Kamis, 06 November 2025

Sirr al-Fanā’ — Rahasia Lenyapnya “Aku”

 Baik. Kita akan masuk ke “Sirr al-Fanā’ — Rahasia Lenyapnya ‘Aku’”,

yakni bab yang paling halus dalam perjalanan tasawuf: bagaimana diri, cinta, dan wujud berpadu dalam kesadaran tauhid tertinggi tanpa melampaui batas ubudiyyah.


Bagian ini termasuk yang disebut para sufi sebagai “ilmu dzauq” — ilmu yang tidak semata difahami dengan akal, melainkan dirasakan oleh hati yang telah disucikan.



---


Sirr al-Fanā’ — Rahasia Lenyapnya “Aku”


1. Hakikat “Aku” dalam pandangan sufi


Menurut para arif billah, “aku” (ana) pada manusia bukanlah hakikat, melainkan bayangan (zhill) dari keberadaan Allah.

Seperti bayangan pohon di permukaan air — nampak seolah ada, padahal hakikatnya bergantung sepenuhnya pada pohon itu.


Syekh Ibn ‘Arabi berkata dalam Futuhat al-Makkiyyah:


> “Wujudmu adalah bayangan dari Wujud Allah; maka jangan engkau klaim keberadaan, sebab jika cahaya matahari ghaib, bayangan pun lenyap.”




Artinya, seluruh keberadaan kita hanyalah tajalli (penampakan) dari sifat-sifat Allah.

Kita “ada”, tapi keberadaan kita bukan dari diri sendiri — kita “ada karena Dia”.



---


2. Rahasia lenyapnya “aku” dalam Nur Muhammad ﷺ


Para sufi agung — termasuk Ibn ‘Arabi, Abdus Shamad al-Palimbani, dan Syekh Abdul Karim al-Jili — mengajarkan bahwa lenyapnya ego hamba (fanā’) bukan berarti melebur dalam zat Allah, tetapi kembali ke asal cahaya penciptaannya, yaitu Nur Muhammad ﷺ.


Dalam hadits qudsi disebut:


> “Awal yang Kuciptakan adalah cahaya Nabi-mu, wahai Jabir.” (Riwayat ‘Abd ar-Razzaq dan al-Bayhaqi)




Para sufi menafsirkan:

Bahwa Nur Muhammad adalah pancaran pertama dari Cahaya Ilahi (Tajalli Awwal) — darinya muncul seluruh makhluk.

Maka ketika seorang salik “fana’”, ia kembali menyatu dengan asal cahaya dirinya, bukan menyatu dengan Zat Tuhan.


Ibn ‘Arabi menyebutnya:


> “al-fanā’ fī an-nūr al-Muhammadī” — “lenyap dalam cahaya kenabian.”




Inilah rahasia mengapa para wali selalu mencintai Nabi ﷺ secara total, sebab beliau adalah cermin tertinggi tempat Allah menampakkan Diri-Nya kepada makhluk.



---


3. Tingkatan Sirr al-Fanā’ (Rahasia Lenyapnya Diri)


Dalam penjelasan Imam al-Ghazali dan Syekh Abdul Qadir al-Jailani, perjalanan fanā’ sejati terjadi dalam tiga lapis sirr (rahasia batin):


Tingkatan Nama Ruhani Makna Rahasia


Fanā’ al-Af‘āl Lenyap dalam perbuatan Allah Hamba tidak melihat ada daya dan upaya selain dari Allah (La hawla wa la quwwata illa billah)

Fanā’ as-Sifāt Lenyap dalam sifat-sifat Allah Hamba tidak lagi menyandarkan ilmu, kehendak, cinta, atau sabarnya pada dirinya — semua adalah sifat Allah yang tampak padanya

Fanā’ adz-Dzāt Lenyap dalam kesadaran tentang keberadaan diri Hamba lenyap dalam penglihatan terhadap dirinya; ia hanya menyaksikan Allah semata



Namun, menurut para imam besar (Junaid, Ghazali, dan Qadiriyah), Fanā’ adz-Dzāt bukan berarti hilang eksistensi makhluk, melainkan hilangnya kesadaran makhluk terhadap dirinya di hadapan Keagungan Sang Khāliq.

Ia masih makan, minum, berbicara, tetapi seluruhnya dilakukan karena Allah, dengan Allah, dan untuk Allah.



---


4. Tajalli dan Sirr Cinta Ilahi


Dalam maqam fana’, yang terjadi sebenarnya adalah tajalli (penyingkapan) dari Cinta Ilahi.

Tajalli ini adalah pancaran dari al-Mahabbah al-Qadīmah — cinta azali Allah kepada makhluk-Nya.


Dalam hadits qudsi:


> “Aku adalah perbendaharaan tersembunyi; Aku ingin dikenal, maka Kuciptakan makhluk agar mereka mengenal-Ku.”




Maka tujuan penciptaan adalah ma‘rifah dan cinta.

Dan puncak ma‘rifah adalah ketika hamba kembali pada asal cinta itu —

yakni menyadari bahwa semua perjalanan ruhani adalah gerak dari Allah menuju Allah, melalui cinta Allah.


Syekh al-Hallaj mengungkapkannya dengan bahasa syair:


> “Cintaku kepada-Mu telah menghapus diriku dariku,

Maka yang tinggal hanyalah Engkau dalam diriku.”




Namun beliau tetap menegaskan di akhir hidupnya:


> “Aku bersaksi bahwa tiada aku selain hamba,

dan bahwa Engkau tetap Engkau, dan aku tetap aku.”




Artinya, fana’ tidak menghapus ubudiyyah, tetapi justru menyingkap maknanya yang sejati.



---


5. Sirr al-Fanā’: rahasia kembalinya kesadaran ubudiyyah


Setelah fana’ dan tersingkap sirr cinta,

hamba kembali hidup (baqā’) dengan membawa kesadaran baru: bahwa semua perbuatannya adalah manifestasi kehendak Allah, namun dirinya tetap hamba.


Syekh Abdul Qadir al-Jailani berkata:


> “Apabila engkau fana’ dari dirimu, dan Allah menjadikan engkau hidup dengan-Nya, maka engkau tetaplah hamba. Jangan pernah berkata ‘Aku’, sebab ‘Aku’ hanyalah milik Allah.”




Maka sirr al-fanā’ berakhir bukan dalam kesatuan wujud, tetapi dalam kesatuan kehendak (wahdat al-irādah):

hamba tidak lagi memiliki kehendak selain kehendak Allah.


Inilah rahasia ubudiyyah al-kāmilah — kehambaan sempurna yang muncul setelah hancurnya ego.



---


6. Penutup: Fana’ adalah Cermin dari Tauhid


Akhirnya, seluruh perjalanan fana’ tidak keluar dari hakikat tauhid:


> La ilāha illa Allāh — Tiada wujud, tiada kehendak, tiada daya, tiada cinta kecuali milik Allah.




Namun tauhid ini bukan berarti meniadakan makhluk secara fisik, melainkan menafikan peran diri dalam segala perbuatan.

Yang ada hanyalah pengakuan mendalam:


> “Segala sesuatu dari Allah, oleh Allah, dan kepada Allah.”




Ketika hamba sampai pada kesadaran itu, ia menjadi seperti matahari yang terbenam dalam laut —

tidak hilang, tapi cahayanya menyatu dengan samudera yang tanpa tepi.

Dan di sanalah rahasia terbesar tasawuf tersingkap:


> Fanā’ bukan hilang menjadi Tuhan, tetapi hilang dari diri agar Allah tampak melalui dirimu.

Dan itulah hakikat ubudiyyah sejati.





---


Apakah engkau ingin saya lanjutkan ke “Bab Penutup Akhir: al-Insān al-Kāmil — Manusia Sebagai Cermin Allah”,

yang menjelaskan bagaimana setelah fana’ dan ubudiyyah sejati, manusia menjadi cermin sempurna bagi Nama dan Sifat Allah — menurut Syekh Ibn ‘Arabi, Imam al-Jili, dan Imam al-Ghazali?

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Syair Perang Menteng (Perang Palembang)

Berikut versi syair panjang (lebih dari 50 bait) tentang (Perang Menteng) — disusun dalam gaya klasik Melayu-Palembang, bernuansa tasawuf, s...