Senin, 17 November 2025

Tulisan Esai (puitis, reflektif, advokatif)

Berikut versi puitis dan reflektif dari tulisan “Bersama Kelola Alam Adil dan Lestari”, "Menyulam Ruang, Menjaga Alam Sumatera Selatan", "Negeri Yang Membakar Paru-Parunya Sendiri" — disusun dalam gaya esai yang mengalir, menggugah, dan bernuansa kesadaran ekologis–spiritual sebagaimana semangat WALHI.



---

Bersama Kelola Alam Adil dan Lestari 

Oleh: Yoel Hendrawan – Wahana Bumi Hijau
(Disampaikan pada Pelatihan Kepemimpinan WALHI (PKW 2) ED Sumsel, Palembang - November 2025)


1. Indonesia, Realita Kita Saat Ini 

Aku menatap tanah airku dari kejauhan — negeri yang dulu disebut zamrud di khatulistiwa, kini tampak kusam oleh asap dan debu. Di balik megahnya gedung-gedung dan jalan tol yang menjalar seperti urat besi, aku mendengar rintih halus dari sungai-sungai yang kehilangan arusnya, dari hutan-hutan yang kini menjadi padang ilalang.

Indonesia, negeri yang lahir dari janji kemerdekaan, kini terjebak dalam jaring ketamakan. Alam dijarah atas nama pembangunan, rakyat kecil tersisih dari tanahnya sendiri, dan langit kita semakin berat oleh kabut yang tidak lagi romantis.

Di tengah riuhnya mesin dan pasar, aku bertanya dalam hati:

Apakah kita masih mengingat doa pertama manusia — saat bumi dijadikan amanah, bukan barang dagangan?


2. Tiga Jurang Kesenjangan 

Kita kini berdiri di tepi tiga jurang yang menganga.

Jurang ekologis, ketika bumi tak lagi sanggup menanggung beban peradaban yang rakus.

Hutan ditebang, laut dicemari, udara kehilangan kesegarannya. Alam menangis dalam diam, namun jeritnya menggema dalam banjir, longsor, dan krisis iklim.

Jurang sosial-ekonomi, ketika kekayaan negeri hanya berputar di tangan segelintir orang.

Petani kehilangan ladangnya, nelayan kehilangan lautnya, masyarakat adat kehilangan tanah airnya. Kemiskinan bukan lagi takdir, melainkan hasil dari sistem yang timpang.

Jurang spiritual, jurang yang paling sunyi dan paling dalam.

Kita kehilangan rasa suci terhadap kehidupan. Alam tak lagi disapa, hanya dipakai. Kita lupa bahwa setiap pohon punya doa, setiap sungai punya nyawa, dan setiap hembusan angin membawa pesan Sang Pencipta.


3. Indonesia di Ambang Kehancuran Bersama 

Bangsa ini berdiri di ambang jurang — bukan satu, tapi tiga sekaligus.

Krisis ekologis, sosial, dan spiritual saling berkelindan, menjerat kita dalam pusaran yang sama.

Kita berlari mengejar pertumbuhan ekonomi, padahal bumi sudah kelelahan. Kita membangun gedung tinggi, sementara akar-akar di tanah tercabut dari sumbernya. Bila keserakahan terus dibiarkan menjadi hukum tak tertulis, maka kehancuran bukan lagi kemungkinan, melainkan kepastian.

Namun di tengah gelap ini, selalu ada bara kecil yang menolak padam: kesadaran.


4. Perlunya Transformasi Sosial di Skala Sistem 

Perubahan sejati tak lahir dari proyek-proyek jangka pendek, melainkan dari keberanian menata ulang arah sejarah.

Kita harus berani mengubah cara berpikir, cara merasa, dan cara hidup. Pembangunan tidak bisa lagi diukur dari seberapa cepat ekonomi tumbuh, tetapi dari seberapa adil bumi tumbuh bersama manusia.

Transformasi sosial di skala sistem berarti mengembalikan manusia ke dalam jaring kehidupan, bukan di atasnya. Menempatkan solidaritas di atas kompetisi, dan keseimbangan di atas keuntungan.


5. Perspektif Sistem: Model Gunung Es 

Krisis yang kita lihat hanyalah puncak dari gunung es.

