____________
Di tengah riuh rendah kota yang tak pernah benar-benar tidur, di antara bising klakson dan cahaya neon yang menyilaukan, hadir sekelompok jiwa yang mencari ketenangan. Mereka adalah para pencari makna—kaum urban yang haus akan kedamaian batin, dan menemukan jawabannya dalam pelukan tasawuf. Inilah yang kian dikenal sebagai Tasawuf Urban atau Sufisme Modern.
Tasawuf: Dari Padang Pasir ke Jalan Raya
Tasawuf, yang dulu tumbuh di padang pasir sunyi dan khusyuknya zawiyah (tempat khalwat), kini menemukan bentuk baru di tengah gedung pencakar langit dan cafe-cafe penuh diskusi. Sufisme tak lagi terpaku pada ritual tradisional di desa-desa terpencil, tapi mengalir lembut ke dalam ruang kerja, komunitas digital, dan bahkan media sosial.
“Sufisme itu seperti air, ia mengambil bentuk wadahnya. Asalkan esensinya tetap, maka ia tak berubah,” ungkap Syekh Hamza Yusuf, ulama Sufi kontemporer asal Amerika. Tasawuf urban bukanlah bentuk penyimpangan, tetapi perluasan medan cahaya spiritual ke tempat-tempat yang sebelumnya mungkin terasa asing bagi laku batin.
Karakteristik Tasawuf Urban
Tasawuf urban bukan berarti mengganti zikir dengan rap, atau mengganti wirid dengan podcast motivasi. Namun, ia menyelaraskan metode dan pendekatannya dengan dunia modern tanpa kehilangan ruhnya. Salik zaman kini tidak selalu mengenakan jubah, tetapi mungkin mengenakan jas dan membawa laptop. Ia bekerja di startup, tapi hati dan zikirnya terus berdenyut.
Para sufi modern memahami bahwa zuhud bukan berarti menolak dunia, tetapi menolak dikuasai oleh dunia. Seperti dikatakan oleh Maulana Rumi, “Berada di dunia ini ibarat kapal di air; kapal butuh air untuk mengapung, tapi jangan sampai air masuk ke dalam kapal dan menenggelamkannya.”
Mereka membangun komunitas virtual untuk saling mengingatkan, membentuk majelis taklim di kafe, dan merintis bisnis dengan niat ihsan. Mereka menyusun strategi kerja dengan semangat tawakal dan kejujuran.
Pandangan Ulama Sufi
Syekh Abdul Hakim Murad (Timothy Winter), seorang sufi modern dari Inggris, mengatakan bahwa tantangan umat zaman kini bukan hanya kebodohan, tetapi juga kelelahan spiritual. “Sufisme bukanlah pelarian dari dunia, tapi cara untuk menyucikan niat di tengah dunia.”
Begitu pula Sayyid Hussein Nasr, filsuf dan sufi dari Iran, menegaskan bahwa modernitas tidak harus mengorbankan ruhaniyah. “Kita perlu membangun jembatan antara tradisi dan zaman modern, dan sufisme adalah tali penghubung itu.”
Sementara ulama Nusantara seperti KH. Mustafa Bisri (Gus Mus) sering menekankan bahwa tasawuf itu bukan hanya ilmu, tapi cara hidup yang membentuk akhlak dan kelembutan hati. Dalam kehidupan urban, tasawuf menjadi rem dan pengarah agar umat tidak hanyut dalam arus konsumtivisme dan egosentrisme.
Tantangan dan Harapan
Tantangan terbesar tasawuf urban adalah bagaimana menjaga keikhlasan dan kedalaman di tengah rutinitas yang padat dan permukaan yang serba instan. Dalam dunia yang sangat visual dan cepat, tasawuf menuntut kontemplasi, kesabaran, dan kesadaran penuh (muraqabah). Tidak semua orang siap, tetapi banyak yang mulai merindukannya.
Namun, harapan tetap ada. Banyak anak muda mulai kembali mencari hakikat hidup, menghadiri majelis dzikir, membaca karya-karya Imam Al-Ghazali, dan belajar dari mursyid-mursyid yang membimbing dengan cinta dan hikmah.
Tasawuf urban adalah bukti bahwa spiritualitas tak pernah mati—ia hanya berubah bentuk mengikuti zaman. Selama hati masih ingin dekat dengan Tuhan, selama manusia masih bertanya tentang makna, selama itu pula tasawuf akan hidup—di desa, di kota, di dunia nyata, dan di dunia maya. Ia hadir untuk menjadi lentera, bahkan di tengah gelapnya malam perkotaan.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar