Berikut versi puitis dan reflektif dari tulisan “Bersama Kelola Alam Adil dan Lestari”, "Menyulam Ruang, Menjaga Alam Sumatera Selatan", "Negeri Yang Membakar Paru-Parunya Sendiri" — disusun dalam gaya esai yang mengalir, menggugah, dan bernuansa kesadaran ekologis–spiritual sebagaimana semangat WALHI.
---
Bersama Kelola Alam Adil dan Lestari
Oleh: Yoel Hendrawan – Wahana Bumi Hijau
(Disampaikan pada Pelatihan Kepemimpinan WALHI (PKW 2) ED Sumsel, Palembang - November 2025)
1. Indonesia, Realita Kita Saat Ini
Aku menatap tanah airku dari kejauhan — negeri yang dulu disebut zamrud di khatulistiwa, kini tampak kusam oleh asap dan debu. Di balik megahnya gedung-gedung dan jalan tol yang menjalar seperti urat besi, aku mendengar rintih halus dari sungai-sungai yang kehilangan arusnya, dari hutan-hutan yang kini menjadi padang ilalang.
Indonesia, negeri yang lahir dari janji kemerdekaan, kini terjebak dalam jaring ketamakan. Alam dijarah atas nama pembangunan, rakyat kecil tersisih dari tanahnya sendiri, dan langit kita semakin berat oleh kabut yang tidak lagi romantis.
Di tengah riuhnya mesin dan pasar, aku bertanya dalam hati:
Apakah kita masih mengingat doa pertama manusia — saat bumi dijadikan amanah, bukan barang dagangan?
2. Tiga Jurang Kesenjangan
Kita kini berdiri di tepi tiga jurang yang menganga.
Jurang ekologis, ketika bumi tak lagi sanggup menanggung beban peradaban yang rakus.
Hutan ditebang, laut dicemari, udara kehilangan kesegarannya. Alam menangis dalam diam, namun jeritnya menggema dalam banjir, longsor, dan krisis iklim.
Jurang sosial-ekonomi, ketika kekayaan negeri hanya berputar di tangan segelintir orang.
Petani kehilangan ladangnya, nelayan kehilangan lautnya, masyarakat adat kehilangan tanah airnya. Kemiskinan bukan lagi takdir, melainkan hasil dari sistem yang timpang.
Jurang spiritual, jurang yang paling sunyi dan paling dalam.
Kita kehilangan rasa suci terhadap kehidupan. Alam tak lagi disapa, hanya dipakai. Kita lupa bahwa setiap pohon punya doa, setiap sungai punya nyawa, dan setiap hembusan angin membawa pesan Sang Pencipta.
3. Indonesia di Ambang Kehancuran Bersama
Bangsa ini berdiri di ambang jurang — bukan satu, tapi tiga sekaligus.
Krisis ekologis, sosial, dan spiritual saling berkelindan, menjerat kita dalam pusaran yang sama.
Kita berlari mengejar pertumbuhan ekonomi, padahal bumi sudah kelelahan. Kita membangun gedung tinggi, sementara akar-akar di tanah tercabut dari sumbernya. Bila keserakahan terus dibiarkan menjadi hukum tak tertulis, maka kehancuran bukan lagi kemungkinan, melainkan kepastian.
Namun di tengah gelap ini, selalu ada bara kecil yang menolak padam: kesadaran.
4. Perlunya Transformasi Sosial di Skala Sistem
Perubahan sejati tak lahir dari proyek-proyek jangka pendek, melainkan dari keberanian menata ulang arah sejarah.
Kita harus berani mengubah cara berpikir, cara merasa, dan cara hidup. Pembangunan tidak bisa lagi diukur dari seberapa cepat ekonomi tumbuh, tetapi dari seberapa adil bumi tumbuh bersama manusia.
Transformasi sosial di skala sistem berarti mengembalikan manusia ke dalam jaring kehidupan, bukan di atasnya. Menempatkan solidaritas di atas kompetisi, dan keseimbangan di atas keuntungan.
5. Perspektif Sistem: Model Gunung Es
Krisis yang kita lihat hanyalah puncak dari gunung es.