Di bawah permukaan, tersembunyi pola, struktur, dan keyakinan yang membentuk perilaku kita.

Banjir hanyalah gejala; yang lebih dalam adalah kerakusan. Kebakaran hutan hanyalah akibat; yang lebih dalam adalah sistem ekonomi yang menuhankan laba.

Untuk menyembuhkan bumi, kita harus menyelam ke dasar kesadaran itu — mengubah paradigma dari “menguasai alam” menjadi “bersama alam.”


6. Program Pembekalan untuk Pemimpin Sangat Penting Dilakukan 

Pemimpin sejati tidak lahir dari podium, tetapi dari perjalanan batin.

Ia tumbuh dari tanah perjuangan, dari pertemuan dengan rakyat, dari pengalaman mencium bau asap dan lumpur.

Program Pembekalan untuk Para Pemimpin  adalah ruang untuk menempa jiwa-jiwa muda agar tidak hanya pandai bicara, tetapi berani mendengar suara bumi. Di sinilah benih-benih kepemimpinan ekologis disemai — kepemimpinan yang lahir dari kasih, bukan kuasa; dari kesadaran, bukan ambisi.


7. Visi yang Menawarkan Masa Depan Alternatif 

Aku membayangkan sebuah Indonesia yang lain —

Indonesia yang mengelola alamnya dengan cinta dan keadilan.

Di mana hutan tetap tegak, sungai tetap jernih, dan rakyat hidup dalam keseimbangan dengan tanahnya.

Pengelolaan sumber daya alam yang berkeadilan, agar setiap anak negeri merasakan manfaatnya.

Yang berkelanjutan, agar generasi mendatang tidak hidup dari sisa kehancuran kita.

Yang berkearifan lokal, karena kebenaran ekologis sering bersembunyi dalam pengetahuan nenek moyang.

Visi ini bukan mimpi, melainkan panggilan — untuk kembali pulang ke akar kebijaksanaan nusantara.


8. Indikator Keberhasilan 

Keberhasilan bukan lagi deret angka dalam laporan tahunan.

Ia diukur dari kembalinya nyanyian burung di hutan yang dulu gundul,

dari anak-anak yang bisa mandi di sungai tanpa takut racun,

dari petani yang menanam tanpa cemas kehilangan tanahnya.

Keberhasilan adalah ketika manusia kembali tahu batas,

dan alam kembali merasa aman dari manusia.


9. Paradigma Mendasar

Paradigma lama telah menuntun kita pada jurang.

Kini saatnya kita beralih dari logika penguasaan menuju logika penyelarasan.

Alam bukan objek, tetapi subjek kehidupan bersama.

Paradigma baru ini mengajak kita untuk berpikir sistemik — melihat bumi sebagai tubuh yang satu,

di mana luka di satu bagian adalah sakit bagi seluruhnya.


10. Transformasi Sistem Sosial Berawal dari Transformasi Diri

Tak ada perubahan di luar jika di dalam diri masih beku.

Transformasi sosial harus dimulai dari kesadaran pribadi:

kesadaran untuk hidup sederhana, jujur, dan penuh kasih terhadap bumi.

Ketika satu hati mulai berubah, satu dunia ikut bergeser.

Seperti riak kecil di danau yang akhirnya mengguncang permukaannya.

Dari kesadaran pribadi, lahir gerakan kolektif. Dari gerakan itu, lahir peradaban baru yang menempatkan kehidupan di pusatnya.


11. Penutup 

Bumi bukan warisan nenek moyang, tetapi titipan anak cucu.

Dan kini titipan itu menunggu: apakah kita menjaganya, atau mengkhianatinya?

Mari kita berjalan bersama, bukan sebagai penguasa bumi, tetapi sebagai penjaga kehidupan.

Sebab keadilan ekologis bukan cita-cita segelintir orang,

melainkan syarat agar bangsa ini tetap bernama “Indonesia.”

Semoga kita menjadi generasi yang berani memilih hidup —

hidup yang adil, lestari, dan bermakna.


Penutup Reflektif 

Pada akhirnya, bumi tidak membutuhkan manusia untuk tetap hidup— tetapi manusia selalu membutuhkan bumi untuk bertahan.

Maka, setiap langkah kecil yang kita ambil untuk menjaga alam, adalah doa yang menghidupkan kembali harapan.

