Sabtu, 22 November 2025

Syair Perang Menteng (Perang Palembang)

Berikut versi syair panjang (lebih dari 50 bait) tentang (Perang Menteng) — disusun dalam gaya klasik Melayu-Palembang, bernuansa tasawuf, spiritual, dan heroik. Syair ini memadukan sejarah, ruh ratib Samman, kisah Datuk Muhammad Zein, dan semangat jihad para mujahid Palembang.


---

SYAIR PERANG MENTENG


1
Bismillah mula kata bersyair,
kisah mujahid kukisah lahir,
agar generasi tak jadi fakir,
dari sejarah yang makin kian getir.

2
Tersebutlah kisah di bumi Palembang,
Musi beralun tenang dan terang,
datanglah Menteng membawa perang,
hendak menunduk Sultan yang garang.

3
Tahun seribu delapan ratus sembilan belas,
mentari murung seolah membalas,
dentum meriam memecah pusat,
istana Kuto Besak jadi saksi keras.

4
Datuk Muhammad Zein panggilan khalifah,
ahli ratib, pejuang tanpa lelah,
menantu Syekh Abdus Shomad berubudiyah,
tegak di medan dengan hati pasrah.

5
Malam sunyi ratib Samman dilafaz,
di surau Kampung 16 Ilir suara tak terbatas,
“Allāh… Allāh…” jadi pedang tebas,
membelah takut sebelum senjata dilepas.

6
Para santri menutup kepala,
mengenakan jubah tak henti bersela,
tekad syahid memenuhi dada,
mati mulia atau hidup hamba.

7
“La khaula wa la quwwata,” jadi senjata,
hati terpancang pada yang Maha Kuasa,
meski Menteng datang berkuasa,
semangat ratib tak pernah sirna.

8
Serdadu Belanda angkuh menyapa,
membawa kapal dan senjata rupa,
namun tak kenal takut di dada,
rakyat Palembang siap menyapa.

9
Di tepi Musi pasukan berbaris,
dengan salam dan takbir yang manis,
Datuk Zen bertakhtim garis,
“Siapa gentar, mundur ke daris!”

10
Meski peluru menghantam dada,
ratib tetap menggema jua,
para perempuan menitik air mata,
namun tak biarkan perjuangan sirna.

11
Syekh Abdus Shomad di tepian surau,
bentang sajadah, mengangkat doa syahdu,
“Ya Rabb, jadikan darah mereka padu,
di taman Jannah Engkau hibur selalu.”

12
Malam gelita sinar pelita,
dipadu zikir sang pembawa berita,
“Menteng menyerang dari arah kota,
esok subuh perang memuncak nyata.”

13
Maka Datuk Zen segera berbicara,
“Siapkan hati sebelum tombak dijara,
mati bagiku hanya giliran biasa,
hidup sejati bila Tuhan bersuara.”

14
Ratib Samman menggulung ruang,
para mujahid larut dalam bayang,
tak terasa malam jadi hilang,
fajar datang membawa gamang.

15
Dentuman meriam menggetar bumi,
namun zikir tetap tak berhenti,
“Allāh…” menembus setiap hati,
menjelma pedang dari langit tinggi.

16
Pasukan Menteng masuk ke darat,
mengira mudah menunduk rakyat,
tapi disambut tombak dan semangat,
“Allāhu Akbar!” mereka terperanjat.

17
Darah mengalir laksana sungai,
tuan lihat Palembang tak mengeluh sungguh ai,
perjuangan bukan milik seorang sahaja hai,
tapi amanah para wali sejak awal mulai.

18
Datuk Zen maju memukul meriam,
peluru terlepas, musuh pun diam,
meski tertembus surai dan piam,
beliau tersenyum dalam kalam.

19
“Inilah saatku pulang pada Tuhan,”
katanya perlahan sebelum rebah ke tanah,
aroma kasturi menyapu langit aman,
tubuh jatuh, ruh naik dengan tenang.

20
Maka gegap gempita seluruh markas,
para mujahid bertambah keras,
“Datuk gugur, jangan takut dikuas,”
perang dilanjut sampai nafas lepas.

21
Kuto Besak jadi medan pertempuran,
dinding-dinding mengukir kenangan,
darah para sufi jadi persembahan,
untuk marwah negeri dan keimanan.

22
Perempuan menanak air mata,
menghantar suami dengan kalimat mulia,
“Jika engkau syahid di jalan cinta,
aku ridha, Tuhan jua tempat bersandar jiwa.”

23
Anak-anak memegang lengan ayah,
“Jangan pergi!” suara retak payah,
tapi sang pejuang senyum jernih terarah,
“Anakku, surga tempat ayah berpindah.”

24
Menteng bertubi menyerang dari laut,
tapi rakit Palembang tetap teguh laut,
zikir dan doa jadi pelaut,
menggulung takdir dengan tekad tak surut.

25
Sebagian gugur tak dikenal nama,
hanya tercatat di langit mulia,
malaikat menyambut mereka bersama,
“Selamat datang wahai ahli syahid, terima!”

26
Sejarah menulis dengan tinta luka,
tapi ruh para pejuang tak pernah sirna,
walau jasad tertimbun masa,
getar ratib tetap menghidup jiwa.

27
Datuk Zen sempat dikuburkan sederhana,
di bawah bayang pepohonan sunyi belaka,
lalu dipindah beberapa masa,
kini makamnya dikerumuni doa.

