___________
Dalam sejarah spiritual Islam, kisah para wali Allah selalu menyimpan pesona tersendiri. Mereka bukan hanya sosok yang saleh, tetapi juga dianggap sebagai pewaris rohani Nabi, yang hidupnya dipenuhi keberkahan dan karamah (kemuliaan luar biasa) yang melampaui batas logika. Namun, di antara keyakinan dan kekaguman, muncul juga keraguan: manakah yang benar-benar fakta spiritual, dan manakah yang sekadar mitos yang membesar?
Makna Karamah dalam Tasawuf
Karamah dalam istilah sufi adalah kejadian luar biasa yang terjadi atas diri seorang wali, tanpa usaha luar biasa dari dirinya, sebagai anugerah dari Allah. Berbeda dengan mukjizat para nabi yang menjadi bukti kenabian, karamah hadir sebagai penguat iman dan bukti kedekatan sang wali dengan Tuhan.
Imam al-Qusyairi dalam Risalah al-Qusyairiyyah menegaskan:
“Karamah bukanlah tujuan, tetapi hasil dari istiqamah. Jika engkau melihat seseorang berjalan di atas air, jangan langsung tertipu, lihat dulu apakah ia istiqamah dalam syariat.”
Antara Hikmah dan Imajinasi
Kisah-kisah karamah sering kali bercampur dengan imajinasi dan pengagungan berlebihan dari para pengikut. Namun, tetap ada kisah-kisah yang sarat hikmah dan bisa ditarik pelajaran spiritual darinya.
Syaikh Abdul Qadir al-Jilani: Memberi dari Jarak Jauh
Dalam satu riwayat yang diceritakan para muridnya, suatu hari seorang fakir datang ke majelis Syaikh Abdul Qadir dan mengadu kelaparan. Syaikh berkata, “Pergilah ke rumahmu, Allah telah memberimu rezeki.” Fakir itu pulang, dan benar, di depan rumahnya ada sekarung gandum dan makanan. Apakah ini mukjizat? Bisa jadi seseorang mengantar, atau bisa jadi karamah. Namun, pelajaran yang tampak jelas adalah kepasrahan mutlak sang wali kepada kehendak Allah—dan betapa Allah mencukupi mereka yang berserah diri.
Rabi’ah al-Adawiyah: Menolak Dunia demi Cinta Ilahi
Rabi’ah terkenal dengan kesalehan dan cintanya yang murni kepada Allah. Suatu ketika, ia berjalan membawa obor dan ember air. Ketika ditanya, ia menjawab: “Dengan api ini aku akan bakar surga, dan dengan air ini aku akan padamkan neraka, agar manusia menyembah Allah bukan karena iming-iming pahala atau takut siksa.”
Karamahnya bukan pada berjalan di atas air atau menyembuhkan orang sakit, tetapi dalam kedalaman cinta dan ketulusan niat. Ini adalah bentuk karamah maknawi—yang lebih tinggi nilainya dari fisik.
Syaikh Ahmad al-Badawi: Mengobati Tanpa Obat
Di Mesir, Syaikh Ahmad al-Badawi dikenal memiliki pandangan yang bisa menyembuhkan. Dikisahkan bahwa seorang anak lumpuh diseret oleh ibunya ke makam beliau seraya menangis. Dalam mimpi, sang ibu melihat Syaikh berkata, “Anakmu sembuh karena keyakinanmu.” Esoknya, anak itu benar-benar bangkit berjalan. Kisah ini memperlihatkan betapa keyakinan (yaqin) dapat menjadi jalan kesembuhan dan karamah bisa muncul dari cinta dan tawakal seorang ibu.
Menyikapi Karamah Secara Seimbang
Tidak semua yang dikisahkan sebagai karamah layak dipercaya mentah-mentah. Imam al-Ghazali menyatakan bahwa karamah hanyalah efek samping dari kedekatan hamba dengan Allah. Jika seorang hamba sampai sibuk memburu karamah, maka ia telah berpaling dari tujuan utama: ma’rifatullah.
Sebagian ulama seperti Ibnu Taimiyyah juga mengingatkan bahwa sebagian fenomena yang tampak ajaib bisa jadi bukan karamah, tapi istidraj—yakni jebakan dari Allah untuk orang yang sebenarnya jauh dari-Nya.
Hikmah dalam Karamah
Karamah bukanlah sesuatu yang harus diburu, bukan pula yang patut dipamerkan. Ia adalah buah dari keikhlasan, ibadah yang khusyuk, dan hati yang dipenuhi cinta Ilahi. Kisah-kisah para wali, entah nyata atau simbolik, membawa pesan yang dalam: bahwa Allah Maha Kuasa memperlihatkan keajaiban pada siapa pun yang sungguh-sungguh mencintai-Nya.
Sebagaimana pepatah sufi berkata:
“Bukan karamah yang membuat seseorang menjadi wali, tetapi kewalianlah yang membuat karamah itu nyata.”
Tidak ada komentar:
Posting Komentar