Kepemimpinan sejati bukan tentang kekuasaan, melainkan tentang kesetiaan menjaga kehidupan.

Ia bukan lahir dari ambisi, melainkan dari cinta yang mendalam kepada bumi, air, dan sesama makhluk.

“Pemimpin sejati bukan yang menguasai alam, tetapi yang sanggup mendengar bisik lembut bumi.”

Semoga setiap hati yang disentuh oleh tanah, setiap tangan yang menanam, dan setiap jiwa yang berani berjuang demi keadilan ekologis, menjadi bagian dari penyembuhan besar bagi dunia ini.

---

=========================================================================

Menyulam Ruang, Menjaga Alam Sumatera Selatan 

Oleh: Yoel Hendrawan – Wahana Bumi Hijau
(Disampaikan pada Pelatihan Kepemimpinan WALHI (PKW 2) ED SUMSEL di Palembang - November 2025) 


> “Bumi bukan warisan nenek moyang, melainkan titipan anak cucu.”

— Aktivis WALHI Sumatera Selatan


1. Pengantar: Ruang yang Dijahit oleh Luka 

Sumatera Selatan adalah ruang hidup yang tengah dijahit oleh luka. Di atas tanahnya, izin-izin ekonomi tumbuh seperti benalu, menumpuk di atas peta tanpa irama, menabrak batas ekologi dan nalar keadilan. Sungai-sungai tua kehilangan warnanya, hutan menjadi abu, dan udara menjadi kabar duka yang turun setiap musim kemarau.

Ruang ini dulu diatur oleh ritme alam dan kearifan kampung. Kini, ia ditentukan oleh garis peta investasi dan tinta kebijakan yang dingin. Dalam Fact Sheet WALHI Sumsel 2024, terungkap betapa rapuhnya tata kelola ruang—tumpang tindih izin, laju deforestasi, dan kebakaran yang terus berulang.

> “Ruang hidup rakyat bukan sekadar peta izin. Ia adalah nadi yang berdetak di balik sawah, sungai, dan hutan kecil yang tersisa.”

— Aktivis WALHI Sumsel


2. Overlapping Pemanfaatan Ruang di Sumsel 

Tumpang tindih pemanfaatan ruang adalah wajah ketidakpastian ekologis. Banyak wilayah memiliki dua hingga tiga izin berbeda: tambang, hutan tanaman industri, dan perkebunan. Negara memberikan izin atas nama pertumbuhan, tetapi rakyat kehilangan ruang hidupnya.

Ketiadaan satu sistem tata ruang ekologis menjadikan Sumsel seperti kain tambal sulam: penuh izin, minim kendali. WALHI menyebut fenomena ini sebagai ketimpangan struktural ruang hidup, di mana ruang ekonomi menggilas ruang sosial-ekologis rakyat.


3. Overlapping Izin Usaha Perkebunan dengan IUPHHK 

Dalam catatan WALHI Sumsel, area izin perkebunan sawit tumpang tindih dengan izin hutan tanaman industri (IUPHHK) di lebih dari 600 ribu hektar lahan. Di atas kertas, keduanya “sah”. Di lapangan, keduanya saling meniadakan.

Masyarakat di Musi Rawas, Muba, dan OKI kerap menghadapi konflik batas: sawit menyerbu wilayah tanaman industri, hutan produksi menindih kebun rakyat. Pemerintah daerah sering kali gamang, sebab izin diberikan oleh otoritas yang berbeda.

> “Di antara garis izin itu, ada air mata ibu-ibu yang tak lagi bisa menanam padi di tanah mereka sendiri.”

— Catatan Lapangan WALHI Sumsel 2024


4. Overlapping Perkebunan terhadap Fungsi Kawasan Hutan 

Konflik berikutnya terjadi ketika izin perkebunan menabrak fungsi kawasan hutan. Banyak izin sawit meluas ke hutan lindung dan konservasi, menafikan asas perlindungan ekosistem.

Dalam Fact Sheet WALHI Sumsel 2024, setidaknya 300 ribu hektar kawasan hutan telah berubah fungsi menjadi kebun sawit. Di wilayah-wilayah ini, satwa endemik terdesak, sumber air berkurang, dan tanah menjadi gersang.