28
Ratib Samman tetap bergema,
tiap malam di surau lama,
sebagai warisan para ulama,
pembakar semangat generasi utama.

29
Wahai anak Palembang bangkitlah,
jangan biarkan sejarah bertiup lelah,
mentari esok jangan kalah,
dari cahaya para mujahid yang pasrah.

30
Perang Menteng bukan sekadar pedang,
tapi ratib jiwa dan niat yang gemilang,
tahlil dan takbir bergema terang,
menyatu dalam alunan ombak Sungai Musi tenang.

31
Di subuh buta pasukan beratur,
dentum bedil semakin mengatur,
namun hati mujahid tetap teguh dan jujur,
mereka berperang bukan karena harta atau mahkota yang tersulur.

32
“Menteng datang hendak menjajah,” kata Datuk Zen berserah,
“Tapi kita anak Palembang berserah pada Allah,
bila mati itu syahid, bila hidup tetap dakwah.”

33
Maka sebagian menyerang dari rakit,
sungai Musi menjadi saksi sempit,
air berubah merah oleh darah yang terbit,
namun tak padam nyala semangat yang terpaut rapat dan legit.

34
Dari menara masjid bergema azan,
meski meriam membelah awan,
muadzin tak lari dari seruan,
baginya tugas lebih utama dari takut beban.

35
Terlihat perempuan membawa air,
merawat luka dengan tangan getir,
“Jika suami mati jangan kau ngeri mengakhir,
aku ridha dia pulang ke cahaya yang tak berakhir.”

36
Anak-anak membaca al-Fatihah,
sambil menangis menatap darah,
“Ya Allah simpan ayah di taman yang indah,
bila aku besar, turutkan aku di jalan baqah.”

37
Ada bangsawan yang berunding diam,
hendak menyerah pada penjajah tanpa nyam,
tapi Datuk Zen berseru lantang dalam kalam:
“Takkan kusetujui dunia dijual murah dalam malam!”

38
Maka pecahlah benteng pada sore,
tapi Palembang tak hilang gore,
meski api membakar istana dan tore,
hati mujahid tak goyah walau tubuh remuk hancore.

39
Menteng menyangka rakyat tak berdaya,
tak tahu mereka bertarung atas nama Yang Maha Kaya,
pedang dan meriam mudah terbeli saja,
tapi iman dan ratib tak bisa diminta.

40
Di malam terakhir perang berkecamuk,
Datuk Zen rebah dengan wajah teduh memuk,
aroma kasturi mengudara tanpa nuk,
para mujahid tahu waktunya hampir tertutup buku.

41
“Wahai saudara,” ujar Datuk sebelum ruh terbang,
“jangan tangisi aku yang hilang,
hidup di sini hanya tempat berperang,
matiku insyaAllah disambut para wali di ruang terang.”

42
Maka beliau tersenyum sebelum diam,
pelupuk mata tertutup dalam salam,
seisi medan mengucap “Allāh…” penuh kalam,
sungai dan tanah bersaksi dalam alam.

43
Perang masih berlanjut hingga pagi,
namun tanpa Datuk terasa sunyi,
para mujahid memegang amanah tinggi,
“Syahidnya Datuk jangan kami nodai.”

44
Ada yang membawa panji bertuliskan huruf Arab,
“نصر من ﷲ و فتح قريب” jadi harab,
mereka serahkan hidup tanpa sebab,
kecuali rindu pada Rabb.

45
Akhirnya Palembang tumbang di perang itu,
namun bukan kalah dalam hajat satu,
sebab ruh jihad tak pernah mati datu,
hanya berganti generasi menuju waktu.

46
Belanda menjarah dan membakar kota,
tapi tak dapat menggenggam jiwa,
jasad mungkin hilang di dunia,
namun semangat tetap menyala dalam nadi bangsa.

47
Datuk Zen dimakamkan tanpa tabir mewah,
tanah merah jadi saksi ibadah,
kemudian dipindah beberapa arah,
kini diziarahi generasi penuh marwah.

48
Banyak yang gugur tanpa nama tertulis,
hanya tercatat di Lauhul Mahfuz yang manis,
malaikat menyambut mereka di tempat yang bersih,
“Selamat wahai pejuang, jalanmu tak berbalik lagi ke sisih.”

49
Ratib Samman terus bergema di surau lama,
tiap malam menghidupkan jiwa utama,
syair Perang Menteng jadi cahaya bersama,
agar tak pudar marwah umat selama-lama.

50
Wahai anak cucu Palembang, dengarkan pesan,
jangan tunduk pada penjajah zaman,
ilmu dan iman jadikan bekalan,
agar tak berulang negeri jatuh tanpa pertahanan.

51
Jika datang era baru menjajah pikiran,
hanya dengan zikir mampu lawan arus zaman,
ratib dan ilmu bersatu jadi pedang keimanan,
seperti Datuk Zen di medan peperangan.

52
Perang Menteng bukan sekadar cerita,
tapi risalah tentang harga cinta,
bahwa mati syahid adalah jalan utama,
menuju kasih Tuhan tanpa jeda.

53
Maka kututup syair ini dengan doa,
semoga ruh para mujahid tetap sejahtera,
kami yang hidup menjadi penerus cita,
tegak melawan penjajahan apa pun rupa.

