Tarekat-Tarekat yang Berkembang di Indonesia
By Rifai
Shodiq Fathoni / 12 Oct, 2016 / Sejarah Indonesia
Islam masuk ke
wilayah Indonesia melalui jalur perdagangan. Pedagang dari Arab, Gujarat, dan
China yang datang ke Nusantara bukan hanya menjajakan dagangan mereka, melainkan
juga menyebarkan Islam. Islam menyebar dengan pesat di Indonesia. Bahkan
menurut teori Arab milik Hamka, sudah ada perkampungan orang Arab di Sumatra
sejak abad ke-7. Namun ada yang menarik dalam penyebaran Islam di
Nusantara. Masyarakat Nusantara mempunyai wajah yang beragam dalam menghayati
agama Islam itu sendiri. Tidak luput pula penghayatan melalui tarekat. Menurut
Martin van Bruinessen, ada ciri yang mencolok pada awal penyebaran Islam di
Nusantara, yaitu karya awal muslim di Nusantara sarat dengan unsur tasawuf.
Hasil
muktamar tasawuf yang diadakan di Pekalongan tahun 1960 menyatakan bahwa
tarekat masuk ke Indonesia pertama kali pada abad ke-7. Perkembangan tarekat
kemudian menyebar pesat di Nusantara setelah periode abad ke-13. Banyaknya para
ulama Jawi yang belajar ke Haramain menjadi faktor utama. Ulama Jawi yang
pulang ke Nusantara membawa ijazah dari para guru mereka di Haramain untuk
menyebarkan Islam ke daerah mereka masing-masing.
Kata
tarekat secara harfiah berarti jalan, baik berupa sistem latihan pembersihan
diri dalam hati maupun amalan, yang berupa wirid, dzikir, muraqabah, dan lain sebagainya, yang dihubungkan
dengan metode sufi dan organisasi yang tumbuh seputar metode ini. Tarekat
mempunyai arti penting dalam masyarakat Indonesia. Karena pada umumnya, tarekat
berhasil mengambil hati masyarakat Nusantara masa itu. Tarekat bukan hanya
berkembang menjadi organisasi keagamaan, melainkan menjadi perekat tali
persaudaraan umat muslim Nusantara. Tidak sedikit pula penguasa atau raja masa
itu, menggunakan tarekat sebagai penarik legitimasi rakyat. Namun faktor
pendukung perkembangan tarekat yaitu ketertarikan rakyat Indonesia kepada unsur
mistik dalam tarekat.
Ada banyak macam
tarekat yang berkembang di Indonesia. Ada beberapa tarekat besar di Indonesia
yang merupakan cabang dari tarekat sufi internasional. Diantaranya adalah
tarekat Khalwatiyah, tarekat Syattariyah, tarekat Syadziliyah, tarekat
Qadiriyah, tarekat Rifa’iyyah, Tijaniyah, Idrisiyah, dan yang terbesar adalah
Naqsyabandiyah. Sedangkan tarekat lokal diantaranya tarekat Wahidiyah, tarekat
Shiddiqiyah, dan tarekat Syahadatain.
Sejarah dan Perkembangan Tarekat di Indonesia
Gerakan
Tarekat adalah gerakan perbaikan masyarakat. Dalam lintas sejarah tarekat, para
sufi juga terlibat dalam perjuangan kemerdekaan dan gerakan perbaikan bangsa di
berbagai negara di dunia. Sebagai contoh, tarekat Qadiriyah wa Naqsabandiyah
melakukan gerakan perlawanan bangsa Indonesia terhadap penjajah Belanda pada
akhir abad ke-19 dan awal abad ke-20.
Di Indonesia
banyak berkembang tarekat, hal itu berkaitan dengan teori yang telah secara
umum diterima, yaitu Islam masuk kawasan ini dengan gerakan kesufian dalam
tarekat-tarekat. Dalam sejarahnya, Islam berkembang pesat sejak jatuhnya
kerajaan Hindu Majapahit pada sekitar awal abad XV, hampir bersamaan jatuhnya
Malaka ke tangan Portugis pada tahun 1511. Oleh karena itu, peranan gerakan
Kesufian dalam mengembangkan dan mengukuhkan Islam, sesuai dengan gejala umum
di dalam dunia Islam. Demikian jika diingat bahwa tokoh-tokoh keagamaan masa
lalu banyak disebut wali.