Di bawah permukaan, tersembunyi pola, struktur, dan keyakinan yang membentuk perilaku kita.
Banjir hanyalah gejala; yang lebih dalam adalah kerakusan. Kebakaran hutan hanyalah akibat; yang lebih dalam adalah sistem ekonomi yang menuhankan laba.
Untuk menyembuhkan bumi, kita harus menyelam ke dasar kesadaran itu — mengubah paradigma dari “menguasai alam” menjadi “bersama alam.”
6. Program Pembekalan untuk Pemimpin Sangat Penting Dilakukan
Pemimpin sejati tidak lahir dari podium, tetapi dari perjalanan batin.
Ia tumbuh dari tanah perjuangan, dari pertemuan dengan rakyat, dari pengalaman mencium bau asap dan lumpur.
Program Pembekalan untuk Para Pemimpin adalah ruang untuk menempa jiwa-jiwa muda agar tidak hanya pandai bicara, tetapi berani mendengar suara bumi. Di sinilah benih-benih kepemimpinan ekologis disemai — kepemimpinan yang lahir dari kasih, bukan kuasa; dari kesadaran, bukan ambisi.
7. Visi yang Menawarkan Masa Depan Alternatif
Aku membayangkan sebuah Indonesia yang lain —
Indonesia yang mengelola alamnya dengan cinta dan keadilan.
Di mana hutan tetap tegak, sungai tetap jernih, dan rakyat hidup dalam keseimbangan dengan tanahnya.
Pengelolaan sumber daya alam yang berkeadilan, agar setiap anak negeri merasakan manfaatnya.
Yang berkelanjutan, agar generasi mendatang tidak hidup dari sisa kehancuran kita.
Yang berkearifan lokal, karena kebenaran ekologis sering bersembunyi dalam pengetahuan nenek moyang.
Visi ini bukan mimpi, melainkan panggilan — untuk kembali pulang ke akar kebijaksanaan nusantara.
8. Indikator Keberhasilan
Keberhasilan bukan lagi deret angka dalam laporan tahunan.
Ia diukur dari kembalinya nyanyian burung di hutan yang dulu gundul,
dari anak-anak yang bisa mandi di sungai tanpa takut racun,
dari petani yang menanam tanpa cemas kehilangan tanahnya.
Keberhasilan adalah ketika manusia kembali tahu batas,
dan alam kembali merasa aman dari manusia.
9. Paradigma Mendasar
Paradigma lama telah menuntun kita pada jurang.
Kini saatnya kita beralih dari logika penguasaan menuju logika penyelarasan.
Alam bukan objek, tetapi subjek kehidupan bersama.
Paradigma baru ini mengajak kita untuk berpikir sistemik — melihat bumi sebagai tubuh yang satu,
di mana luka di satu bagian adalah sakit bagi seluruhnya.
10. Transformasi Sistem Sosial Berawal dari Transformasi Diri
Tak ada perubahan di luar jika di dalam diri masih beku.
Transformasi sosial harus dimulai dari kesadaran pribadi:
kesadaran untuk hidup sederhana, jujur, dan penuh kasih terhadap bumi.
Ketika satu hati mulai berubah, satu dunia ikut bergeser.
Seperti riak kecil di danau yang akhirnya mengguncang permukaannya.
Dari kesadaran pribadi, lahir gerakan kolektif. Dari gerakan itu, lahir peradaban baru yang menempatkan kehidupan di pusatnya.
11. Penutup
Bumi bukan warisan nenek moyang, tetapi titipan anak cucu.
Dan kini titipan itu menunggu: apakah kita menjaganya, atau mengkhianatinya?
Mari kita berjalan bersama, bukan sebagai penguasa bumi, tetapi sebagai penjaga kehidupan.
Sebab keadilan ekologis bukan cita-cita segelintir orang,
melainkan syarat agar bangsa ini tetap bernama “Indonesia.”
Semoga kita menjadi generasi yang berani memilih hidup —
hidup yang adil, lestari, dan bermakna.
Penutup Reflektif
Pada akhirnya, bumi tidak membutuhkan manusia untuk tetap hidup— tetapi manusia selalu membutuhkan bumi untuk bertahan.
