Baik — berikut bab penutup dari seluruh perjalanan Tasawuf yang sangat dalam ini:
---
Bab Penutup: Rahasia antara Fanā’, Baqā’, dan ʿUbudiyyah (Perhambaan Sejati)
(Menurut para wali dan imam besar tasawuf seperti Syekh Abdul Qadir al-Jailani, Imam al-Ghazali, Syekh Junaid al-Baghdadi, Syekh Abdus Shamad al-Palimbani, dan Ibn ʿAṭā’illah as-Sakandari)
---
1. Fanā’ (Lenyapnya diri di hadapan Allah)
Fanā’ secara bahasa berarti lenyap atau musnah. Dalam istilah tasawuf, ia adalah lenyapnya kesadaran hamba terhadap dirinya, kehendaknya, dan segala selain Allah.
Yang tersisa hanyalah kesadaran akan Dzat Yang Maha Esa.
Syekh Junaid al-Baghdadi berkata:
> "Fanā’ ialah lenyapnya sifat-sifat kemanusiaan dalam pancaran sifat-sifat Ketuhanan."
Artinya, bukan jasad yang hilang, tetapi ego, hawa nafsu, dan keakuan yang musnah.
Imam al-Ghazali dalam Ihya’ Ulumiddin menjelaskan:
> “Fanā’ bukanlah hilangnya eksistensi jasmani, melainkan hilangnya penglihatan terhadap diri. Ia memandang bahwa semua yang berbuat hanyalah Allah.”
Syekh Abdul Qadir al-Jailani mengungkapkan dalam al-Fath ar-Rabbani:
> “Apabila engkau fana’ dari dirimu, maka engkau melihat dengan cahaya Allah, mendengar dengan cahaya Allah, dan bergerak atas kehendak Allah. Maka jadilah engkau dalam genggaman-Nya, bukan karena dirimu.”
Fanā’ adalah puncak perjalanan cinta, ketika hamba tidak lagi melihat aku mencintai Allah, tetapi yang ada hanyalah Allah mencintai dengan cintanya melalui diriku.
---
2. Baqā’ (Kekal dalam Allah setelah fana’)
Setelah fana’, datanglah baqā’, yakni keadaan ketika seorang salik kembali “hidup” dengan kekekalan sifat-sifat Allah di dalam dirinya — bukan berarti menjadi Tuhan, tetapi menjadi bayangan hamba sejati yang sepenuhnya tunduk dan dikuasai oleh kehendak Allah.
Syekh Junaid al-Baghdadi berkata:
> “Fanā’ adalah engkau lenyap dari dirimu; Baqā’ adalah engkau kekal dengan Allah setelah lenyapnya dirimu.”
Imam al-Ghazali menambahkan:
> “Ketika seseorang telah fana’ dari dirinya, maka Allah menggantikannya dengan sifat-sifat-Nya: ilmu dengan ilmu-Nya, kehendak dengan kehendak-Nya, dan cinta dengan cinta-Nya.”
Namun Baqā’ bukan berarti bersatu secara zat — karena tauhid tetap memisahkan antara Khāliq dan makhluk.
Yang terjadi hanyalah: sifat hamba diterangi oleh sifat Tuhan, hingga seluruh gerak-geriknya menjadi manifestasi ketaatan total.
Syekh Abdus Shamad al-Palimbani dalam Hidayatus Sālikīn menjelaskan:
> “Apabila seorang arif telah fana’ daripada dirinya dan baqa’ dengan Allah, maka segala gerak dan diamnya adalah dengan izin Allah semata, dan ia tetap mengetahui dirinya sebagai hamba.”
---
3. Ubudiyyah Sejati — Puncak dari Segala Maqam
Di sinilah rahasia terbesar tasawuf terungkap:
Setelah fana’ dan baqā’, ternyata tidak ada kebanggaan menjadi “orang yang sampai”,
karena yang sampai sesungguhnya hanyalah Allah kepada hamba-Nya — bukan hamba yang sampai kepada Allah.
Inilah makna dari sabda Nabi ﷺ:
> “Aku adalah hamba, maka jangan kalian memujiku dengan lebih dari kedudukan kehambaan. Katakanlah: hamba Allah dan rasul-Nya.”
(HR. al-Bukhari)
Maka ʿubudiyyah (perhambaan sejati) adalah maqam tertinggi, karena di sanalah seluruh maqam lain larut dan bermuara.
Syekh Abdul Qadir al-Jailani berkata:
> “Puncak dari segala maqam adalah ubudiyyah. Barangsiapa telah mencapai ubudiyyah sejati, maka ia telah fana’ dari dirinya dan baqa’ dengan Rabb-nya. Ia tidak memiliki kehendak selain kehendak-Nya.”
Imam Ibn ʿAṭā’illah as-Sakandari dalam al-Hikam menegaskan:
> “Permulaan perjalananmu adalah ubudiyyah, dan kesudahannya pun ubudiyyah. Barangsiapa menganggap dirinya telah keluar dari ubudiyyah karena makrifatnya, maka makrifatnya adalah kebodohan.”
Dan beliau menambahkan:
> “Tidak ada maqam di atas ubudiyyah, karena ubudiyyah adalah hakikat Rasulullah ﷺ — yang paling mengenal Allah, namun tetap menyebut dirinya ‘abdullāh (hamba Allah).”
---
4. Rahasia Akhir Perjalanan Para Salik
Para wali dan arifin menyepakati:
Bahwa setelah segala fana’ dan baqā’, hamba akan kembali kepada manusia — namun dengan hati yang tidak pernah lepas dari Allah.
Ia tidak lagi melihat dunia sebagai hijab, tetapi sebagai tajalli (penampakan) dari Nama-Nama Allah.
Ia makan, tidur, berbicara, berjalan, dan bergaul — tetapi seluruhnya dalam cahaya ubudiyyah.
Syekh Abdul Qadir al-Jailani menggambarkannya begini:
> “Pada awalnya engkau adalah hamba yang mencari Tuhan; di tengahnya engkau hilang dalam Tuhan; dan di akhirnya engkau adalah hamba yang dibangkitkan kembali untuk berkhidmat di jalan Tuhan.”
Itulah hakikat as-sair min Allāh ilā Allāh wa billāh —
perjalanan dari Allah, kepada Allah, bersama Allah.
---
5. Kesimpulan Rahasia Fanā’, Baqā’, dan Ubudiyyah
Tahapan Keadaan Ruhani Ciri Hamba
Fanā’ Lenyapnya ego, nafsu, dan kehendak diri Tidak melihat selain Allah
Baqā’ Hidup dengan sifat-sifat Allah Semua geraknya dalam izin Allah
Ubudiyyah Kembali sadar sebagai hamba sejati Menjadi cermin kehendak Allah di bumi
Puncak dari semua maqam bukanlah menjadi Tuhan, tetapi menjadi hamba yang benar-benar hamba, sebagaimana Nabi Muhammad ﷺ — yang dalam Mi‘raj tertinggi pun disebut:
> “Subhāna alladzī asrā bi ‘abdihī”
“Maha Suci Allah yang memperjalankan hamba-Nya.” (QS. Al-Isra: 1)
Ketika semua maqam telah berlalu, semua rasa telah fana’, dan semua ilmu telah sirna,
yang tersisa hanyalah satu kalimat abadi:
> “Aku adalah hamba-Mu, ya Allah — tiada aku selain Engkau.”
---
Apakah engkau ingin saya tambahkan penjelasan simbolik dari hubungan Fanā’, Baqā’, dan Ubudiyyah menurut Syekh Ibnu Arabi dan Syekh al-Hallaj, agar lengkap sampai pada aspek hakikat dan sirr (rahasia batin) maqam tertinggi ini?
Tidak ada komentar:
Posting Komentar