Rabu, 25 Juni 2025

Polemik Klasik: Antara Ulama Fikih dan Kaum Sufi Suatu Narasi Sejarah dan Refleksi Spiritualitas Islam

 

________________
Dalam sejarah panjang peradaban Islam, tercatat sebuah polemik klasik yang tak kunjung padam: pertentangan antara ulama fikih dan para sufi. Meskipun keduanya mengabdi kepada Islam, jalur yang mereka tempuh kerap tampak berseberangan—yang satu menekankan hukum lahiriah, yang lain mengejar makna batiniah. Polemik ini bukan sekadar soal metodologi, tetapi mencerminkan dua cara memahami agama: sebagai aturan syariat atau sebagai jalan menuju makrifat.
Dua Kutub dalam Dunia Islam
Ulama fikih adalah penjaga hukum-hukum Allah. Mereka memelihara syariat dengan ketelitian ijtihad, membangun bangunan hukum yang kokoh berdasarkan al-Qur’an dan Sunnah. Dalam pandangan mereka, ketaatan pada hukum-hukum Islam adalah wujud ibadah paling nyata. Ulama seperti Imam Malik, Imam Syafi’i, dan Imam Ahmad bin Hanbal menegaskan pentingnya mengikuti sunnah Nabi secara ketat, menjaga akidah dari penyimpangan, dan tidak bermain-main dengan “rasa” dalam hal ibadah.
Sementara itu, para sufi lebih tertarik pada ruh dari hukum itu sendiri. Mereka berkata, syariat adalah kulit, dan hakikat adalah isi. Tujuan mereka bukan sekadar melakukan, tetapi mengalami. Mereka mencari Allah melalui pembersihan jiwa, dzikir yang intens, cinta ilahi, dan pengalaman langsung (dzauq) terhadap kehadiran-Nya. Tokoh-tokoh seperti Al-Junaid, Al-Hallaj, Rabi’ah Al-Adawiyah, dan Al-Ghazali melihat Islam bukan hanya sebagai sistem, tapi sebagai jalan cinta.
Asal Polemik: Kecurigaan dan Kekhawatiran
Kecurigaan ulama fikih terhadap kaum sufi sering berakar pada praktik-praktik sufi yang tampak menyimpang dari norma umum. Ekspresi cinta ilahi yang puitis dan simbolik kadang dianggap berbahaya, bahkan kufur. Al-Hallaj yang berkata “Ana al-Haqq” (Akulah Kebenaran), misalnya, dituduh zindiq dan dihukum mati. Banyak fuqaha melihat praktik-praktik seperti tariqah, wirid-wirid yang tak berdasar dalam sunnah, dan khalwat sebagai bid’ah.
Di sisi lain, kaum sufi menilai para fuqaha terlalu kaku dan hanya sibuk dengan dunia lahiriah. Mereka mengkritik ulama fikih yang sibuk memperdebatkan najisnya air atau jumlah takbir, tetapi lupa untuk membersihkan hatinya. Dalam kata-kata Syaikh Abu Yazid Al-Busthami:
“Orang-orang ahli fikih mempelajari kata-kata, kami mempelajari makna di balik kata-kata itu.”
Jalan Tengah: Suara-suara Damai dari Para Tokoh Sufi
Namun, tidak semua sufi berseberangan dengan ahli fikih. Banyak tokoh sufi justru adalah ulama fikih besar. Imam Al-Ghazali adalah contoh terbaik. Ia adalah hujjat al-Islam, ahli fikih sekaligus sufi. Dalam karya monumentalnya Ihya Ulumuddin, ia berusaha memadukan ilmu lahir dan batin. Ia berkata:
"Syariat adalah perahu, thariqah adalah samudra, dan hakikat adalah mutiara. Barang siapa ingin mutiara tetapi menolak perahu, ia tenggelam."
Demikian pula Ibn Ata’illah As-Sakandari dalam al-Hikam, menulis dengan keindahan:
"Jangan karena melihat kelembutan para sufi kau anggap mereka melalaikan hukum; dan jangan karena melihat keketatan para fuqaha kau anggap mereka kehilangan rasa.”
Dua Sayap yang Mengangkat
Islam bukan hanya hukum, dan bukan hanya cinta. Ia adalah kombinasi syariat, thariqah, dan hakikat. Ulama fikih menjaga bentuk, sementara sufi menjaga ruh. Bila keduanya saling memahami dan menghormati, umat Islam akan terangkat dengan dua sayap: ilmu dan cinta, hukum dan hikmah.
Polemik ini, jika dibaca secara arif, bukan untuk menyulut permusuhan, tapi untuk menyadarkan bahwa jalan menuju Allah bisa berbeda, namun tetap menuju ke satu arah. Seperti kata Imam Malik:
"Barang siapa bertasawuf tanpa fikih, ia menjadi zindiq; barang siapa berfikih tanpa tasawuf, ia menjadi fasik; dan barang siapa menggabungkan keduanya, maka sungguh ia telah meraih kebenaran.”

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Malam Sunyi Sang Wali: Kisah, Teknik, dan Adab Khalwat

  _______________ Di balik gunung yang jauh dari hiruk-pikuk manusia, terdapat sebuah gua kecil yang hanya diketahui oleh segelintir pendudu...