Ruang yang seharusnya menjadi pelindung kehidupan justru dijadikan ladang komoditas.


5. Overlapping IUPHHK dan PHBM di APL (Areal Penggunaan Lain) 

Sebaliknya, terdapat juga izin hutan tanaman industri yang justru berada di luar kawasan hutan, di atas APL. Fenomena ini menggambarkan kekacauan tata ruang nasional yang gagal mengenali batas ekologis.

WALHI Sumsel menilai, ini bukan sekadar masalah administrasi, tetapi bukti bahwa kebijakan berjalan tanpa kesadaran ekologi.

> “Ketika hutan keluar dari rumahnya, maka alam kehilangan bahasa keseimbangannya.”

— Aktivis WALHI Sumsel


6. Perkembangan Izin Usaha Pertambangan di Sumsel 

Tambang menjadi luka paling dalam di tubuh bumi Sumatera Selatan. Dari Lahat hingga Muara Enim, dari Musi Banyuasin hingga OKI, izin pertambangan terus melebar.

Fact Sheet WALHI Sumsel 2024 mencatat lebih dari 300 IUP aktif dan nonaktif di seluruh provinsi. Sebagian besar berada di kawasan hutan dan dekat sumber air utama.

Pertambangan batubara membuka tanah, mengeringkan sumber air, dan meninggalkan lubang-lubang besar yang tak dipulihkan. Lubang-lubang itu adalah nisan bagi ekosistem dan keselamatan warga.


7. Perkembangan Izin Perkebunan di Sumsel 

Perkebunan, terutama sawit, telah menjadi wajah ekonomi baru. Namun di baliknya tersimpan cerita eksklusi sosial. Izin perkebunan di Sumsel kini mencakup lebih dari 1,7 juta hektar, mencakup hutan alam dan lahan gambut.

Sawit yang dulu dijanjikan sebagai kesejahteraan justru menumbuhkan ketimpangan. Petani kecil sulit bersaing, buruh tetap miskin, dan perempuan menjadi kelompok paling rentan.


8. Perkembangan Konsesi Hasil Hutan oleh Perusahaan dan Masyarakat 

Program perhutanan sosial yang seharusnya memberi ruang bagi rakyat sering kali kalah oleh kepentingan korporasi. Hutan tanaman industri menguasai jutaan hektar, sementara izin rakyat masih hitungan jari.

WALHI Sumsel menegaskan perlunya redistribusi ruang kelola, agar masyarakat menjadi subjek, bukan objek pembangunan.


9. Laju Deforestasi di Sumatera Selatan 

Deforestasi adalah arus senyap yang terus berjalan. Dalam kurun 10 tahun terakhir, lebih dari 600 ribu hektar hutan hilang. Sebagian besar disebabkan oleh ekspansi sawit dan tambang.

Setiap pohon yang tumbang adalah hilangnya keseimbangan: tanah retak, air surut, udara panas, dan satwa mengungsi.

Musim kemarau kini datang lebih panjang; hujan tak lagi ramah.

> “Ketika hutan hilang, manusia kehilangan cermin tentang siapa dirinya di bumi.”

— Aktivis WALHI Sumsel


10. Fungsi Kawasan Hutan dan Perairan: Nadi yang Tersumbat 

Sumatera Selatan memiliki tiga sistem sungai utama: Musi, Ogan, dan Komering. Sungai-sungai ini dulunya menghidupi sawah, rawa, dan dusun-dusun. Kini, banyak yang tercemar lumpur tambang dan limbah perkebunan.

Ruang air kehilangan daya dukungnya. Perubahan tutupan lahan di hulu mempercepat banjir di hilir.


11. Sebaran dan Simpanan Karbon dalam Gambut Sumsel 

Gambut Sumsel adalah paru-paru dunia. Ia menyimpan karbon hingga 15 gigaton. Namun sebagian besar telah dikeringkan untuk sawit dan HTI.

Ketika gambut dikeringkan, api menjadi ancaman abadi. Karbon yang seharusnya tersimpan malah terlepas ke udara, menambah panas bumi.


12. Pemanfaatan Ruang di Lahan Gambut: Api di Dalam Basah 

Setiap kemarau, api muncul dari lahan yang seharusnya basah. Ini bukan fenomena alamiah, melainkan hasil rekayasa tata air yang gagal.