Maka, setiap langkah kecil yang kita ambil untuk menjaga alam, adalah doa yang menghidupkan kembali harapan.
Kepemimpinan sejati bukan tentang kekuasaan, melainkan tentang kesetiaan menjaga kehidupan.
Ia bukan lahir dari ambisi, melainkan dari cinta yang mendalam kepada bumi, air, dan sesama makhluk.
“Pemimpin sejati bukan yang menguasai alam, tetapi yang sanggup mendengar bisik lembut bumi.”
Semoga setiap hati yang disentuh oleh tanah, setiap tangan yang menanam, dan setiap jiwa yang berani berjuang demi keadilan ekologis, menjadi bagian dari penyembuhan besar bagi dunia ini.
---
=========================================================================
Menyulam Ruang, Menjaga Alam Sumatera Selatan
Oleh: Yoel Hendrawan – Wahana Bumi Hijau
(Disampaikan pada Pelatihan Kepemimpinan WALHI (PKW 2) ED SUMSEL di Palembang - November 2025)
> “Bumi bukan warisan nenek moyang, melainkan titipan anak cucu.”
— Aktivis WALHI Sumatera Selatan
1. Pengantar: Ruang yang Dijahit oleh Luka
Sumatera Selatan adalah ruang hidup yang tengah dijahit oleh luka. Di atas tanahnya, izin-izin ekonomi tumbuh seperti benalu, menumpuk di atas peta tanpa irama, menabrak batas ekologi dan nalar keadilan. Sungai-sungai tua kehilangan warnanya, hutan menjadi abu, dan udara menjadi kabar duka yang turun setiap musim kemarau.
Ruang ini dulu diatur oleh ritme alam dan kearifan kampung. Kini, ia ditentukan oleh garis peta investasi dan tinta kebijakan yang dingin. Dalam Fact Sheet WALHI Sumsel 2024, terungkap betapa rapuhnya tata kelola ruang—tumpang tindih izin, laju deforestasi, dan kebakaran yang terus berulang.
> “Ruang hidup rakyat bukan sekadar peta izin. Ia adalah nadi yang berdetak di balik sawah, sungai, dan hutan kecil yang tersisa.”
— Aktivis WALHI Sumsel
2. Overlapping Pemanfaatan Ruang di Sumsel
Tumpang tindih pemanfaatan ruang adalah wajah ketidakpastian ekologis. Banyak wilayah memiliki dua hingga tiga izin berbeda: tambang, hutan tanaman industri, dan perkebunan. Negara memberikan izin atas nama pertumbuhan, tetapi rakyat kehilangan ruang hidupnya.
Ketiadaan satu sistem tata ruang ekologis menjadikan Sumsel seperti kain tambal sulam: penuh izin, minim kendali. WALHI menyebut fenomena ini sebagai ketimpangan struktural ruang hidup, di mana ruang ekonomi menggilas ruang sosial-ekologis rakyat.
3. Overlapping Izin Usaha Perkebunan dengan IUPHHK
Dalam catatan WALHI Sumsel, area izin perkebunan sawit tumpang tindih dengan izin hutan tanaman industri (IUPHHK) di lebih dari 600 ribu hektar lahan. Di atas kertas, keduanya “sah”. Di lapangan, keduanya saling meniadakan.
Masyarakat di Musi Rawas, Muba, dan OKI kerap menghadapi konflik batas: sawit menyerbu wilayah tanaman industri, hutan produksi menindih kebun rakyat. Pemerintah daerah sering kali gamang, sebab izin diberikan oleh otoritas yang berbeda.
> “Di antara garis izin itu, ada air mata ibu-ibu yang tak lagi bisa menanam padi di tanah mereka sendiri.”
— Catatan Lapangan WALHI Sumsel 2024
4. Overlapping Perkebunan terhadap Fungsi Kawasan Hutan
Konflik berikutnya terjadi ketika izin perkebunan menabrak fungsi kawasan hutan. Banyak izin sawit meluas ke hutan lindung dan konservasi, menafikan asas perlindungan ekosistem.
Dalam Fact Sheet WALHI Sumsel 2024, setidaknya 300 ribu hektar kawasan hutan telah berubah fungsi menjadi kebun sawit. Di wilayah-wilayah ini, satwa endemik terdesak, sumber air berkurang, dan tanah menjadi gersang.
Ruang yang seharusnya menjadi pelindung kehidupan justru dijadikan ladang komoditas.
5. Overlapping IUPHHK dan PHBM di APL (Areal Penggunaan Lain)
Sebaliknya, terdapat juga izin hutan tanaman industri yang justru berada di luar kawasan hutan, di atas APL. Fenomena ini menggambarkan kekacauan tata ruang nasional yang gagal mengenali batas ekologis.
WALHI Sumsel menilai, ini bukan sekadar masalah administrasi, tetapi bukti bahwa kebijakan berjalan tanpa kesadaran ekologi.
> “Ketika hutan keluar dari rumahnya, maka alam kehilangan bahasa keseimbangannya.”
— Aktivis WALHI Sumsel
6. Perkembangan Izin Usaha Pertambangan di Sumsel
Tambang menjadi luka paling dalam di tubuh bumi Sumatera Selatan. Dari Lahat hingga Muara Enim, dari Musi Banyuasin hingga OKI, izin pertambangan terus melebar.
Fact Sheet WALHI Sumsel 2024 mencatat lebih dari 300 IUP aktif dan nonaktif di seluruh provinsi. Sebagian besar berada di kawasan hutan dan dekat sumber air utama.
Pertambangan batubara membuka tanah, mengeringkan sumber air, dan meninggalkan lubang-lubang besar yang tak dipulihkan. Lubang-lubang itu adalah nisan bagi ekosistem dan keselamatan warga.
7. Perkembangan Izin Perkebunan di Sumsel
Perkebunan, terutama sawit, telah menjadi wajah ekonomi baru. Namun di baliknya tersimpan cerita eksklusi sosial. Izin perkebunan di Sumsel kini mencakup lebih dari 1,7 juta hektar, mencakup hutan alam dan lahan gambut.
Sawit yang dulu dijanjikan sebagai kesejahteraan justru menumbuhkan ketimpangan. Petani kecil sulit bersaing, buruh tetap miskin, dan perempuan menjadi kelompok paling rentan.
8. Perkembangan Konsesi Hasil Hutan oleh Perusahaan dan Masyarakat
Program perhutanan sosial yang seharusnya memberi ruang bagi rakyat sering kali kalah oleh kepentingan korporasi. Hutan tanaman industri menguasai jutaan hektar, sementara izin rakyat masih hitungan jari.
WALHI Sumsel menegaskan perlunya redistribusi ruang kelola, agar masyarakat menjadi subjek, bukan objek pembangunan.
9. Laju Deforestasi di Sumatera Selatan
Deforestasi adalah arus senyap yang terus berjalan. Dalam kurun 10 tahun terakhir, lebih dari 600 ribu hektar hutan hilang. Sebagian besar disebabkan oleh ekspansi sawit dan tambang.
Setiap pohon yang tumbang adalah hilangnya keseimbangan: tanah retak, air surut, udara panas, dan satwa mengungsi.
Musim kemarau kini datang lebih panjang; hujan tak lagi ramah.
> “Ketika hutan hilang, manusia kehilangan cermin tentang siapa dirinya di bumi.”
— Aktivis WALHI Sumsel
10. Fungsi Kawasan Hutan dan Perairan: Nadi yang Tersumbat
Sumatera Selatan memiliki tiga sistem sungai utama: Musi, Ogan, dan Komering. Sungai-sungai ini dulunya menghidupi sawah, rawa, dan dusun-dusun. Kini, banyak yang tercemar lumpur tambang dan limbah perkebunan.
Ruang air kehilangan daya dukungnya. Perubahan tutupan lahan di hulu mempercepat banjir di hilir.
11. Sebaran dan Simpanan Karbon dalam Gambut Sumsel
Gambut Sumsel adalah paru-paru dunia. Ia menyimpan karbon hingga 15 gigaton. Namun sebagian besar telah dikeringkan untuk sawit dan HTI.
Ketika gambut dikeringkan, api menjadi ancaman abadi. Karbon yang seharusnya tersimpan malah terlepas ke udara, menambah panas bumi.
