Rabu, 25 Juni 2025

Sikap Sufi terhadap Popularitas dan Mukjizat: Antara Fana dan Ikhlas

 



____________
Dalam dunia tasawuf, popularitas dan mukjizat (yang sering kali dikaitkan dengan karamah) bukanlah tujuan seorang salik (penempuh jalan spiritual), melainkan ujian yang bisa membawa seseorang kepada kemuliaan, atau sebaliknya, kepada kehancuran ruhani jika tidak disikapi dengan benar. Para sufi menekankan pentingnya ikhlas, fana (lenyap ego dalam Tuhan), dan ketundukan total kepada kehendak Allah, bukan kepada sanjungan manusia atau keinginan untuk terlihat istimewa.
Popularitas: Cermin Diri atau Ujian Hati
Para sufi klasik selalu memandang popularitas dengan sangat hati-hati. Bagi mereka, ketenaran adalah ujian terbesar bagi orang yang sedang menapaki jalan Allah. Imam al-Ghazali dalam Ihya Ulumuddin mengingatkan bahwa cinta terhadap popularitas dan pujian manusia adalah salah satu penyakit hati yang paling halus dan berbahaya. Ia menulis, "Cinta terhadap dunia itu berakar pada cinta terhadap pujian, dan cinta terhadap pujian berakar dari tidak mengenal hakikat diri sendiri dan Tuhan."
Syaikh Abdul Qadir al-Jailani, salah seorang wali besar, juga pernah berkata kepada murid-muridnya, “Janganlah engkau menjadi orang yang terkenal, jadilah orang yang dikenali oleh Allah. Karena ketenaran itu hanya cahaya semu, sedang yang sejati adalah cahaya dalam hatimu.”
Banyak sufi justru menghindari keramaian dan memilih hidup dalam kesederhanaan dan kesunyian agar tidak tertipu oleh pujian. Mereka memahami bahwa setiap ketenaran membawa godaan untuk riya (pamer), ujub (bangga diri), dan merasa lebih baik dari orang lain — hal-hal yang bisa merusak amal dan merusak hati.
Mukjizat dan Karamah: Anugerah atau Jerat?
Mukjizat dalam pengertian tasawuf bukan seperti mukjizat para nabi, melainkan disebut karamah — kejadian luar biasa yang terjadi pada para wali sebagai anugerah dari Allah, bukan hasil usaha mereka. Namun, para sufi tidak menjadikan karamah sebagai tolok ukur kesalehan. Bahkan mereka lebih senang menyembunyikannya agar tidak terjebak dalam keangkuhan spiritual.
Imam Junaid al-Baghdadi pernah ditanya tentang seorang sufi yang bisa berjalan di atas air dan terbang di udara. Ia menjawab, “Itu semua tidak ada nilainya jika ia tidak menjaga batas-batas syariat.” Ini menunjukkan bahwa karamah tidak boleh menjadi ukuran utama kewalian. Ketaatan, keikhlasan, dan kerendahan hati jauh lebih penting.
Sementara itu, Abu Yazid al-Bistami mengatakan, “Jika engkau melihat seseorang bisa berjalan di atas air atau terbang di udara, maka janganlah tertipu sampai engkau melihat bagaimana ia mematuhi perintah Allah dan menjauhi larangan-Nya.”
Kisah Hikmah: Wali yang Menyembunyikan Karamahnya
Ada kisah tentang seorang wali yang terkenal di wilayah Khurasan. Setiap hari ia berpakaian lusuh dan bekerja sebagai penyamak kulit. Padahal banyak orang yang telah merasakan doa dan keajaiban dari dirinya. Ketika ditanya mengapa ia tidak menunjukkan kehebatannya, ia menjawab dengan tenang, “Singa pun tak perlu meraung agar diketahui bahwa ia singa. Kekuatan sesungguhnya ada pada keikhlasan, bukan pada tontonan.”
Menjadi Tak Terlihat untuk Dilihat Allah
Bagi para sufi, ketenaran dan karamah hanyalah alat ujian. Jalan yang mereka tempuh adalah jalan fana’, lenyap dalam Allah. Mereka tidak mencari perhatian manusia, tetapi ridha Ilahi. Popularitas bisa membutakan, sementara mukjizat bisa menyesatkan jika tidak disikapi dengan kebeningan hati.
Seorang sufi sejati adalah yang tetap merendah saat dipuji, tetap tersembunyi saat dikenal, dan tetap ikhlas meski dikaruniai keajaiban. Mereka seperti lilin yang menyala dalam gelap, memberi cahaya tanpa berharap disanjung.
“Jadilah seperti akar pohon: tak terlihat, namun menyangga kehidupan.”
— Pepatah sufi

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Malam Sunyi Sang Wali: Kisah, Teknik, dan Adab Khalwat

  _______________ Di balik gunung yang jauh dari hiruk-pikuk manusia, terdapat sebuah gua kecil yang hanya diketahui oleh segelintir pendudu...