Senin, 17 November 2025

Sumsel : Ruang yang Tumpang Tindih, Alam yang Menjerit

Sumatera Selatan: Ruang yang Tumpang Tindih, Alam yang Menjerit


Oleh : Yoel Hendrawan - Wahana Bumi Hijau

Disampaikan pada Pelatihan Kepemimpinan WALHI (PKW 2) ED WALHI SUMSEL
Palembang, 14 November 2025



“Bumi tidak sedang membutuhkan belas kasihan kita, melainkan keadilan dari tangan-tangan yang menguasai ruangnya.”  — Nur Hidayati, Aktivis Lingkungan


1. Overlapping Pemanfaatan Ruang di Sumatera Selatan

Provinsi Sumatera Selatan (Sumsel) merupakan salah satu wilayah dengan intensitas tumpang tindih pemanfaatan ruang paling tinggi di Indonesia. Berdasarkan Fact Sheet WALHI & WBH 2024, ketidaksinkronan tata ruang ini mengakibatkan kerentanan ekologis, konflik agraria, dan degradasi sumber daya alam yang masif.

1.1 Overlapping Izin Usaha Perkebunan dengan IUPHHK

Di sejumlah kabupaten seperti Musi Banyuasin, Ogan Komering Ilir, dan Banyuasin, izin usaha perkebunan (IUP) sawit menumpang pada area yang telah lebih dahulu memiliki izin pemanfaatan hasil hutan kayu (IUPHHK). Konflik spasial ini memicu ketegangan antara perusahaan pemegang izin, masyarakat adat, dan negara. Akibatnya, banyak wilayah yang semestinya menjadi kawasan konservasi berubah fungsi menjadi areal produksi intensif.

1.2 Overlapping IUP terhadap Fungsi Kawasan Hutan

Sekitar 25% dari total luas izin perkebunan di Sumsel tumpang tindih dengan kawasan hutan produksi terbatas atau hutan lindung. Hal ini mengindikasikan lemahnya penegakan RTRW (Rencana Tata Ruang Wilayah) dan lemahnya verifikasi spasial sebelum penerbitan izin baru.

1.3 Overlapping IUPHHK dan PHBM terhadap Fungsi APL

Fenomena lain adalah tumpang tindih izin kehutanan (IUPHHK dan PHBM) dengan area penggunaan lain (APL) yang sebenarnya sudah menjadi ruang hidup masyarakat desa. Kondisi ini sering kali memunculkan konflik antara program perhutanan sosial dan kepentingan korporasi kayu atau HTI (Hutan Tanaman Industri).

“Ketika ruang hidup rakyat ditulis di atas peta tanpa kaki mereka menjejak tanah, maka konflik adalah keniscayaan.”  — Rustandi, WALHI Sumsel


2. Perkembangan Izin Usaha Pertambangan di Sumsel

Sumatera Selatan memiliki lebih dari 400 izin usaha pertambangan (IUP), dengan dominasi batu bara. Konsentrasi terbesar berada di Kabupaten Muara Enim, Lahat, dan Musi Rawas. Meski kontribusi sektor ini terhadap PDRB cukup signifikan, dampak ekologisnya sangat besar: sedimentasi sungai, pencemaran air, dan degradasi tanah meningkat drastis.Banyak IUP juga tumpang tindih dengan izin kehutanan dan perkebunan, memperparah ketidakteraturan pengelolaan ruang.


3. Perkembangan Izin Perkebunan di Sumsel

Total izin perkebunan di Sumsel mencapai lebih dari 1,8 juta hektare, dengan dominasi kelapa sawit. Ekspansi besar-besaran ini berlangsung sejak awal 2000-an. Meski membawa pertumbuhan ekonomi daerah, dampak sosial-ekologisnya tidak dapat diabaikan: konflik lahan, kebakaran hutan, dan penurunan kualitas tanah terus meningkat. (Fact Sheet WBH 2024).


4. Perkembangan Izin Konsesi Pemanfaatan Hasil Hutan

Konsesi IUPHHK-HTI dan HPH di Sumsel mencapai lebih dari 1,5 juta hektare. Sebagian besar dikuasai oleh korporasi besar dengan orientasi ekspor. Di sisi lain, program perhutanan sosial yang bertujuan untuk menyeimbangkan akses masyarakat baru mencakup ±450 ribu hektare, atau kurang dari 20% dari total luas kawasan hutan produktif.


5. Laju Deforestasi di Sumsel

Data Fact Sheet WALHI 2024 mencatat bahwa laju deforestasi Sumsel mencapai lebih dari 25 ribu hektare per tahun selama dekade terakhir. Sebagian besar terjadi di kawasan hutan produksi dan areal perkebunan yang mengalami konversi. Dampak lanjutannya berupa hilangnya keanekaragaman hayati dan meningkatnya risiko kebakaran lahan gambut.

