_____________
Di dunia yang dipenuhi oleh kesibukan indra lahir, kaum sufi percaya bahwa manusia memiliki "mata lain"—sebuah penglihatan ruhani yang tidak tergantung pada retina, tetapi pada kejernihan hati. Dalam bahasa tasawuf, ia disebut al-‘ayn al-bāṭinah (mata batin), yang berfungsi untuk menyaksikan hakikat realitas melebihi apa yang terlihat oleh mata kepala.

Keyakinan akan keberadaan dan pentingnya mata batin bukanlah rekaan para sufi, melainkan berpijak pada Al-Qur’an. Allah berfirman:
"Maka apakah mereka tidak berjalan di muka bumi, lalu mereka mempunyai hati yang dengan itu mereka dapat memahami, atau telinga yang dengan itu mereka dapat mendengar? Sesungguhnya bukan mata itu yang buta, tetapi yang buta ialah hati yang di dalam dada."
(QS. Al-Hajj: 46)
Ayat ini menunjukkan bahwa kebutaan sejati bukan pada mata fisik, tetapi pada mata hati yang tertutup oleh kegelapan dosa dan hawa nafsu.

Dalam istilah sufi, baṣīrah adalah cahaya batin yang muncul dari hati yang suci. Ia memungkinkan seseorang membedakan antara yang hak dan batil secara intuitif.

"Katakanlah: ‘Inilah jalanku, aku mengajak kepada Allah atas dasar bashirah (pandangan yang jelas), aku dan orang-orang yang mengikutiku.’"
(QS. Yusuf: 108)
Menurut Imam al-Ghazali, baṣīrah muncul setelah seseorang menundukkan hawa nafsunya dan menyingkirkan penghalang antara dirinya dan Allah. Ia berkata:
“Basirah adalah mata batin yang apabila disinari oleh nur dari Allah, maka kebenaran akan terlihat jelas, meskipun tersembunyi dari mata lahir.”
(Iḥyā’ ‘Ulūm al-Dīn)

Kashf berarti terbukanya hijab antara hati hamba dan realitas spiritual. Ketika Allah menyingkap hijab duniawi, maka sang salik (pencari ruhani) mulai melihat bukan hanya bentuk luar, tapi makna batin dari segala sesuatu.

"Sungguh Kami telah menyingkap darimu tutupanmu, maka penglihatanmu pada hari ini sangat tajam."
(QS. Qaf: 22)
Meski ayat ini berkonteks hari kiamat, para sufi memahami bahwa dengan pembersihan jiwa, “penyingkapan” serupa dapat terjadi di dunia ini—sebagai buah dari riyāḍah dan dzikrullah yang istiqamah.
Ibnu ‘Arabi berkata:
“Kashf adalah permulaan dari pengetahuan langsung; bukan hasil berpikir, tetapi pancaran dari Tuhan ke dalam hati.”

Firasah adalah kemampuan melihat hakikat sesuatu melalui nur dari Allah. Ia bukanlah ramalan atau sihir, tetapi cahaya yang timbul dari hati yang jernih.

"Takutlah kepada firasat orang mukmin, karena dia melihat dengan cahaya Allah."
(HR. Tirmidzi)
Ulama seperti Syeikh Abdul Qadir al-Jilani mengatakan bahwa firasah hanya dimiliki oleh mereka yang hatinya dipenuhi dengan dzikir dan tazkiyah.

Syuhūd adalah kondisi di mana hati seorang hamba menyaksikan kehadiran Allah di balik ciptaan-Nya. Dalam kondisi ini, dunia tak lagi menjadi penghalang, tetapi jendela untuk melihat-Nya.

"Kami akan perlihatkan kepada mereka tanda-tanda (kebesaran) Kami di segenap penjuru dan pada diri mereka sendiri, sehingga jelaslah bagi mereka bahwa Al-Qur’an itu adalah benar."
(QS. Fushshilat: 53)
Dalam tafsir Sufi, ayat ini dimaknai sebagai janji Tuhan bahwa mereka yang bersungguh-sungguh akan mendapatkan tajallī (manifestasi sifat Allah) dalam kehidupan mereka.
Imam al-Junayd al-Baghdadi menyatakan:
“Syuhud adalah ketika tidak ada lagi penghalang antara hati dan Allah. Dunia tampak, tetapi tidak lagi menutupi.”

Sirr adalah dimensi ruhani terdalam dalam diri manusia. Di sinilah terjadi penyaksian ruhani tertinggi, tempat Allah berkomunikasi langsung dengan hamba-Nya melalui nur makrifat.

"Dan sesungguhnya telah Kami muliakan anak-anak Adam..." (QS. Al-Isra’: 70)
Para sufi memandang kemuliaan ini sebagai anugerah batiniah, yaitu potensi untuk menyaksikan Allah melalui dimensi sirr yang murni.
Ibnu Ajibah menjelaskan:
“Sirr adalah tempat penyinaran makna ilahiah dalam diri manusia; ia tidak terlihat oleh makhluk, bahkan oleh jiwa manusia sendiri, kecuali setelah fana.”
-------

Para sufi tidak mengejar kemampuan melihat yang ajaib. Mereka mengejar kesucian hati, karena hanya hati yang suci yang mampu "melihat" Allah di balik segala sesuatu.
Allah berfirman:
"Allah adalah cahaya langit dan bumi..." (QS. An-Nur: 35)
Sufi memahami bahwa “cahaya Allah” itulah yang menerangi hati, menjadi “mata batin” yang mampu menembus hijab dunia dan menyaksikan keindahan-Nya.
Sebagaimana perkataan Syaikh Sahl at-Tustari:
“Hati adalah tempat pandangan Allah. Jika kau bersihkan hatimu dari selain-Nya, maka akan tampak cahaya-Nya di sana.”
Tidak ada komentar:
Posting Komentar