Kebakaran besar 2015, 2019, dan 2023 meninggalkan trauma ekologis mendalam.

WALHI mencatat ribuan titik api muncul di wilayah izin HTI dan sawit, membuktikan bahwa kebakaran bukan “kesalahan rakyat”, tapi konsekuensi dari tata kelola yang abai.

> “Api itu bukan datang dari rakyat. Ia lahir dari keserakahan dan kelalaian yang dibiarkan negara.”

— Rilis WALHI Sumsel, 2024


13. Desa-Desa di Pinggir Hutan: Antara Bertahan dan Ditinggalkan 

Di tepi hutan dan gambut, desa-desa kecil berjuang di antara kebijakan dan kenyataan. Mereka menghadapi kabut, kehilangan sumber air, dan tekanan ekonomi.

Program pemberdayaan sering berhenti di pelatihan; akses terhadap ruang kelola tetap terbatas.

Namun di banyak tempat, muncul gerakan kecil: koperasi hutan rakyat, sekolah ekologi, dan kelompok perempuan penjaga rawa. Mereka adalah wajah harapan dari bawah.


14. Grafik dan Realitas Hotspot: Api di Atas Izin, Api di Luar Izin 

Setiap tahun, grafik hotspot menunjukkan pola yang sama: titik api terbanyak berada di lokasi konsesi industri.

Namun tanggung jawab jarang menyentuh pemilik izin. Mereka berlindung di balik klaim “tidak terbukti membakar”.

WALHI mendesak penegakan hukum ekologis yang berpihak pada keadilan, bukan modal.


15. Dampak dan Luka Lapangan: Kesaksian dari Tanah yang Lelah 

Dampak tumpang tindih izin dan kerusakan lingkungan bukan hanya pada pohon dan tanah, tetapi juga pada tubuh manusia.

ISPA meningkat saat kabut datang, air bersih sulit didapat, pangan lokal menurun.

Hutan yang dulu menjadi lumbung kehidupan kini menjadi luka terbuka.

> “Keadilan ekologis adalah keadilan yang bisa dihirup, diminum, dan ditanam.”

— Aktivis WALHI Sumsel


16. Rekomendasi dan Jalan Pulang: Mencegah Api, Menyulam Keadilan 

WALHI Sumsel menegaskan beberapa langkah penting:

1. Penegasan ulang tata ruang ekologis – menyinkronkan izin agar berpihak pada daya dukung lingkungan.

2. Penghentian izin baru di lahan gambut dan hutan alam tersisa.

3. Rehabilitasi ruang rusak secara partisipatif dengan masyarakat sebagai pelaku utama.

4. Penegakan hukum ekologis terhadap korporasi pelanggar.

5. Redistribusi ruang kelola melalui perhutanan sosial sejati, bukan simbolik.


Penutup: Harapan yang Tak Pernah Padam 

Ruang hidup Sumatera Selatan telah luka, tapi belum mati.

Di balik setiap kabut, masih ada warga yang menanam kembali, ibu-ibu yang menjaga sumur air, anak-anak yang belajar menulis tentang hutan di sekolah pinggir rawa.

Mereka adalah benih keadilan ekologis yang sedang tumbuh di tanah yang lelah.

> “Kami tidak hanya ingin udara bersih. Kami ingin hidup yang adil.”

— Seruan Gerakan WALHI Sumsel

Menjaga alam Sumatera Selatan bukan sekadar pekerjaan, tapi panggilan sejarah. Karena bumi ini bukan milik kita sepenuhnya—ia titipan yang harus kita kembalikan dalam keadaan hidup.


Catatan kaki:

1. WALHI Sumatera Selatan. Fact Sheet Pengelolaan Ruang dan SDA Sumsel 2024.

2. Laporan WALHI Sumsel, 2023–2024, “Potret Konflik dan Deforestasi di Sumatera Selatan.”


---


=========================================================================


Negeri yang Membakar Paru-Parunya Sendiri

Oleh: Yoel Hendrawan – Wahana Bumi Hijau (WBH)
Disampaikan pada Pelatihan Kepemimpinan WALHI (PKW) 2 – ED SUMSEL, (Palembang - November 2025)