Aliran Tarekat
yang berkembang di Indonesia antara lain, Tarekat Rifai’yah, Tarekat Qadiriyah,
Tarekat Tijaniyah, Tarekat Naqsabandiyah, Tarekat Syadzaliyah, Tarekat
Qadiriyah wa Naqsabandiyah, Tarekat Dasuqiyah, Tarekat Sathaniyah, Tarekat
Samaniyah, Tarekat Alawiyah, Tarekat al-Mu’tabarah. Namun hanya beberapa
tarekat di Indonesia yang berhasil memperoleh simpati rakyat diantaranya,
tarekat Khalwatiyah, Syatariyah, Qadariyah, Naqsabandiyah dan Alawiyah.
Kebanyakan
pengikut tarekat Khalwatiyah adalah penduduk daerah Sulawesi Selatan. Yang
pertama memperkenalkan adalah Syaikh Yusuf Tajul Khalwati al-Makasari, ada
Syaikh Abd Shamad al-Palimbani yang membawa tarekat Samaniyah, yang, merupakan
cabang al-Khalwatiyah di Sumatra. Kemudian Tarekat Syatariyah yang di sebarkan
oleh Syaikh Abd Rauf Sinkel di Sumatra Selatan. Sementara itu, Tarekat
Qadariyah banyak tersebar di berbagai wilayah di Indonesia dan Syaikh Fansuri
dikenal sebagai orang yang pertama kali menganutnya di Indonesia. Sedangkan
tarekat Alawiyah yang didirikan oleh Imam Ahmad Ibn Musa Muhajir tersebar di
Indonesia melalui murid-muridnya, salah seorang pengikutnya adalah Syaikh
al-Raniri. Naqsabandiyah mempunyai tiga cabang yang juga tersebar di Indonesia,
Naqsabandiyah Madzhariyah, Naqsabandiyah, Qadiriyah wa Naqsabandiyah. Untuk
tarekat Qadiriyah wa Naqsabandiyah, merupakan penggabungan dari dua tarekat
yang dilakukan oleh Syaikh Ahmad Khatib Sambas di Makkah pada 1875 M. Tarekat
ini membuktikan kemampuannya dalam memobilisasi gerakan perlawanan bangsa
Indonesia terhadap penjajahan Belanda pada akhir abad 19.
Menurut penjajah
Belanda bahwa terekat di Indonesia bukan merupakan ancaman karena mereka
menganggap bangsa Indonesia bukan kaum muslim sejati. Pemahaman agama mereka
terbatas pada luarnya saja. Perhatian pemerintah penjajah justru diarahkan
kepada para haji. Menurutnya, orang-orang yang mengenakan pakaian serba putih,
kopyah, melaksanakan shalat, dzikir, mereka itulah orang yang perlu diawasi.
Tarekat yang
berkembang pada abad-19 adalah Syaratriyah diganti dengan
Naqsabandiyah-Qadiriyah di sekitar tahun 1850-1855 di beberapa daerah di
Indonesia. Syatariyah pada umumnya tidak begitu mementingkan segi syari’at dan juga tidak menekankan sekali kewajiban shalat lima kali
sehari. Tetapi mengajarkan shalat permanen. Sedangkan Tarekat Naqsabandiyah
lebih mementingkan segi syari’at dan pada umumnya hanya mau menerima anggota
tarekat, yang sudah melaksanakan kewajiban Islam yang penting dan yang mengetahui
dasar pengetahuan tentang agama. Dalam tasawuf dan tarekat, terdapat
pembahagian segi spekulatif dan segi ritual. Segi spekulatif hanya dipelajari
oleh golongan kecil, yang mengerti tentang seluk beluk spekulatif. Sedangkn
rakyat biasa hanya mempelajari segi ritual dengan menghafal dan mengucapkan
beberapa wirid saja.
