Rabu, 25 Juni 2025

Aplikasi Ajaran Sufi dalam Etika Sosial, Kerja, Pernikahan, dan Kehidupan Bermasyarakat

 




____________
Dalam hiruk-pikuk dunia modern yang dipenuhi ambisi, persaingan, dan materialisme, ajaran tasawuf atau sufisme hadir seperti oasis yang menyejukkan. Ia bukan sekadar jalan spiritual menuju Tuhan, tetapi juga ajaran luhur yang meresap ke dalam semua aspek kehidupan manusia: dari etika sosial hingga relasi dalam rumah tangga. Para sufi tidak mengasingkan diri dari dunia, tetapi mengolah batin agar mampu menghadapi dunia dengan jernih, sabar, dan penuh kasih sayang.
Etika Sosial: Hidup Bersama dengan Hati Bersih
Dalam interaksi sosial, seorang sufi diajarkan untuk tidak memandang manusia dari lahiriah, tetapi dari potensi ruhaniyahnya. Imam al-Ghazali menekankan pentingnya husnuzhzhan (berprasangka baik) kepada sesama. Seorang sufi, kata beliau, "melihat manusia dengan mata kasih, bukan mata hukum."
Sikap ini terwujud dalam keramahan, pemaafan, tidak membalas keburukan dengan keburukan, serta mampu menahan amarah. Syekh Abdul Qadir al-Jailani sering mengajarkan pentingnya rahmah (kasih sayang) dalam setiap tindakan. Bahkan terhadap musuh sekalipun, seorang sufi tetap bersikap penuh kelembutan, sebagaimana Allah bersifat ar-Rahman terhadap semua makhluk.
Etika Kerja: Bekerja sebagai Ibadah dan Ladang Tazkiyah
Bagi seorang sufi, bekerja bukan sekadar mencari nafkah, tetapi juga riyadhah (latihan jiwa). Syekh Ahmad Zarruq berkata, "Kerja yang dilakukan dengan kejujuran dan amanah adalah bentuk zikir yang diam."
Dalam dunia kerja, ajaran tasawuf menekankan nilai ikhlas, jujur, dan tidak tamak. Seorang pedagang sufi, misalnya, akan lebih memilih rugi secara materi daripada harus menipu pembeli. Ia meyakini bahwa keberkahan lebih utama daripada keuntungan besar yang dicampur kebohongan. Hal ini sebagaimana dicontohkan oleh para sahabat Nabi, seperti Abdurrahman bin Auf, yang kaya namun zuhud.
Etika Pernikahan: Cinta sebagai Jalan Menuju Tuhan
Pernikahan dalam pandangan sufi bukan hanya ikatan lahir, melainkan juga penyatuan ruh. Jalaluddin Rumi menyebut cinta suami-istri sebagai "cermin cinta Ilahi". Pernikahan adalah ladang kesabaran, pengorbanan, dan kasih sayang yang terus-menerus.
Ibnu 'Arabi dalam Futuhat al-Makkiyah menulis bahwa pernikahan adalah maqam pelatihan jiwa, karena di dalamnya ada ujian ego, kesetiaan, dan penerimaan atas takdir. Seorang suami yang menahan marah dan seorang istri yang menanam kesabaran adalah murid sejati dalam madrasah cinta Ilahi.
Etika Bermasyarakat: Menjadi Cahaya dalam Gelapnya Dunia
Para sufi tidak hidup di atas menara gading. Mereka hadir di tengah masyarakat sebagai penerang. Maulana Malik Ibrahim dan para Wali Songo, misalnya, menyebarkan Islam bukan dengan pedang, melainkan dengan akhlak mulia, pelayanan sosial, dan contoh hidup yang bersih dari keserakahan.
Seorang sufi di tengah masyarakat adalah seperti pelita di malam hari. Ia menjaga lisan dari ghibah, tangannya dari menyakiti, dan hatinya dari iri dengki. Dalam masyarakat, ia lebih suka memberi daripada meminta, lebih memilih memaafkan daripada membalas, dan lebih nyaman menjadi jembatan daripada menjadi tembok pemisah.
Sufi Bukan Orang Asing di Tengah Dunia
Ajaran tasawuf bukan hanya untuk mereka yang menyendiri di gunung atau uzlah di pojok masjid. Ia justru paling hidup saat diterapkan di pasar, di kantor, di rumah, dan di tengah pergaulan. Seorang sufi sejati adalah ia yang “hatinya bersama Allah, namun tangannya bersama manusia.”
Sebagaimana dikatakan Imam Junaid al-Baghdadi:
“Sufi adalah ia yang tidak disibukkan oleh dunia dari Tuhannya, dan tidak pula disibukkan oleh Tuhannya dari memberi manfaat kepada makhluk.”
Dengan demikian, tasawuf bukanlah pelarian dari kenyataan, melainkan seni hidup di dalam kenyataan, dengan batin yang terus menyala oleh cahaya Ilahi.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Malam Sunyi Sang Wali: Kisah, Teknik, dan Adab Khalwat

  _______________ Di balik gunung yang jauh dari hiruk-pikuk manusia, terdapat sebuah gua kecil yang hanya diketahui oleh segelintir pendudu...