54
Jika air Musi kembali beriak merah,
ingatlah itu bukan sekadar darah,
tetapi sumpah para syuhada nan pasrah,
menjaga tanah Palembang agar tak musnah.

55 (penutup)
Selasai syair Perang Menteng kuhulur,
semoga dibaca dengan hati yang luhur,
sejarah bukan abu yang berselubur,
tapi api perjuangan untuk zaman yang makmur.

---

Ulama Palembang : Datuk Kiagus Muhammad Zen (W.1819)

Masih mengenang hari Pahlawan di bulan November ini, berikut kita ulas salah satu Pahlawan Palembang tempo dulu di zaman sebelum kemerdekaan, di tahun 1819 M, zaman Kesultanan Palembang Darussalam.

Berikut rangkuman dan analisis tentang Datuk Kiagus Muhammad Zen (w. 1819) berdasarkan informasi yang tersedia:

---



DATUK KIAGUS MUHAMMAD ZEN (W.1819)



Profil dan Sejarah


1. Identitas

Nama lengkap: Kiagus (Kgs.) Haji Muhammad Zen, juga dikenal sebagai Syekh Zen atau Datuk Zen.

Nasabnya: menurut sumber, ia adalah cucu Tuan Faqih Jalaludin (ulama besar Keraton Palembang).

Gurunya adalah Syekh Abdus Somad al-Palembani; ia juga menikahi putri gurunya, Rukiah binti Abdus Somad.


2. Tarekat dan Peran Spiritual

Ia memperoleh ijazah dari Tarekat Sammaniyah dari gurunya, Syekh Abdus Somad.

Selain sebagai ulama, ia juga seorang pemimpin sufistik (“pahlawan sufi”) dan figur spiritual di Palembang.


3. Perang dan Kemartiran

Ia terlibat dalam Perang Menteng (Perang Palembang) melawan Belanda pada 1819.

Syekh Zen wafat pada 12 Juli 1819 (18 Sya’ban 1234 H).

Disebut “gugur sebagai syahid” karena pada saat perang dia mengumandangkan #Ratib_Samman dan jihad untuk membela agama dan negara.

Menurut catatan sejarah lokal, sebagai komandan atau pemimpin pasukan ulama saat perang.


4. Penghargaan dan Persepsi

Karena perannya sebagai ulama dan pejuang spiritual serta militer, banyak yang menilai ia pantas disebut pahlawan nasional.

Komunitas Pecinta Ziarah Palembang (KOPZIPS) aktif menziarahi makamnya dan menyerukan agar makam-makam bersejarah seperti makam Syekh Zen dilindungi.


5. Makam

Makam Syekh Zen terletak di Talang Suro, Palembang, sekitar area Langgar Cahaya Islam.

Namun, jejak fisik makam dikabarkan sudah hilang karena pemukiman warga yang berkembang di sekitar area makam.

KOPZIPS menyatakan akan melaporkan ke Dinas Kebudayaan agar makam tersebut bisa dilindungi sebagai situs bersejarah.


6. Syair atau Sastra Sejarah

Ada syair historis yang dikenal sebagai “Syair Perang Menteng” atau “Syair Perang Palembang” yang menggambarkan peperangan tahun 1819 melawan Belanda.

Syair ini bagian dari tradisi sastra sejarah dan dijadikan semangat moral dan religius dalam konflik Perang Menteng.

Dalam jurnal sejarah Islam, disebut bahwa karya sastra seperti Syair Perang Menteng memiliki nilai budaya dan historis penting.

---

Makna dan Signifikansi


Pahlawan Sufi Mujahid Spiritual :
Kombinasi peran spiritual (ulama, sufi) dan peran militer (jihad dalam perang) membuat Datuk Zen menjadi figur unik — bukan hanya pejuang fisik, tetapi juga pejuang kesadaran agama.


Simbol Perlawanan Lokal :
Ia menjadi simbol perlawanan terhadap kolonialisme Belanda di Palembang, sekaligus tokoh yang mengikat dimensi religius dan politik.


Warisan Rohani :
Hubungannya dengan tarekat Sammaniyah menunjukkan bahwa perjuangannya tak cuma bersifat duniawi, tetapi juga rohani — banyak yang mengingatnya sebagai seorang waliyullah.


Isu Pelestarian Sejarah :
Hilangnya makam fisik menunjukkan tantangan dalam pelestarian situs bersejarah di Palembang — terutama yang berkaitan dengan tokoh-tokoh ulama dan pejuang lokal.


Sastra dan Narasi Identitas :
Syair Perang Menteng mengabadikan kisah peperangan tersebut dalam bentuk sastra tradisional, yang memperkuat narasi identitas lokal dan religius masyarakat Palembang.

---

#DatukKiagusMuhammadZen #UlamaSufi #PahlawanSufi #MujahidSpiritual #PahlawanPalembang #Martir #SimbolPerlawananLokal #SastraTradisional #NarasiIdentitasLokal


=========================================================================


Tokoh pejuang dalam berjihad melawan penjajah Belanda.
Syekh Haji Zen lahir di Palembang sekitar tahun 1760, beliau mendapatkan pendidikan agama dari ayahnya sendiri seorang Ulama besar tanah Palembang putra tuan Faqih Jalaludin Trah keturunan Sunan Kramasari As-samarqondy.
Selain berguru kepada ayahnya Beliau juga berguru kepada para ulama besar Palembang waktu itu, diantaranya yang paling berkesan adalah Syekh Abdus Somad al-Palembani.
Kepada gurunya ini Syekh Haji Zen belajar tasawuf, mengambil ijazah Tarekat Sammaniyah dan sekaligus menjadi khalifahnya. Hubungan guru dan murid ini semakin erat manakala beliau dinikahkan dengan putri gurunya yang bernama Hajjah Rukiah binti Syekh Abdus Somad.
Syekh Haji Zen merupakan Khalifah Thoriqoh Sammaniyah sekaligus komandan pasukan jihad fi sabilillah kesultanan Palembang Darussalam.
Beliau Syahid dalam memimpin perlawanan pertempuran perang Menteng dengan gigih serta semangat bela negara dan agama.
Nasab Mulia Beliau:
Syekh Haji Muhammad Zen bin Kiagus Syamsuddin bin Tuan Faqih Jalaludin bin Raden Mas Kamaluddin bin Raden Mas Fadhil bin Pangeran Panembahan Muhammad Mansur bin Kiai Gusti Dewa Agung Krama bin Sunan Kertasari bin Sunan Lembayun bin Sunan Krama Dewa bin Sesembahan Dewa Agung Fadhil bin Sesembahan Dewa Agung Kaharuddin Al Huseini (Sunan Kramasari As-samarqondy) bin Husein Jamaluddin Al Akbar bin Ahmad Syah Jalaludin bin Abdullah azmatkhan bin Al Muhajir Amir Abdul Malik bin Ammil Faqih Muqoddam Alwi bin Muhammad Shohib Marbath bin Ali Kholil qosam bin Alwi bin Muhammad bin Alwi bin Ubaidillah bin Ahmad Al Muhajir bin Isa arrumi bin Muhammad annaqib bin Ali Al Uraidhi bin Ja’far Shodiq bin Muhammad Al baqir bin Ali Zainal Abidin bin Husein bin Ali bin Abi Thalib suami Fatimah Az-Zahra Putri Muhammad Rosulallah Saw.
Wallahu alam...

Ulama Palembang : Tuan Faqih Jalaluddin IW.1748)

 Tuan Faqih Jalaluddin (Wafat: 18 Mei 1748 M / 20 Jumadil Awal 1161 H)




Mufti dan Guru Para Sultan Kesultanan Palembang Darussalam
Tuan Faqih Jalaluddin adalah seorang ulama besar yang hidup pada abad ke-18, dan dikenal sebagai guru spiritual para Sultan di lingkungan Kesultanan Palembang Darussalam. Beliau merupakan tokoh sentral dalam bidang fiqih dan ushuluddin, serta dipercaya sebagai mufti dan penasihat resmi kerajaan.


Nasab dan Asal Usul
Nama lengkap beliau adalah Kiagus Faqih Jalaluddin bin Mas Raden Kamaluddin bin Mas Raden Fadhil bin Pangeran Panembahan Muhammad Mansur bin Kiai Gusti Dewa Agung Krama bin Sunan Kertasari bin Sunan Lembayun bin Sunan Krama Dewa bin Sembahan Dewa Agung Fadhil bin Sembahan Dewa Agung Koharuddin bin Sembahan Sayid Jamaluddin Agung bin Sayid Ahmad bin Abdullah Khan bin Amir Abdul Malik bin Alwi bin Muhammad Shahib Marbat, dan jika dirunut lebih jauh, nasab beliau bersambung hingga kepada Baginda Rasulullah SAW.

Sebagaimana ditulis oleh Kms. H. Andi Syarifuddin:
> "Beliau adalah salah seorang tokoh ulama besar, guru para Sultan di Kesultanan Palembang Darussalam... dan seterusnya jika dirunut nasabnya sampai kepada Rasul SAW."


Pendidikan dan Perjalanan Hidup
Sejak kecil, Faqih Jalaluddin telah menunjukkan minat besar terhadap ilmu agama. Ia mendapat dasar-dasar pendidikan agama langsung dari ayahandanya. Kemudian, beliau melanjutkan pendidikan dengan berguru kepada sejumlah ulama besar dan para sunan di masanya. Bidang yang ditekuni secara khusus adalah ilmu Fiqih dan Ushuluddin, menjadikan beliau mendapat gelar "Faqih"—seorang ahli hukum Islam.
Bersama keluarganya, beliau berhijrah dari Surabaya ke Palembang, dan menetap di lingkungan Istana Keraton Sultan Muhammad Mansur.
> "Sepanjang hayatnya, Faqih Jalaluddin tinggal di dalam lingkungan istana Keraton Sultan Muhammad Mansur."


Kiprah di Kesultanan
Dengan keilmuannya, Sultan Palembang mengangkat beliau sebagai mufti dan penasihat spiritual resmi kesultanan. Di dalam istana, beliau aktif mengajar berbagai ilmu keislaman, seperti fiqih, ushuluddin, serta tafsir Al-Qur’an.
> "Dengan keahliannya ini, ia diangkat oleh Sultan Palembang menjadi mufti dan penasehat spiritual kesultanan. Di istana ia mengajar fiqih, ushuluddin dan al-Qur'an."