12. Pemanfaatan Ruang di Lahan Gambut: Api di Dalam Basah
Setiap kemarau, api muncul dari lahan yang seharusnya basah. Ini bukan fenomena alamiah, melainkan hasil rekayasa tata air yang gagal.
Kebakaran besar 2015, 2019, dan 2023 meninggalkan trauma ekologis mendalam.
WALHI mencatat ribuan titik api muncul di wilayah izin HTI dan sawit, membuktikan bahwa kebakaran bukan “kesalahan rakyat”, tapi konsekuensi dari tata kelola yang abai.
> “Api itu bukan datang dari rakyat. Ia lahir dari keserakahan dan kelalaian yang dibiarkan negara.”
— Rilis WALHI Sumsel, 2024
13. Desa-Desa di Pinggir Hutan: Antara Bertahan dan Ditinggalkan
Di tepi hutan dan gambut, desa-desa kecil berjuang di antara kebijakan dan kenyataan. Mereka menghadapi kabut, kehilangan sumber air, dan tekanan ekonomi.
Program pemberdayaan sering berhenti di pelatihan; akses terhadap ruang kelola tetap terbatas.
Namun di banyak tempat, muncul gerakan kecil: koperasi hutan rakyat, sekolah ekologi, dan kelompok perempuan penjaga rawa. Mereka adalah wajah harapan dari bawah.
14. Grafik dan Realitas Hotspot: Api di Atas Izin, Api di Luar Izin
Setiap tahun, grafik hotspot menunjukkan pola yang sama: titik api terbanyak berada di lokasi konsesi industri.
Namun tanggung jawab jarang menyentuh pemilik izin. Mereka berlindung di balik klaim “tidak terbukti membakar”.
WALHI mendesak penegakan hukum ekologis yang berpihak pada keadilan, bukan modal.
15. Dampak dan Luka Lapangan: Kesaksian dari Tanah yang Lelah
Dampak tumpang tindih izin dan kerusakan lingkungan bukan hanya pada pohon dan tanah, tetapi juga pada tubuh manusia.
ISPA meningkat saat kabut datang, air bersih sulit didapat, pangan lokal menurun.
Hutan yang dulu menjadi lumbung kehidupan kini menjadi luka terbuka.
> “Keadilan ekologis adalah keadilan yang bisa dihirup, diminum, dan ditanam.”
— Aktivis WALHI Sumsel
16. Rekomendasi dan Jalan Pulang: Mencegah Api, Menyulam Keadilan
WALHI Sumsel menegaskan beberapa langkah penting:
1. Penegasan ulang tata ruang ekologis – menyinkronkan izin agar berpihak pada daya dukung lingkungan.
2. Penghentian izin baru di lahan gambut dan hutan alam tersisa.
3. Rehabilitasi ruang rusak secara partisipatif dengan masyarakat sebagai pelaku utama.
4. Penegakan hukum ekologis terhadap korporasi pelanggar.
5. Redistribusi ruang kelola melalui perhutanan sosial sejati, bukan simbolik.
Penutup: Harapan yang Tak Pernah Padam
Ruang hidup Sumatera Selatan telah luka, tapi belum mati.
Di balik setiap kabut, masih ada warga yang menanam kembali, ibu-ibu yang menjaga sumur air, anak-anak yang belajar menulis tentang hutan di sekolah pinggir rawa.
Mereka adalah benih keadilan ekologis yang sedang tumbuh di tanah yang lelah.
> “Kami tidak hanya ingin udara bersih. Kami ingin hidup yang adil.”
— Seruan Gerakan WALHI Sumsel
Menjaga alam Sumatera Selatan bukan sekadar pekerjaan, tapi panggilan sejarah. Karena bumi ini bukan milik kita sepenuhnya—ia titipan yang harus kita kembalikan dalam keadaan hidup.
Catatan kaki:
1. WALHI Sumatera Selatan. Fact Sheet Pengelolaan Ruang dan SDA Sumsel 2024.
2. Laporan WALHI Sumsel, 2023–2024, “Potret Konflik dan Deforestasi di Sumatera Selatan.”
---
=========================================================================
Tidak ada komentar:
Posting Komentar