Sabtu, 28 Juni 2025

Sufi Sebagai Agen Perdamaian dan Toleransi: Jejak Spiritualitas dalam Membangun Dunia yang Damai

 

_________________
Di sebuah desa yang jauh dari hiruk-pikuk kota, seorang sufi tua bernama Syekh Mahfudz tinggal dalam kesederhanaan. Rumahnya terbuka untuk siapa saja, tak peduli agama, suku, atau status sosial mereka. Di situ, orang-orang dari latar belakang berbeda datang untuk mencari kedamaian, bukan hanya dalam nasihatnya, tapi dalam ketenangan aura batinnya. Kisah Syekh Mahfudz adalah gambaran nyata bagaimana seorang sufi menjalankan peran sebagai agen perdamaian dan toleransi — bukan lewat wacana, tapi lewat laku hidup yang teduh dan menyentuh hati.
Tasawuf: Jalan Cinta dan Kasih Sayang
Tasawuf, inti ajaran sufi, berdiri atas dasar cinta (mahabbah), pengampunan (’afw), dan kelembutan (rifq). Para sufi memandang bahwa setiap makhluk adalah ciptaan Tuhan, yang harus dihormati dan dikasihi. Dalam pandangan mereka, akar segala konflik adalah ego (nafs) yang belum disucikan, dan perdamaian hanya bisa lahir dari hati yang telah jernih dari kebencian.
Imam al-Ghazali berkata, “Kedamaian bukan hasil dari banyak bicara, melainkan hasil dari hati yang penuh kasih.” Sementara Jalaluddin Rumi menuliskan, “Di luar benar dan salah, ada sebuah taman. Aku akan menemuimu di sana.” Taman yang dimaksud Rumi adalah ruang batin, di mana batas-batas manusia dilebur oleh cinta Ilahi yang universal.
Sufi dan Perjumpaan Antar Perbedaan
Para sufi kerap menjadi jembatan antar golongan yang bertikai. Dalam sejarah Islam, banyak dari mereka menjadi penenang di tengah badai konflik. Syekh Abdul Qadir al-Jilani, misalnya, dikenal sebagai sosok yang mempersatukan berbagai mazhab dan kalangan dengan kelembutan dan kedalaman ilmunya. Ia berkata, “Jangan lihat siapa yang datang kepadamu, tapi lihatlah siapa yang mengutusnya.”
Begitu pula dengan Syekh Ahmad al-Tijani yang dalam tarekatnya menekankan pentingnya mencintai seluruh manusia tanpa memandang ras atau agama. Ia mengajarkan bahwa toleransi bukan sekadar menerima, tetapi menghormati dan merangkul.
Sufi di Tengah Masyarakat Modern
Di era kini yang penuh polarisasi, ajaran para sufi menjadi oase di padang pasir panas kebencian. Mereka hadir bukan sebagai pengkhotbah, tapi sebagai pelaku cinta. Dalam komunitas-komunitas tasawuf kontemporer, kita masih menemukan para mursyid dan murid yang dengan sabar membangun harmoni antarumat dan antarbudaya. Mereka menghindari debat kosong dan lebih memilih menanam nilai melalui amal nyata: memberi makan, mengobati, dan mendampingi.
Seorang sufi modern, Syekh Nazim al-Haqqani, berkata dalam salah satu majelisnya: “Jika engkau ingin menjadi kekasih Tuhan, cintailah semua makhluk-Nya. Jangan hanya sibuk dengan zikir dan wirid, tapi pergilah dan berikan kedamaian kepada mereka yang gelisah.”
Akhir Kata: Sufi dan Dunia yang Merindu Damai
Sufi bukan hanya pejalan sunyi di malam gelap, mereka adalah lentera yang menuntun manusia menuju kedamaian sejati. Mereka percaya bahwa perang dan pertentangan tak akan pernah usai selama manusia belum berdamai dengan dirinya sendiri. Karena itulah, ajaran tasawuf tidak berakhir di sajadah dan dzikir, tapi menjelma dalam tindakan penuh kasih yang bisa dirasakan siapa saja.
Dalam dunia yang semakin bising oleh kebencian, para sufi hadir dengan bisikan lembut yang meredakan — mengajarkan bahwa jalan menuju Tuhan adalah jalan cinta, dan cinta tidak pernah mengenal batas.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Malam Sunyi Sang Wali: Kisah, Teknik, dan Adab Khalwat

  _______________ Di balik gunung yang jauh dari hiruk-pikuk manusia, terdapat sebuah gua kecil yang hanya diketahui oleh segelintir pendudu...