Kehidupan Keluarga
Faqih Jalaluddin menikahi seorang perempuan dari Palembang yang merupakan saudari dari Syekh Datuk Muhammad Akib bin Kiagus Hasanuddin. Dari pernikahan ini, beliau dikaruniai lima orang anak:
1. Kiagus H. Imron Chotib
2. Kiagus Syamsuddin – yang memiliki putra bernama Syekh Kiagus Muhammad Zen dan menjadi menantu dari Syekh Abdus Somad al-Palembani
3. Nyayu Sopiah
4. Kiagus Mas’ud
5. Nyayu Bania


Wafat dan Peninggalan
Faqih Jalaluddin wafat pada hari Selasa, 20 Jumadil Awal 1161 H atau bertepatan dengan 18 Mei 1748 M, pukul 09.00 pagi. Jenazahnya dimakamkan dengan penuh penghormatan di Gubah Talang Suro, Palembang.
Sebagai bentuk penghormatan atas jasa dan dedikasi beliau dalam pendidikan Islam dan pemerintahan, namanya diabadikan menjadi nama jalan di Kampung 19 Ilir, tepatnya di kawasan sekitar Masjid Agung Palembang (yang dulu dikenal sebagai Jalan Guru-Guru).
> "Atas pengabdian dan jasa-jasanya, namanya diabadikan menjadi nama sebuah jalan yang melintas di Kampung 19 Ilir di lingkungan Masjid Agung (dulu jalan Guru-guru)."
---
Disusun kembali oleh:
alfaqir Kms. H. Andi Syarifuddin
Palembang, 26 April 2018
Sumber: 101 Ulama Sumsel: Riwayat Hidup & Perjuangannya (Kms. H. Andi Syarifuddin)

Jumat, 21 November 2025

(Puisi) : "Sepasang Cangkir, Sepasang Rasa".

 


#puisicangkir
#puisisepasangcangkir #puisipagi
#puisi #puisisepasangrasa


Sepasang Cangkir, Sepasang Rasa



Di atas meja pagi yang masih basah oleh embun,
dua cangkir berdiri saling menghadap —
yang satu hitam, sederhana, sepi,
yang satu putih, dipeluk gambar hati merah
seperti dada yang tak mampu menyembunyikan rindu.

Keduanya penuh, mendidih oleh aroma
yang menguap perlahan ke langit-langit sunyi,
seolah mengabarkan bahwa cinta
kadang datang seperti secangkir kopi —
panas, pekat, dan tak bisa disesap tergesa.

Cangkir hitam bicara tentang luka yang diam,
tentang malam-malam panjang tanpa pelukan,
sementara cangkir putih tersenyum
membawa janji pada setiap getar senyapnya:
bahwa ada rasa yang tetap manis
meski dalam campuran paling gelap sekali pun.

Uap mereka berpaut di udara,
menjadi tarian tanpa suara,
mengajariku bahwa dua rasa berbeda
tak harus saling menghapus,
karena dalam pertemuan hangat
bahkan pahit dan manis dapat berpelukan.

Dan pagi itu pun tahu,
bahwa cinta tak perlu selalu seragam,
cukup saling mengisi seperti dua cangkir kopi —
yang satu hitam, yang satu putih bergambar hati merah,
namun keduanya tetap utuh
dalam setiap hirupan pertama.

---

Senin, 17 November 2025

Sumsel : Ruang yang Tumpang Tindih, Alam yang Menjerit

Sumatera Selatan: Ruang yang Tumpang Tindih, Alam yang Menjerit


Oleh : Yoel Hendrawan - Wahana Bumi Hijau

Disampaikan pada Pelatihan Kepemimpinan WALHI (PKW 2) ED WALHI SUMSEL
Palembang, 14 November 2025



“Bumi tidak sedang membutuhkan belas kasihan kita, melainkan keadilan dari tangan-tangan yang menguasai ruangnya.”  — Nur Hidayati, Aktivis Lingkungan


1. Overlapping Pemanfaatan Ruang di Sumatera Selatan

Provinsi Sumatera Selatan (Sumsel) merupakan salah satu wilayah dengan intensitas tumpang tindih pemanfaatan ruang paling tinggi di Indonesia. Berdasarkan Fact Sheet WALHI & WBH 2024, ketidaksinkronan tata ruang ini mengakibatkan kerentanan ekologis, konflik agraria, dan degradasi sumber daya alam yang masif.

1.1 Overlapping Izin Usaha Perkebunan dengan IUPHHK

Di sejumlah kabupaten seperti Musi Banyuasin, Ogan Komering Ilir, dan Banyuasin, izin usaha perkebunan (IUP) sawit menumpang pada area yang telah lebih dahulu memiliki izin pemanfaatan hasil hutan kayu (IUPHHK). Konflik spasial ini memicu ketegangan antara perusahaan pemegang izin, masyarakat adat, dan negara. Akibatnya, banyak wilayah yang semestinya menjadi kawasan konservasi berubah fungsi menjadi areal produksi intensif.

1.2 Overlapping IUP terhadap Fungsi Kawasan Hutan

Sekitar 25% dari total luas izin perkebunan di Sumsel tumpang tindih dengan kawasan hutan produksi terbatas atau hutan lindung. Hal ini mengindikasikan lemahnya penegakan RTRW (Rencana Tata Ruang Wilayah) dan lemahnya verifikasi spasial sebelum penerbitan izin baru.

