Rabu, 25 Juni 2025

Ketika Cinta Menjadi Jalan: Ekspresi Mahabbah Para Ulama Sufi

 

______________
Cinta dalam dunia tasawuf bukanlah sekadar rasa manis dalam hati. Ia adalah nyala api yang membakar ego, menghanguskan nafsu, dan menuntun sang hamba kepada kehadiran Ilahi. Para ulama sufi — mereka yang hatinya bening oleh zikir dan tubuhnya luluh dalam riyadhah — menjadikan cinta (mahabbah) sebagai inti dari perjalanan ruhani mereka.
Rabi’ah Al-Adawiyah: Cinta Tanpa Pamrih
Suatu malam, Rabiah terlihat membawa obor dan seember air. Ketika ditanya, ia menjawab:
“Dengan api ini aku ingin membakar surga, dan dengan air ini aku ingin memadamkan neraka, agar tiada lagi yang menyembah Allah karena berharap surga atau takut neraka, tapi semata-mata karena cinta.”
Bagi Rabi’ah, cinta kepada Allah tak boleh dikotori oleh motif duniawi atau ukhrawi. Cinta sejati adalah ibadah yang tulus, hanya karena Dia layak dicintai.
Al-Hallaj: Cinta yang Menyatu
Mansur Al-Hallaj dikenal karena ungkapannya yang menggetarkan sejarah: "Ana al-Haqq" (Akulah Kebenaran). Meski di kemudian hari ia dieksekusi karena dianggap menyatakan ketuhanan, banyak ulama sufi memahami ucapan itu sebagai puncak dari fana' — lenyapnya ego dalam samudera cinta Ilahi.
“Antara aku dan Engkau, hanya Engkau. Maka aku hilang dalam-Mu, dan Engkau yang bicara dari dalam diriku.”
Bagi Hallaj, cinta bukan lagi hubungan antara dua entitas, tetapi penyatuan — bukan secara zat, tapi secara pengalaman ruhani.
Jalaluddin Rumi: Puisi dan Putaran Cinta
Bagi Maulana Rumi, cinta adalah getaran semesta. Ia menulis ribuan bait dalam Mathnawi dan Diwan-e Shams yang sarat dengan bahasa cinta. Ia berkata:
“Cinta adalah air kehidupan. Ia seperti darah dalam tubuh. Tanpa cinta, segalanya mati.”
Rumi menyampaikan bahwa cinta bukan sekadar emosi, tapi kekuatan transformatif yang menyucikan ruh. Bahkan tari putar para darwis (whirling dervishes) berasal dari ekspresi cinta yang melampaui kata.
Imam Al-Ghazali: Cinta sebagai Puncak Makrifat
Dalam Ihya’ Ulumuddin, Al-Ghazali menjelaskan bahwa cinta kepada Allah adalah buah dari ma’rifah — pengenalan terhadap Allah yang mendalam. Ia menulis:
“Cinta kepada Allah adalah kenikmatan tertinggi yang dapat dirasakan seorang hamba di dunia. Dan siapa yang mencintai Allah, maka seluruh dunia dan isinya menjadi kecil di hadapannya.”
Baginya, cinta bukanlah awal, tetapi ujung dari perjalanan ilmu dan amal. Ia mengibaratkan cinta sebagai matahari yang menghidupkan bumi hati manusia.
Syekh Abdul Qadir al-Jailani: Cinta dalam Kepatuhan
Dalam khutbah dan wasiatnya, Syekh Abdul Qadir menekankan bahwa cinta bukan sekadar kata indah, tetapi harus dibuktikan dalam ketaatan. Beliau berkata:
“Jangan engkau katakan engkau mencintai-Nya, sementara engkau lalai dalam perintah-Nya. Sebab cinta sejati adalah kepatuhan tanpa syarat.”
Cinta dalam pandangannya adalah kesetiaan dalam ibadah, sabar dalam cobaan, dan rida dalam takdir.
----------++++
Cinta yang Menyucikan
Bagi para ulama sufi, cinta bukanlah sekadar perasaan. Ia adalah jalan hidup, sumber kekuatan, sekaligus tujuan akhir. Cinta memurnikan hati, menyatukan makhluk dengan Khalik-nya, dan menjadikan hidup sebagai ibadah yang penuh makna.
Ketika seorang salik mencintai Allah sebagaimana para sufi mencintai-Nya, maka ia tak hanya menjalani agama, tetapi juga menghidupinya.
“Cinta adalah inti agama. Tanpa cinta, syariat menjadi kering, dan ibadah menjadi beku.”
— Hikmah Sufi

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Malam Sunyi Sang Wali: Kisah, Teknik, dan Adab Khalwat

  _______________ Di balik gunung yang jauh dari hiruk-pikuk manusia, terdapat sebuah gua kecil yang hanya diketahui oleh segelintir pendudu...