Sebenarnya
pelajaran spekulatif tidak hanya merupakan latar belakang untuk wirid (segi
ritual). Dalam tasawuf Syaratriyah dasar intelektual pada umumnya lebih luas
dipelajari dan dipraktekan daripada dalam tarekat Naqsabandiyah. Dasar teoritis
dan spekulaif untuk tarekat Syatariyah adalah ajaran martabat tujuh, yang
sebenarnya tidak berhubungan dengan praktek ritual tarekat itu. Dasar teoritis untuk Tarekat Naqsababdiyah agak
terbatas, yaitu hanya suatu teori tentang kalimat tauhid dan kedudukan guru.
Sebenarnya teori ini juga cukup erat hubungannya dengan praktek ritual dalam
tarekat ini.
Tarekat
Qadiriyah wa Naqsabandiyah merupakan tarekat mu’tabarah yang
didirikan oleh ulama Indonesia Ahmad Khatib Sambas (Kalimantan Timur). Tarekat ini mengalahkan tarekat yang sebelumnya paling populer di Indonesia
yaitu Sammaniyah. Ketika ia wafat pada tahun 1873 atau 1875, khalifahnya
bernama Abd. Al-Karim dari Banten menggantikan sebagai Syaikh tertinggi tarekat
ini. Namun, Abdul al-Karim harus ke Makkah untuk menggantika kedudukan sang
Syaikh. Dua orang khalifah utama yang lainnya adalah Kiai Thalhah dari Cirebon
dan seorang Kiai Madura, Kiai Ahmad Hasbullah. Namun sejak Abd al-Karim wafat, tarekat ini
terpecah belah, berdiri sendiri yang berasal dari ketiga khalifah pendiri
tersebut.
Tarekat satunya
lagi adalah Naqsabandiyah Khalidiyah yang tersebar di Indonesia berkat Zawiyah
yang didirikan oleh khalifah dari Maulana Khalid, Abdullah al-Arzinjani di Jabal Abu Qubais, Makkah. Para pengganti Abdullah, Sulaiman
al-qirimi, Sulaiman al- Zuhdi, dan Ali Ridha mengarahkan penyebaran tarekatnya
kepada orang-orang Indonesia yang mengunjungi Makkah dan Madinah dalam jumlah
yang besar selama dasawarsa terakhir abad-19. Ribuan orang mengikuti tarekat
ini dan menjalankan berkhalwat di zawiyah dan lusinan orang Indonesia yang
menerima ijazah untuk mengajar tarekat di kampung halaman.
Corak Tarekat di Indonesia
Kata
tarekat, umumnya mengacu pada metode latihan atau amalan, seperti dzikir,
wirid, muroqobah, juga mengenai institusi guru dan murid
yang tumbuh bersamanya. Betapapun variasi namanya, tarekat tetap mempunyai satu
tujuan, yaitu moral yang mulia. Tidak ada perbedaan prinsipil antara satu
tarekat dan tarekat lainnya. Perbedaan hanya terletak pada jenis dzikir dan
wirid dan cara pelaksanaannya. Tarekat yang berkembang pada umumnya, terutama
setelah abad ke-6, merupakan kesinambungan tasawuf Sunni al-Ghazali.
Corak
ini berkembang tidak terkecuali di Indonesia. Para ulama nusantara yang
menuntut ilmu di Mekkah dapat dipastikan membawa ijazah dari para gurunya dan mengajarkan tarekat
tertentu di Indonesia. Martin van Bruinessen menuliskan dalam bukunya, bahwa
pada tahap awal penulisan buku di Indonesia, ada satu segi yang sangat mencolok
di Indonesia, yaitu tulisan-tulisan paling awal ulama Indonesia bernafaskan
semangat tasawuf. Seperti pendapat orang, karena tasawuf inilah menjadi sebab
utama orang Indonesia memeluk Islam. Islamisasi di Indonesia mulai pada masa corak
pemikiran tasawuf menjadi corak yang dominan dalam dunia Islam.