1.3 Overlapping IUPHHK dan PHBM terhadap Fungsi APL

Fenomena lain adalah tumpang tindih izin kehutanan (IUPHHK dan PHBM) dengan area penggunaan lain (APL) yang sebenarnya sudah menjadi ruang hidup masyarakat desa. Kondisi ini sering kali memunculkan konflik antara program perhutanan sosial dan kepentingan korporasi kayu atau HTI (Hutan Tanaman Industri).

“Ketika ruang hidup rakyat ditulis di atas peta tanpa kaki mereka menjejak tanah, maka konflik adalah keniscayaan.”  — Rustandi, WALHI Sumsel


2. Perkembangan Izin Usaha Pertambangan di Sumsel

Sumatera Selatan memiliki lebih dari 400 izin usaha pertambangan (IUP), dengan dominasi batu bara. Konsentrasi terbesar berada di Kabupaten Muara Enim, Lahat, dan Musi Rawas. Meski kontribusi sektor ini terhadap PDRB cukup signifikan, dampak ekologisnya sangat besar: sedimentasi sungai, pencemaran air, dan degradasi tanah meningkat drastis.Banyak IUP juga tumpang tindih dengan izin kehutanan dan perkebunan, memperparah ketidakteraturan pengelolaan ruang.


3. Perkembangan Izin Perkebunan di Sumsel

Total izin perkebunan di Sumsel mencapai lebih dari 1,8 juta hektare, dengan dominasi kelapa sawit. Ekspansi besar-besaran ini berlangsung sejak awal 2000-an. Meski membawa pertumbuhan ekonomi daerah, dampak sosial-ekologisnya tidak dapat diabaikan: konflik lahan, kebakaran hutan, dan penurunan kualitas tanah terus meningkat. (Fact Sheet WBH 2024).


4. Perkembangan Izin Konsesi Pemanfaatan Hasil Hutan

Konsesi IUPHHK-HTI dan HPH di Sumsel mencapai lebih dari 1,5 juta hektare. Sebagian besar dikuasai oleh korporasi besar dengan orientasi ekspor. Di sisi lain, program perhutanan sosial yang bertujuan untuk menyeimbangkan akses masyarakat baru mencakup ±450 ribu hektare, atau kurang dari 20% dari total luas kawasan hutan produktif.


5. Laju Deforestasi di Sumsel

Data Fact Sheet WALHI 2024 mencatat bahwa laju deforestasi Sumsel mencapai lebih dari 25 ribu hektare per tahun selama dekade terakhir. Sebagian besar terjadi di kawasan hutan produksi dan areal perkebunan yang mengalami konversi. Dampak lanjutannya berupa hilangnya keanekaragaman hayati dan meningkatnya risiko kebakaran lahan gambut.

“Hutan yang hilang bukan hanya pohon yang tumbang, tapi juga sejarah, air, dan napas kehidupan manusia.”  — Emilia, Pegiat Ekologi Sosial


6. Fungsi Kawasan Hutan dan Perairan di Sumsel

Fungsi kawasan hutan di Sumsel terbagi atas hutan lindung, hutan konservasi, dan hutan produksi. Namun, realitas lapangan menunjukkan bahwa banyak kawasan hutan lindung telah berubah menjadi lahan produksi sawit atau tambang. Selain itu, wilayah perairan seperti DAS Musi mengalami tekanan akibat sedimentasi dan pencemaran limbah tambang.


7. Sebaran dan Simpanan Karbon dalam Gambut di Sumsel

Sumatera Selatan memiliki lahan gambut sekitar 1,2 juta hektare yang menyimpan cadangan karbon besar (sekitar 7 gigaton CO₂). Wilayah gambut terluas terdapat di OKI dan Banyuasin. Eksploitasi untuk perkebunan dan HTI menyebabkan emisi karbon besar-besaran, menjadikan Sumsel salah satu penyumbang signifikan emisi nasional.


8. Perkembangan Izin di Lahan Gambut

Peningkatan izin di lahan gambut terus terjadi, baik untuk sawit maupun HTI. Padahal, sesuai dengan PP No. 71 Tahun 2014, lahan gambut dengan fungsi lindung seharusnya tidak dibuka. Fakta di lapangan menunjukkan sekitar 40% area gambut di Sumsel telah mengalami drainase dan subsiden.


9. Sebaran Kondisi Desa di Dalam dan Sekitar Kawasan Hutan

Terdapat lebih dari 1.000 desa di Sumsel yang berada di dalam dan sekitar kawasan hutan. Sebagian besar memiliki ketergantungan tinggi terhadap sumber daya hutan, namun menghadapi keterbatasan akses dan hak kelola. Ketimpangan ini menimbulkan kerentanan sosial dan ekonomi bagi masyarakat.


10. Perkembangan Izin Usaha Perkebunan di Sumsel (Ulangan untuk Tren dan Analisis)

Tren terbaru menunjukkan adanya pergeseran kepemilikan dan penggabungan perusahaan besar dalam sektor sawit. Pola ini mengindikasikan konsolidasi korporasi yang semakin mempersempit ruang ekonomi rakyat.


11. Grafik Jumlah Hotspot per Kabupaten

Berdasarkan data satelit 2024, hotspot tertinggi berada di Kabupaten OKI, Banyuasin, dan Musi Banyuasin. Puncak kebakaran terjadi pada bulan September hingga Oktober dengan pola berulang tiap tahun.


12. Grafik Jumlah Hotspot di Lokasi Perizinan dan di Luar Perizinan

Analisis menunjukkan bahwa lebih dari 70% titik api terjadi di area berizin, terutama di perkebunan dan HTI. Hal ini menandakan lemahnya pengawasan serta tanggung jawab korporasi dalam pengelolaan lahan.


13. Dampak dari Kondisi di Lapangan

Akibat tumpang tindih izin dan lemahnya tata kelola, dampak sosial-ekologis meluas:

Konflik agraria meningkat.

Penurunan kualitas air sungai.

Emisi karbon tinggi dari kebakaran gambut.

Hilangnya sumber penghidupan masyarakat adat dan petani.


14. Rekomendasi Pengelolaan SDA ke Depan

Moratorium izin baru di kawasan hutan dan gambut.

Peninjauan ulang RTRW dan harmonisasi izin antar-sektor.

Penguatan perhutanan sosial berbasis masyarakat.

Penegakan hukum bagi korporasi pelanggar lingkungan.

Transparansi data izin dan keterlibatan publik dalam pengawasan.


15. Upaya Pencegahan Kebakaran di Lahan Gambut

Upaya strategis perlu difokuskan pada restorasi hidrologis, pemberdayaan Masyarakat Peduli Api (MPA), serta penegakan hukum tegas terhadap pembakar lahan. Selain itu, pembatasan izin di areal gambut kritis harus menjadi prioritas kebijakan daerah.


16. Penutup

“Menyelamatkan alam Sumatera Selatan bukan hanya urusan aktivis, tetapi panggilan bagi seluruh manusia yang mencintai kehidupan.”  — Y. Hendrawan, Wahana Bumi Hijau

Sumatera Selatan berdiri di persimpangan sejarah: antara mempertahankan ruang hidup atau menyerah pada kerakusan izin yang tumpang tindih. Masa depan daerah ini akan sangat ditentukan oleh keberanian kolektif kita untuk menata ulang ruang, memulihkan hutan, dan menegakkan keadilan ekologis.


Catatan Kaki:

Fact Sheet WALHI Sumsel & Wahana Bumi Hijau 2024.

PP No. 71 Tahun 2014 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Ekosistem Gambut.

Data Hotspot KLHK 2024.

Bersama Kelola Alam Adil dan Lestari

Bersama Kelola Alam Adil dan Lestari


Oleh: Yoel Hendrawan – Wahana Bumi Hijau

Disampaikan pada Pelatihan Kepemimpinan WALHI (PKW 2) ED WALHI Sumsel
Palembang, 14 November 2025



1. Indonesia, Realita Kita Saat Ini

Indonesia adalah negeri yang diberkahi sekaligus diuji. Ia berdiri di antara garis khatulistiwa dengan kekayaan alam yang luar biasa: hutan hujan tropis yang pernah disebut paru-paru dunia, laut yang luas, tanah subur, dan kekayaan tambang yang tak terhitung. Namun di balik karunia itu, terbentang ironi: alam yang seharusnya menjadi sumber kehidupan justru menjadi medan perampasan dan kerusakan.

Banjir, kebakaran hutan, kekeringan, krisis pangan, dan polusi udara kini menjadi berita harian. Di saat yang sama, masyarakat kecil—terutama di pedesaan dan wilayah adat—justru menjadi korban pertama dari krisis ekologis ini. Pembangunan sering dipahami hanya sebagai pertumbuhan ekonomi, tanpa mengukur keberlanjutan dan keadilan sosial. Akibatnya, yang lahir bukanlah kesejahteraan bersama, melainkan kesenjangan yang semakin dalam.


2. Tiga Jurang Kesenjangan

a. Jurang Ekologis

Kerusakan lingkungan terjadi karena eksploitasi alam yang tak mengenal batas. Konversi hutan menjadi perkebunan skala besar, tambang terbuka, dan proyek infrastruktur yang menyingkirkan ekosistem telah menimbulkan luka ekologis. Alam kehilangan kemampuan memulihkan diri, dan daya dukung bumi Indonesia menurun drastis.

b. Jurang Sosial-Ekonomi

Pertumbuhan ekonomi yang diklaim tinggi ternyata tidak dirasakan merata. Segelintir kelompok menguasai lahan dan sumber daya alam, sementara masyarakat adat dan petani kecil justru tersingkir dari tanahnya sendiri. Ketimpangan struktural ini melahirkan kemiskinan yang sistemik.

c. Jurang Spiritual

Ketika alam dipandang hanya sebagai komoditas, hubungan batin manusia dengan bumi pun retak. Hilangnya kesadaran spiritual terhadap alam menyebabkan kita kehilangan rasa hormat terhadap kehidupan. Padahal, dalam banyak kearifan lokal nusantara, manusia adalah bagian dari alam, bukan penguasanya.


3. Indonesia di Ambang Kehancuran Bersama

Jika ketiga jurang ini tidak dijembatani, kita sedang menuju kehancuran kolektif. Krisis iklim bukan hanya masalah lingkungan, melainkan ancaman eksistensial terhadap peradaban. Hancurnya ekologi berarti hancurnya ekonomi dan sosial. Negara yang tidak mampu menata ulang relasi antara manusia dan alamnya akan kehilangan masa depan.

Kita tidak sedang kekurangan sumber daya, tetapi kekurangan kesadaran dan keberanian untuk berubah.