1. Prolog: Asap di Atas Tanah Sendiri
Setiap kali musim kemarau tiba, aku merasa seperti sedang menghirup dosa yang tak pernah selesai ditebus. Langit Sumatera Selatan berubah kelabu, matahari kehilangan wajahnya, dan udara menjadi peringatan yang diam. Dari balik jendela rumah di Palembang, aku sering melihat kabut yang bukan kabut—ia adalah asap yang lahir dari tanah sendiri, dari hutan yang dibakar oleh tangan-tangan manusia yang mengaku mencintai negerinya.
Negeri ini, kupikir, seperti tubuh yang membakar paru-parunya sendiri demi kenyang sesaat.
Asap itu tidak hanya menyesakkan dada, tapi juga menyesakkan nurani. Sebab aku tahu, di balik kepulan itu ada rawa-rawa gambut yang terbakar, ada pepohonan yang tumbang, ada satwa yang kehilangan rumah, dan ada anak-anak yang batuknya tidak pernah sembuh. Semua itu bukan musibah alam, tapi kesengajaan yang diwariskan dari generasi ke generasi karena kebijakan yang salah arah.

2. Hutan yang Menjadi Arang Sejarah
Sumatera Selatan dulunya dikenal sebagai tanah dengan “paru-paru hijau” terluas di bagian selatan Sumatera. Di masa lampau, hutan-hutan di Musi Banyuasin, Ogan Komering Ilir, Lahat, hingga Musi Rawas, adalah labirin kehidupan: tempat rotan menjalar, harimau berkeliaran, dan air sungai mengalir sejernih kaca. Namun sejak tahun 1970-an, ketika gelombang “pembangunan” datang membawa jargon kemakmuran, hutan-hutan itu mulai digadaikan kepada perusahaan kayu dan perkebunan.
Sejarah mencatat, pada 1980–1990-an, izin Hak Pengusahaan Hutan (HPH) diberikan secara besar-besaran. Lalu pada awal 2000-an, giliran sawit dan hutan tanaman industri (HTI) mengambil alih.
Lahan gambut yang seharusnya menjadi penyimpan air diubah menjadi ladang api. Dari data Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK), Sumatera Selatan kehilangan lebih dari 2,5 juta hektare hutan primer antara 1990–2020.
Kini, sebagian besar bentang alam itu telah menjadi mozaik antara kebun, semak belukar, dan lahan mati. Setiap tahun, titik-titik api muncul seperti bisul di tubuh bumi. Seolah tanah ini menolak untuk sembuh karena terus disayat dengan izin baru.

3. Tata Kelola yang Hilang Arah
Aku sering bertanya: siapa sebenarnya yang memegang kendali atas tanah di negeri ini? Sebab yang kulihat, yang memiliki kuasa bukan lagi rakyat atau negara, melainkan korporasi dan konglomerat yang menanam sawit di atas abu hutan.
Pemerintah berbicara tentang “pengendalian kebakaran hutan dan lahan”, tetapi di balik meja rapat, izin-izin baru tetap keluar. Laporan Walhi Sumatera Selatan tahun 2024 menunjukkan bahwa lebih dari 1,6 juta hektare lahan di provinsi ini telah dikuasai oleh perusahaan sawit dan HTI, sementara ruang hidup masyarakat adat dan petani kecil kian menyempit.
Ketika api membakar, yang disalahkan adalah masyarakat kecil. Padahal mereka hanya hidup di pinggiran konsesi, menanam padi di lahan sisa. Yang menyalakan api pertama mungkin bukan mereka, tetapi sistem yang membiarkan tanah menjadi komoditas tanpa jiwa.
Kegagalan tata kelola lahan bukan hanya soal teknis, tapi juga moral. Karena di negeri ini, tanah sudah tidak lagi dipandang sebagai rahim kehidupan, melainkan kertas izin yang bisa diperjualbelikan.

4. Luka Ekologis, Luka Kemanusiaan
Aku pernah mengunjungi Desa Riding di Ogan Komering Ilir pada tahun 2019, beberapa bulan setelah kebakaran besar melanda. Di sana, tanah masih berbau arang dan udara berbau obat batuk. Anak-anak menggambar matahari berwarna abu-abu di buku mereka. “Begini matahari kami,” kata seorang bocah polos. Aku terdiam lama.
Luka ekologis ternyata juga luka kemanusiaan. Setiap kali api membakar hutan, bukan hanya pohon yang hilang, tapi juga ingatan. Sungai yang dulu bening kini keruh oleh abu gambut. Satwa yang dulu bersuara kini bisu. Masyarakat adat kehilangan identitasnya, karena hutan yang mereka sebut “ibu” telah dijadikan akta kepemilikan oleh perusahaan.
Laporan BNPB mencatat, kebakaran besar tahun 2015 di Sumatera Selatan menghanguskan lebih dari 646.000 hektare lahan, menimbulkan kerugian ekonomi Rp 20 triliun, dan menyebabkan puluhan ribu orang terkena ISPA. Delapan tahun berlalu, luka itu belum kering. Tahun 2023 pun, titik panas masih muncul di Musi Banyuasin dan Ogan Komering Ilir, membuktikan bahwa negeri ini belum belajar.

5. Antara Uang, Kuasa, dan Api
Ada paradoks yang terus mengganggu pikiranku: negeri yang begitu kaya dengan tanah justru paling miskin dalam kesadaran ekologis. Api yang membakar hutan tidak hanya lahir dari korek api di tangan pekerja, tapi juga dari keserakahan di tangan kekuasaan.
Program restorasi gambut dijalankan, namun sebagian hanya menjadi proyek administrasi. Reboisasi digembar-gemborkan, namun pohon yang ditanam hanyalah monokultur akasia yang kering dan mudah terbakar. Pemerintah daerah berbicara tentang “green growth”, sementara di sisi lain, izin eksploitasi terus diperpanjang.
Di ruang udara yang sama, aku mencium aroma paradoks: uang dan asap. Laporan Tempo (2023) mengungkap bahwa beberapa perusahaan besar yang terbukti lahannya terbakar masih menerima penghargaan lingkungan. Betapa ironis. Negeri ini tampaknya lebih mencintai citra daripada udara bersih.

6. Seruan dari Paru-Paru yang Tersisa
Kadang aku membayangkan: seandainya hutan bisa berbicara, mungkin suaranya adalah batuk panjang yang menggema di langit. Ia tidak lagi meminta hujan, melainkan ampun. Ampun dari manusia yang memanggilnya “alam”, tapi memperlakukannya seperti ladang dosa.
Namun aku percaya, belum semuanya hilang. Di beberapa tempat — seperti Hutan Harapan di Musi Banyuasin, atau bentang rawa gambut di Sepucuk dan Cengal — masih ada sepetak hijau yang bertahan. Di sanalah harapan kecil bernaung. Komunitas adat, aktivis lingkungan, dan segelintir anak muda menanam pohon dengan keyakinan bahwa bumi masih bisa sembuh.
Aku ingin percaya bahwa suatu hari nanti, negeri ini akan berhenti membakar paru-parunya sendiri. Bahwa para pemegang izin akan kembali memiliki rasa malu, dan rakyat akan kembali mencintai tanah bukan karena harganya, tetapi karena nyawanya. Sebab tanpa hutan, Sumatera Selatan hanyalah nama di peta — kering, panas, dan hampa makna.
Jika manusia terus menyalakan api di tanah yang memberi hidup, mungkin suatu hari nanti api itu akan mencari napas di dada kita. Dan ketika itu terjadi, barulah kita sadar: yang kita bakar selama ini bukan hanya hutan, tapi masa depan.
-----
Daftar Berita dan Laporan Rujukan :
- Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK), Statistik Kehutanan Indonesia 2023
- WALHI Sumatera Selatan, Catatan Akhir Tahun Lingkungan 2024
- Tempo.co, Perusahaan Pembakar Hutan Masih Dapat Penghargaan Lingkungan, 2023
- BNPB, Laporan Kebakaran Hutan dan Lahan Sumatera Selatan 2015–2023
- Mongabay Indonesia, Api di Tanah Gambut: Luka yang Tak Pernah Sembuh di Sumsel, 2022
- Kompas.id, Hutan Sumatera Selatan Kian Terdesak Perkebunan Sawit dan HTI, 2023



Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Syair Perang Menteng (Perang Palembang)

Berikut versi syair panjang (lebih dari 50 bait) tentang (Perang Menteng) — disusun dalam gaya klasik Melayu-Palembang, bernuansa tasawuf, s...