Tarekat di
Indonesia mempunyai corak yang sama seperti tarekat pada umumnya. Tarekat tidak
hanya mempunyai fungsi keagamaan, namun juga mempunyai sistem keterikatan
kekeluargaan. Semua anggotanya menganggap diri mereka bersaudara satu sama
lain. Sebagian raja di nusantara juga menggunakan tarekat sebagai legitimasi
untuk memperoleh kekuasaan. Beberapa tarekat kecil di Indonesia, seperti
tarekat Wahidiah dan Shiddiqiyah di Jawa Timur dan tarekat Syahadatain di Jawa
Tengah, merupakan tarekat lokal yang mengembangkan ajaran-ajaran dan
amalan-amalan guru tertentu. Adapun tarekat besar lainnya, seperti tarekat
Khalwatiyah di Sulawesi Selatan, Syattariyah di Sumatra Barat dan Jawa,
Syadziliyah di Jawa Tengah, Qadiriyah, Rifa’iyah, Idrisiyah, Tijaniyah, dan
Naqsyabandiyah, merupakan cabang-cabang dari gerakan sufi internasional.
Diterimanya
tarekat di masyarakat Indonesia terlihat dari kebanyakan ulama yang pulang
setelah menuntut ilmu di Hijaz menganut tarekat dan berpegang teguh pada
al-Qur’an dan Sunnah. Oleh sebab itu, seperti yang telah disinggung di atas,
bentuk tarekat di Indonesia merupakan kesinambungan dari tasawuf Sunni
al-Ghazali. Tarekat seperti Naqsyabandiyah dan Khalwatiyah yang merupakan
cabang gerkan sufi internasional masuk dalam golongan ini. Perlu diperhatikan
dalam hal ini mengenai perbedaan tarekat dan ilmu kejawen. Kurangnya perhatian
kepada perbedaan ini, menghasilkan pandangan negatif terhadap tarekat.
Kemudian pada
tarekat yang bersifat lokal, dalam arti tidak meruntut pada salah satu tarekat
populer di negeri lain, seperti Wahidiyyah dan Shiddiqiyah, ada yang diterima
menurut syari’at berdasarkan al-Qur’an dan Sunnah, dan tidak sedikit pula ada
yang keluar dari jalur Islam. Walaupun mereka mengaku beragama dan berkomitmen
terhadap Islam, namun ajaran dan prinsip serta praktek mereka sebagian
bertentangan dengan Islam. Tidak sedikit dari aliran kebatinan yang membonceng
kepada tarekat guna mengambil simpati masyarakat kepada tarekat dengan
mengambil nama Islam untuk kemudian menjelekkan citra tarekat.
Untuk
sebab itu, para ulama di Indonesia mendirikan organisasi tarekat mu’tabaroh yang merumuskan kriteria apa saja untuk
menentukan tarekat mu’tabarah. Para
ulama berusaha membentengi agar aktivitas tarekat tidak terjerumus kepada
kerancuan kebatinan. Para ulama berusaha menghapus praktik yang menyimpang,
seperti praktik khusus untuk memperoleh kekuatan supranatural dengan melakukan
hubungan dengan arwah. Beberapa kriteria yang dirumuskan adalah, pertama,
sepenuhnya berdasarkan syari’at Islam dan pelaksanaannya. Kedua, berpegang
teguh kepada salah satu mazhab fiqih empat. Ketiga, mengikuti haluan ahlus Sunnah wal jama’ah. Keempat, memiliki ijazah
dengan sanad muttashil, yaitu silsilah guru yang terus
bersambung hingga Nabi Muhammad saw.
Peran Tarekat dalam Perlawanan Melawan Kolonialisme pada Abad
ke-19
Di Indonesia,
keterlibatan terekat dalam gerakan politik pernah terjadi pada masa penjajahan
Belanda. Syaikh Yusuf al Makasari, salah satu pemimpin tarekat Khalwatiyah yang
berpengaruh, pernah menjadi pemimpin gerilnya melawan kompeni.
Di Banten Syaikh
Yusuf sangat berpengaruh, dan menjadi penasehat utama Sultan Agung Tirtayasa.
