tuhan,”
katanya perlahan sebelum rebah ke tanah,
aroma kasturi menyapu langit aman,
tubuh jatuh, ruh naik dengan tenang.
20
Maka gegap gempita seluruh markas,
para mujahid bertambah keras,
“Datuk gugur, jangan takut dikuas,”
perang dilanjut sampai nafas lepas.
21
Kuto Besak jadi medan pertempuran,
dinding-dinding mengukir kenangan,
darah para sufi jadi persembahan,
untuk marwah negeri dan keimanan.
22
Perempuan menanak air mata,
menghantar suami dengan kalimat mulia,
“Jika engkau syahid di jalan cinta,
aku ridha, Tuhan jua tempat bersandar jiwa.”
23
Anak-anak memegang lengan ayah,
“Jangan pergi!” suara retak payah,
tapi sang pejuang senyum jernih terarah,
“Anakku, surga tempat ayah berpindah.”
24
Menteng bertubi menyerang dari laut,
tapi rakit Palembang tetap teguh laut,
zikir dan doa jadi pelaut,
menggulung takdir dengan tekad tak surut.
25
Sebagian gugur tak dikenal nama,
hanya tercatat di langit mulia,
malaikat menyambut mereka bersama,
“Selamat datang wahai ahli syahid, terima!”
26
Sejarah menulis dengan tinta luka,
tapi ruh para pejuang tak pernah sirna,
walau jasad tertimbun masa,
getar ratib tetap menghidup jiwa.
27
Datuk Zen sempat dikuburkan sederhana,
di bawah bayang pepohonan sunyi belaka,
lalu dipindah beberapa masa,
kini makamnya dikerumuni doa.
28
Ratib Samman tetap bergema,
tiap malam di surau lama,
sebagai warisan para ulama,
pembakar semangat generasi utama.
29
Wahai anak Palembang bangkitlah,
jangan biarkan sejarah bertiup lelah,
mentari esok jangan kalah,
dari cahaya para mujahid yang pasrah.
30
Perang Menteng bukan sekadar pedang,
tapi ratib jiwa dan niat yang gemilang,
tahlil dan takbir bergema terang,
menyatu dalam alunan ombak Sungai Musi tenang.
Di subuh buta pasukan beratur,
dentum bedil semakin mengatur,
namun hati mujahid tetap teguh dan jujur,
mereka berperang bukan karena harta atau mahkota yang tersulur.
32
“Menteng datang hendak menjajah,” kata Datuk Zen berserah,
“Tapi kita anak Palembang berserah pada Allah,
bila mati itu syahid, bila hidup tetap dakwah.”
33
Maka sebagian menyerang dari rakit,
sungai Musi menjadi saksi sempit,
air berubah merah oleh darah yang terbit,
namun tak padam nyala semangat yang terpaut rapat dan legit.
34
Dari menara masjid bergema azan,
meski meriam membelah awan,
muadzin tak lari dari seruan,
baginya tugas lebih utama dari takut beban.
35
Terlihat perempuan membawa air,
merawat luka dengan tangan getir,
“Jika suami mati jangan kau ngeri mengakhir,
aku ridha dia pulang ke cahaya yang tak berakhir.”
36
Anak-anak membaca al-Fatihah,
sambil menangis menatap darah,
“Ya Allah simpan ayah di taman yang indah,
bila aku besar, turutkan aku di jalan baqah.”
37
Ada bangsawan yang berunding diam,
hendak menyerah pada penjajah tanpa nyam,
tapi Datuk Zen berseru lantang dalam kalam:
“Takkan kusetujui dunia dijual murah dalam malam!”
38
Maka pecahlah benteng pada sore,
tapi Palembang tak hilang gore,
meski api membakar istana dan tore,
hati mujahid tak goyah walau tubuh remuk hancore.
39
Menteng menyangka rakyat tak berdaya,
tak tahu mereka bertarung atas nama Yang Maha Kaya,
pedang dan meriam mudah terbeli saja,
tapi iman dan ratib tak bisa diminta.
40
Di malam terakhir perang berkecamuk,
Datuk Zen rebah dengan wajah teduh memuk,
aroma kasturi mengudara tanpa nuk,
para mujahid tahu waktunya hampir tertutup buku.
41
“Wahai saudara,” ujar Datuk sebelum ruh terbang,
“jangan tangisi aku yang hilang,
hidup di sini hanya tempat berperang,
matiku insyaAllah disambut para wali di ruang terang.”
42
Maka beliau tersenyum sebelum diam,
pelupuk mata tertutup dalam salam,
seisi medan mengucap “Allāh…” penuh kalam,
sungai dan tanah bersaksi dalam alam.
43
Perang masih berlanjut hingga pagi,
namun tanpa Datuk terasa sunyi,
para mujahid memegang amanah tinggi,
“Syahidnya Datuk jangan kami nodai.”
44
Ada yang membawa panji bertuliskan huruf Arab,
“نصر من ﷲ و فتح قريب” jadi harab,
mereka serahkan hidup tanpa sebab,
kecuali rindu pada Rabb.
45
Akhirnya Palembang tumbang di perang itu,
namun bukan kalah dalam hajat satu,
sebab ruh jihad tak pernah mati datu,
hanya berganti generasi menuju waktu.
46
Belanda menjarah dan membakar kota,
tapi tak dapat menggenggam jiwa,
jasad mungkin hilang di dunia,
namun semangat tetap menyala dalam nadi bangsa.
47
Datuk Zen dimakamkan tanpa tabir mewah,
tanah merah jadi saksi ibadah,
kemudian dipindah beberapa arah,
kini diziarahi generasi penuh marwah.
48
Banyak yang gugur tanpa nama tertulis,
hanya tercatat di Lauhul Mahfuz yang manis,
malaikat menyambut mereka di tempat yang bersih,
“Selamat wahai pejuang, jalanmu tak berbalik lagi ke sisih.”
49
Ratib Samman terus bergema di surau lama,
tiap malam menghidupkan jiwa utama,
syair Perang Menteng jadi cahaya bersama,
agar tak pudar marwah umat selama-lama.
50
Wahai anak cucu Palembang, dengarkan pesan,
jangan tunduk pada penjajah zaman,
ilmu dan iman jadikan bekalan,
agar tak berulang negeri jatuh tanpa pertahanan.
51
Jika datang era baru menjajah pikiran,
hanya dengan zikir mampu lawan arus zaman,
ratib dan ilmu bersatu jadi pedang keimanan,
seperti Datuk Zen di medan peperangan.
52
Perang Menteng bukan sekadar cerita,
tapi risalah tentang harga cinta,
bahwa mati syahid adalah jalan utama,
menuju kasih Tuhan tanpa jeda.
53
Maka kututup syair ini dengan doa,
semoga ruh para mujahid tetap sejahtera,
kami yang hidup menjadi penerus cita,
tegak melawan penjajahan apa pun rupa.
54
Jika air Musi kembali beriak merah,
ingatlah itu bukan sekadar darah,
tetapi sumpah para syuhada nan pasrah,
menjaga tanah Palembang agar tak musnah.
55 (penutup)
Selasai syair Perang Menteng kuhulur,
semoga dibaca dengan hati yang luhur,
sejarah bukan abu yang berselubur,
tapi api perjuangan untuk zaman yang makmur.
---