4. Perlunya Transformasi Sosial di Skala Sistem

Perubahan yang dibutuhkan bukanlah tambal sulam kebijakan, melainkan transformasi menyeluruh pada sistem sosial, ekonomi, dan politik. Sistem pembangunan kita selama ini berpusat pada kapital, bukan pada kehidupan. Maka, perlu dibangun paradigma baru—bahwa kesejahteraan sejati hanya mungkin jika manusia hidup selaras dengan alam.

Transformasi sistem sosial harus melibatkan rakyat, memperkuat solidaritas, dan menempatkan keadilan ekologis sebagai pilar utama pembangunan.


5. Perspektif Sistem: Model Gunung Es

Model “Gunung Es” menjelaskan bahwa persoalan yang tampak (banjir, kebakaran hutan, kemiskinan) hanyalah puncak kecil dari struktur masalah yang jauh lebih dalam. Di bawah permukaan terdapat pola, struktur, dan paradigma berpikir yang salah.

Akar masalahnya bukan hanya pada perilaku individu, melainkan pada sistem nilai dan struktur kekuasaan yang melanggengkan eksploitasi. Untuk mengubahnya, kita perlu menembus hingga ke dasar gunung es—mengubah cara pandang, kebijakan, dan sistem ekonomi yang menindas alam.


6. Program Bekal Pemimpin Terlahir

Kepemimpinan baru yang dibutuhkan bukanlah mereka yang hanya pandai mengatur proyek, melainkan yang mampu menggerakkan perubahan nilai. Program seperti Bekal Pemimpin Terlahir menjadi ruang untuk menempa kesadaran ekologis, sosial, dan spiritual para calon pemimpin gerakan rakyat.

Pemimpin sejati lahir dari proses pembelajaran yang menanamkan keberanian untuk berpihak, kemampuan membaca sistem, serta kerendahan hati untuk berjalan bersama rakyat dan alam.


7. Visi yang Menawarkan Masa Depan Alternatif

Kita membutuhkan visi baru: pengelolaan sumber daya alam Indonesia yang berkeadilan, berkelanjutan, dan berkearifan lokal.

Berkeadilan, artinya hasil bumi dinikmati secara merata oleh rakyat, bukan oleh korporasi.

Berkelanjutan, berarti menjaga daya dukung ekosistem untuk generasi mendatang.

Berkearifan lokal, berarti menghargai nilai-nilai, tradisi, dan sistem pengetahuan masyarakat adat yang terbukti menjaga keseimbangan alam selama berabad-abad.

Visi ini bukan utopia, melainkan cita-cita yang bisa diwujudkan jika kita membangun gerakan sosial yang kuat dan sistem yang berpihak pada kehidupan.


8. Indikator Keberhasilan

Keberhasilan tidak lagi diukur dari pertumbuhan ekonomi semata, melainkan dari:

Pulihnya ekosistem dan kualitas lingkungan hidup;

Menurunnya ketimpangan sosial dan penguasaan lahan;

Meningkatnya partisipasi rakyat dalam pengambilan keputusan;

Meningkatnya kesadaran ekologis dan spiritualitas sosial;

Tumbuhnya kemandirian ekonomi rakyat berbasis sumber daya lokal.


9. Paradigma Mendasar

Paradigma yang perlu kita bangun adalah ekosentris, bukan antroposentris. Alam bukan alat bagi manusia, tetapi rumah bersama bagi seluruh makhluk. Pembangunan yang sejati bukanlah menaklukkan alam, melainkan menata kehidupan agar selaras dengan hukum-hukum alam.

Kesadaran ini menuntun kita untuk berpikir holistik—melihat keterhubungan antara ekonomi, sosial, politik, dan ekologi sebagai satu kesatuan sistem kehidupan.


10. Transformasi Sistem Sosial Berawal dari Transformasi Diri

Tak ada perubahan sistem tanpa perubahan manusia. Transformasi sosial harus berawal dari transformasi diri.

Kita harus belajar kembali mencintai bumi, menyapa alam dengan hati, dan mengembalikan nilai-nilai spiritual dalam tindakan sehari-hari.

Dari kesadaran pribadi akan lahir gerakan kolektif, dan dari gerakan kolektif akan lahir sistem baru yang adil dan lestari.

Sebagaimana pepatah bijak, “Barang siapa mengenal dirinya, ia mengenal Tuhannya”—maka barang siapa mengenal dirinya, ia pun akan mengenal bumi sebagai cerminan kasih Ilahi.


11. Penutup

Mengelola alam dengan adil dan lestari bukan sekadar tuntutan moral, melainkan syarat bagi keberlanjutan bangsa. Indonesia hanya akan tetap hidup bila rakyatnya hidup berdampingan dengan alam, bukan di atas puing-puingnya.

Gerakan lingkungan hidup hari ini bukan sekadar perlawanan terhadap kerusakan, tetapi perjuangan untuk membangun peradaban baru—peradaban yang berakar pada cinta, kesadaran, dan keberlanjutan.

Mari bersama menapaki jalan panjang transformasi ini, dengan keyakinan bahwa perubahan sejati selalu dimulai dari satu langkah kecil: langkah kesadaran.

---

=========================================================================

Syair Perang Menteng (Perang Palembang)

Berikut versi syair panjang (lebih dari 50 bait) tentang (Perang Menteng) — disusun dalam gaya klasik Melayu-Palembang, bernuansa tasawuf, s...