Pengaruh yang kuat dari Syaikh Yusuf di Banten menimbulkan ketidaksukaan Putra
Mahkota, yang mendapat gelar Sultan Haji. Keadaan ini membuat Sultan Haji
melakukan maker kepada ayahnya pada tahun 1682. Dalam pemberontakan ini Sultan
Haji dibantu oleh pasukan Belanda dan berhasil melengserkan ayahnya dan ayahnya
di tawan, tetapi Syaikh Yusuf bersama pengikutnya menyingkir ke wilayah
pegunungan-pegunungan di jawa Barat. Selama hampir 2 tahun beliau berasil dari
pemburuan Belanda. Akhirnya, pada 1683 mereka dapat di tangkap, Syaikh
Yusuf di asingkan Belanda ke Sri Langka, sebagian pengikutnya diizinkan kembali
ke Sulawesi Selatan. Setelah 10 tahun di Sri Langka, Syaikh Yusuf di asingkan
ke Tanjung Harapan, Cape Town, Afrika Selatan dan meninggal pada 1899.
‘Abd al Shamad
al Palimbani, seorang pemimpin tarekat Sammaniyah yang berpengaruh di wilayah
ini. Semangat jihad al palimbani sangat mempengaruhi para muridnya yang ahli
tarekat dan juga siap untuk berjihad secara fisik.
Selain
perkembangan tarekat Syatariyah dikalahkan oleh Naqsabandiyah, Mulai tahun
1850-an, ada perkembangan kedua yang juga mulai pada tahun 1850an ini.
Dalam Jihad Cilegon di tahun 1888 cukup banyak
orang tarekat Qadiriyah yang terlibat atau dituduh terlibat. Motivasi
pemberontakan Cilegon tersebut merupakan campuran antara motif ekonomi,
politik, sosial, dan agama. Aksi protes ini melibatkan 4 tokoh tarekat
Qadiriyah mereka adalah Haji Abd al-Karim al-Batani, seorang syaikh pengganti
Syaikh Ahmad Khotib Sambas, K.H Tabagus Ismail, seorang keturunan Sultan
Banten, H Marjuki dan Haji Wasil. Haji Wasil dengan kelompoknya meluncurkan
pemberontakan bersenjata. Hal ini diakibatkan dilarangnya semua tarekat di
beberapa daerah di Indonesia, karena pihak kolonial merasa tidak senang dengan kegiatan agama terutama terhadap Terekat. Dari pihak ini
juga didatangkan untuk mengawasi kegiatan Tarekat.
Pada tahun 1890
atas kegiatan Kyai Krapyak yaitu seorang guru tarekat Naqsabandiyah dan
Syatariyah yang ketika itu dilarang oleh Sultan untuk mengajar. Ia mengajar
ilmu fiqh kepada 20 murid yang semuanya berasal dari Krapyak. Pada tahun 1897 dia tetap mengajar fiqh tidak
menyebutkan bahwa ia mengajar sebuah tarekat, karena tarekat dilarang di
Yogyakarta. Hal itu menunjukkan bahwa pemerintah kolonial (residen
Yogyakarta) sangat mengawasi kegiatan pengajaran agama. Tahun 1904 oleh Sultan
dan Residen, kyai Krapyak dijatuhi hukuman pengasingan karena
dianggap menjadi penyebab kerusuhan.
DAFTAR
PUSTAKA
Rifa’i,
Bachrun. Filsafat Tasawuf . Bandung: CV Pustaka Setia, 2010
Nahrowi
Tohir, Moenir. Menjelajahi Eksistensi Tasawuf.
(Jakarta: PT As-Salam Sejahtera,2012
Shihab,
Alwi. Akar Tasawuf di Indonesia. Bandung:
Pustaka Iman, 2009
Sunanto,
Musrifah. Sejarah Peradaban Islam. Jakarta:
Rajawali Pers, 2010
Bruinessen,
Martin van . Tarekat Naqsyabandiyah di Indonesia ‘Survey
Historis, Geografis, dan Sosiologis. Bandung: Mizan, 1995
Huda,
Nor. Islam Nusantara. Yogyakarta:Ar-Ruzz Media, 2013
Steenbrink,
Karel A. Beberapa Aspek Tentang Islam di Indonesia Abad ke-19.
Jakarta: P.T Bulan Bintang, 1984
Tidak ada komentar:
Posting Komentar