_____________
Dalam tasawuf, basyīrah bukan sekadar penglihatan spiritual, melainkan cahaya ruhani yang memancar dari hati, membimbing seorang salik (pejalan spiritual) untuk mengenal hakikat, menembus tirai dunia, dan akhirnya menyaksikan kehadiran Allah. Para sufi sepakat bahwa basyīrah bukan warisan ilmu akal semata, melainkan buah dari tazkiyah al-nafs (pensucian jiwa), mujahadah (perjuangan diri), dan dzikir yang ikhlas.
Allah berfirman:
“Bukanlah mata itu yang buta, tetapi yang buta ialah hati yang di dalam dada.”
(QS. Al-Hajj: 46)
Maka dari itu, dalam tasawuf dikembangkan konsep tiga tingkatan basyīrah—dari cahaya awal yang redup hingga puncak penyaksian ruhani.

“Cahaya Kilatan Basyīrah” – Awal Kesadaran Ruhani
Tingkatan ini menandai permulaan hidupnya mata batin. Dalam kondisi ini, cahaya ilahi mulai menyentuh hati, menyebabkan munculnya kesadaran ruhani: takut kepada Allah, rasa tunduk, dan keinginan kuat untuk kembali kepada-Nya.

Syaikh Ibnu ‘Ajibah berkata:
“Syu‘ā‘ul basyīrah adalah isyarat dari Allah bahwa hati sedang disinari, agar ia bangkit dari kelalaian dan menuju ke hadirat-Nya.”
Tanda-tanda tingkat ini:
- Sering menangis saat dzikir atau mendengar ayat.
- Guncangan jiwa ketika mengingat kematian.
- Tumbuhnya rasa malu kepada Allah.
Syaikh Abdul Qadir al-Jilani menyebut ini sebagai:
“Awal gerakan hati menuju cahaya makrifat. Barangsiapa memeliharanya, akan diberi kelapangan dalam penyaksian.”

“Mata Basyīrah yang Terbuka” – Menyaksikan Hikmah dan Kehadiran Allah
Pada tingkat ini, penglihatan batin semakin tajam. Salik mulai melihat hikmah di balik setiap kejadian, dan dunia tidak lagi menipu, tetapi menjadi cermin kehadiran Ilahi.

Imam al-Qusyairi dalam Risalah al-Qusyairiyyah menulis:
“Aynul basyīrah adalah ketika engkau melihat Allah dalam setiap gerak diammu, bukan hanya melalui pengetahuan, tetapi penyaksian hati.”
Ciri-ciri tingkat ini:
- Mampu menerima musibah dengan lapang dada.
- Merasa bahwa segala sesuatu terjadi karena kehendak Allah.
- Mampu melihat hikmah dalam hal-hal yang tampak buruk.
Ibnu Atha’illah dalam al-Hikam berkata:
“Ketika cahaya basyīrah menyinari hatimu, maka segala makhluk akan menjadi hijab yang transparan—engkau tidak lagi terhalangi oleh bentuk, melainkan melihat hakikat.”

“Hakikat Basyīrah” – Penyaksian Mutlak terhadap Allah
Ini adalah tingkatan tertinggi mata batin. Pada tahap ini, diri salik telah fana’ (lenyap dari kesadaran ego) dan yang tersisa hanya penyaksian hakikat Tuhan. Dunia dan segala isinya lenyap dari hati, yang tinggal hanyalah kesadaran tentang wujud Allah secara mutlak.

Syaikh Abu Yazid al-Bisthami berkata:
“Aku menenggelamkan diriku dalam lautan basyīrah, hingga tidak lagi kulihat diriku, melainkan hanya Dia.”
Imam al-Junayd juga berkata:
“Haqq al-basyīrah adalah saat engkau menyaksikan Allah dengan mata hati, seakan engkau tidak menyaksikan selain-Nya.”
Tanda-tanda tingkat ini:
- Tidak lagi mempersoalkan takdir.
- Hatinya selalu hadir di hadirat Allah.
- Tidak tertarik pada dunia, bahkan tidak merasa dirinya ada (fana').

Perjalanan mata batin bukan perjalanan sehari dua hari. Ia adalah pendakian panjang dari syu‘ā’ ke ‘ayn, hingga haqq. Setiap tingkatan memiliki rintangan, rahasia, dan keindahannya sendiri. Ia hanya dapat dilalui oleh mereka yang mau menyucikan hatinya, melawan nafsunya, dan memelihara dzikir dengan istiqamah.
Sebagaimana firman Allah:
“Dan barangsiapa yang buta (hatinya) di dunia, maka di akhirat pun ia akan buta dan lebih sesat jalannya.”
(QS. Al-Isra’: 72)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar