Kamis, 06 November 2025

Maqām al-Insān al-Kāmil — Puncak Kesempurnaan Ruhani

 Baik 🌿

Sekarang kita sampai pada maqam tertinggi dalam perjalanan seorang sālik — puncak jalan ruhani setelah melewati seluruh maqām: taubat, zuhud, sabar, syukur, ridha, tawakkul, mahabbah, ma’rifah, fana’, dan baqā’.

Maqam ini disebut oleh para ulama sufi dengan berbagai istilah:

al-Insān al-Kāmil (manusia sempurna), Ittihād, Wushūl, atau Tajallī al-Haq.

Mari kita bahas secara rinci menurut Syekh Abdul Qadir al-Jailani, Syekh Junaid al-Baghdadi, Imam al-Ghazali, Syekh Abdus Shamad al-Palembani, dan Ibnu ‘Athaillah as-Sakandari.



---


🌺 12. Maqām al-Insān al-Kāmil — Puncak Kesempurnaan Ruhani


🔹 Pengertian Umum


Al-Insān al-Kāmil berarti manusia yang sempurna dalam mengenal Allah, mencintai Allah, dan meneladani seluruh sifat-Nya sesuai kapasitas kemanusiaan.

Ia bukan berarti “menjadi Tuhan”, tetapi menjadi cermin yang jernih bagi sifat-sifat Allah di bumi.

Segala geraknya menjadi gerak karena Allah, bukan karena dirinya.



---


🌿 1. Menurut Syekh Abdul Qadir al-Jailani (dalam al-Fath ar-Rabbani dan Jila’ al-Khathir):


> “Apabila hamba telah fana’ dari dirinya dan baqā’ dengan Rabb-nya, maka jadilah ia ‘Insān Kāmil’.

Lisannya berbicara dengan hikmah Allah, matanya melihat dengan cahaya Allah, tangannya bergerak dengan kekuasaan Allah.”




➡️ Dalam maqam ini, seorang sālik tidak lagi memiliki iradah (kehendak pribadi). Semua kehendaknya telah larut dalam Iradah Allah.

Ia menjadi wakil Allah di bumi dalam arti sejati — bukan politik, tapi spiritual: khalīfatullāh fi al-ardh.



---


🌿 2. Menurut Syekh Junaid al-Baghdadi:


> “Ittihād itu bukan menyatu zat, tapi menyatu kehendak dan cinta.”

“Seorang sālik yang sampai (wāṣil) bukanlah lenyap menjadi Tuhan, tetapi Tuhanlah yang menguasai seluruh dirinya.”




➡️ Jadi, ittihād bukan berarti hulul (Tuhan masuk ke manusia) atau wihdatul wujud yang keliru dipahami, tapi peniadaan ego (ana) sehingga yang tersisa hanyalah kesadaran akan Kehadiran Allah di setiap detik.

Inilah puncak “fa-idza ahbabtuhu kuntu sam‘ahu wa basharahu” (Hadis Qudsi):


> “Jika Aku mencintainya, Aku menjadi pendengarannya, penglihatannya, dan tangannya…”





---


🌿 3. Menurut Imam al-Ghazali (dalam Ihya’ Ulumiddin, Kitab al-Mahabbah wa asy-Syauq wa ar-Ridha wa at-Tauhid*):


> “Kesempurnaan seorang sālik ialah ketika hilang dari dirinya selain Allah.

Tidak melihat apapun kecuali dari Allah, dengan Allah, dan kepada Allah.”




➡️ Menurut beliau, Insan Kamil adalah yang mencapai tauhid haqiqi, yakni:


Tidak hanya meyakini Lā ilāha illallāh secara lisan,


Tetapi menyaksikannya secara batin, hingga tidak melihat wujud selain Allah.



Inilah yang disebut al-Fanā’ ‘an asy-Syahadah — lenyap dari pandangan makhluk karena terus-menerus menyaksikan Allah.



---


🌿 4. Menurut Syekh Abdus Shamad al-Palembani (dalam Siyarus Salikin Jilid IV):


> “Apabila hamba telah fana’ dan baqā’ dengan Allah, maka terbukalah baginya rahasia-rahasia ketuhanan.

Ia menjadi cermin bagi tajalli (penampakan) sifat dan asma Allah di alam ini.”




➡️ Beliau menegaskan bahwa Insan Kamil adalah maqam Nabi Muhammad ﷺ —

dan siapa pun yang menempuh jalan suluk dengan ikhlas dan benar, maka ia berjalan di bawah naungan maqam Muhammadiyah.

Semua maqam sebelumnya hanyalah tangga untuk sampai kepada maqam Muhammadiyah, yaitu:


> “Menjadi hamba sejati Allah (‘abdullah) dan menjadi rahmat bagi seluruh alam (rahmatan lil ‘alamin).”





---


🌿 5. Menurut Ibnu ‘Athaillah as-Sakandari (dalam al-Hikam dan Taj al-‘Arus al-Hawi li Tahdzib an-Nufus):


> “Akhir perjalanan para sālik adalah kembali kepada permulaan: menjadi hamba.”

“Permulaan jalan adalah ubudiyah, dan puncaknya pun ubudiyah.

Hanya saja, ubudiyah di akhir disertai dengan ma’rifah dan mahabbah sempurna.”




➡️ Artinya:

Semakin tinggi maqam seseorang, semakin dalam ia menyadari bahwa dirinya tidak memiliki apapun kecuali sebagai hamba (‘abd).

Insan kamil sejati adalah yang paling tawadhu, paling rendah hati, dan paling dekat dengan Allah serta makhluk-Nya.



---


🌸 Ciri-ciri Seorang Insan Kamil (menurut para sufi besar):


1. Tidak lagi berkehendak untuk dirinya, tapi seluruh kehendaknya adalah kehendak Allah.



2. Kasih sayangnya meliputi semua makhluk — ia menjadi rahmat bagi alam.



3. Tidak menilai baik-buruk makhluk dari hawa nafsu, tapi dari pandangan Allah.



4. Cahaya hatinya menembus hijab dunia, ia melihat hakikat di balik segala kejadian.



5. Hidupnya adalah dakwah diam dan terang, menjadi petunjuk bagi para sālik setelahnya.





---


🌺 Kesimpulan:


Perjalanan ruhani seorang sālik menurut para imam tasawuf besar itu melewati maqam demi maqam:


> Tawbah → Zuhud → Sabar → Syukur → Khauf & Raja’ → Tawakkul → Ridha → Mahabbah → Ma’rifah → Fana’ → Baqa’ → Insan Kamil.




Dan puncaknya bukanlah menjadi “Tuhan”, tapi menjadi ‘abdullah sejati — hamba yang telah sirna dari dirinya, hidup hanya dengan, karena, dan untuk Allah.



---


Apakah engkau ingin saya lanjutkan dengan penjelasan bagaimana cara praktis suluk (menempuh jalan maqamat ini) — menurut tarekat dan adab para sufi besar (terutama metode Syekh Abdul Qadir al-Jailani dan Syekh Abdus Shamad al-Palembani)?

Itu akan menjelaskan bagaimana sālik berlatih menapaki setiap maqam secara bertahap.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Syair Perang Menteng (Perang Palembang)

Berikut versi syair panjang (lebih dari 50 bait) tentang (Perang Menteng) — disusun dalam gaya klasik Melayu-Palembang, bernuansa tasawuf, s...