“Hutan yang hilang bukan hanya pohon yang tumbang, tapi juga sejarah, air, dan napas kehidupan manusia.”  — Emilia, Pegiat Ekologi Sosial


6. Fungsi Kawasan Hutan dan Perairan di Sumsel

Fungsi kawasan hutan di Sumsel terbagi atas hutan lindung, hutan konservasi, dan hutan produksi. Namun, realitas lapangan menunjukkan bahwa banyak kawasan hutan lindung telah berubah menjadi lahan produksi sawit atau tambang. Selain itu, wilayah perairan seperti DAS Musi mengalami tekanan akibat sedimentasi dan pencemaran limbah tambang.


7. Sebaran dan Simpanan Karbon dalam Gambut di Sumsel

Sumatera Selatan memiliki lahan gambut sekitar 1,2 juta hektare yang menyimpan cadangan karbon besar (sekitar 7 gigaton CO₂). Wilayah gambut terluas terdapat di OKI dan Banyuasin. Eksploitasi untuk perkebunan dan HTI menyebabkan emisi karbon besar-besaran, menjadikan Sumsel salah satu penyumbang signifikan emisi nasional.


8. Perkembangan Izin di Lahan Gambut

Peningkatan izin di lahan gambut terus terjadi, baik untuk sawit maupun HTI. Padahal, sesuai dengan PP No. 71 Tahun 2014, lahan gambut dengan fungsi lindung seharusnya tidak dibuka. Fakta di lapangan menunjukkan sekitar 40% area gambut di Sumsel telah mengalami drainase dan subsiden.


9. Sebaran Kondisi Desa di Dalam dan Sekitar Kawasan Hutan

Terdapat lebih dari 1.000 desa di Sumsel yang berada di dalam dan sekitar kawasan hutan. Sebagian besar memiliki ketergantungan tinggi terhadap sumber daya hutan, namun menghadapi keterbatasan akses dan hak kelola. Ketimpangan ini menimbulkan kerentanan sosial dan ekonomi bagi masyarakat.


10. Perkembangan Izin Usaha Perkebunan di Sumsel (Ulangan untuk Tren dan Analisis)

Tren terbaru menunjukkan adanya pergeseran kepemilikan dan penggabungan perusahaan besar dalam sektor sawit. Pola ini mengindikasikan konsolidasi korporasi yang semakin mempersempit ruang ekonomi rakyat.


11. Grafik Jumlah Hotspot per Kabupaten

Berdasarkan data satelit 2024, hotspot tertinggi berada di Kabupaten OKI, Banyuasin, dan Musi Banyuasin. Puncak kebakaran terjadi pada bulan September hingga Oktober dengan pola berulang tiap tahun.


12. Grafik Jumlah Hotspot di Lokasi Perizinan dan di Luar Perizinan

Analisis menunjukkan bahwa lebih dari 70% titik api terjadi di area berizin, terutama di perkebunan dan HTI. Hal ini menandakan lemahnya pengawasan serta tanggung jawab korporasi dalam pengelolaan lahan.


13. Dampak dari Kondisi di Lapangan

Akibat tumpang tindih izin dan lemahnya tata kelola, dampak sosial-ekologis meluas:

Konflik agraria meningkat.

Penurunan kualitas air sungai.

Emisi karbon tinggi dari kebakaran gambut.

Hilangnya sumber penghidupan masyarakat adat dan petani.


14. Rekomendasi Pengelolaan SDA ke Depan

Moratorium izin baru di kawasan hutan dan gambut.

Peninjauan ulang RTRW dan harmonisasi izin antar-sektor.

Penguatan perhutanan sosial berbasis masyarakat.

Penegakan hukum bagi korporasi pelanggar lingkungan.

Transparansi data izin dan keterlibatan publik dalam pengawasan.


15. Upaya Pencegahan Kebakaran di Lahan Gambut

Upaya strategis perlu difokuskan pada restorasi hidrologis, pemberdayaan Masyarakat Peduli Api (MPA), serta penegakan hukum tegas terhadap pembakar lahan. Selain itu, pembatasan izin di areal gambut kritis harus menjadi prioritas kebijakan daerah.


16. Penutup

“Menyelamatkan alam Sumatera Selatan bukan hanya urusan aktivis, tetapi panggilan bagi seluruh manusia yang mencintai kehidupan.”  — Y. Hendrawan, Wahana Bumi Hijau

Sumatera Selatan berdiri di persimpangan sejarah: antara mempertahankan ruang hidup atau menyerah pada kerakusan izin yang tumpang tindih. Masa depan daerah ini akan sangat ditentukan oleh keberanian kolektif kita untuk menata ulang ruang, memulihkan hutan, dan menegakkan keadilan ekologis.


Catatan Kaki:

Fact Sheet WALHI Sumsel & Wahana Bumi Hijau 2024.

PP No. 71 Tahun 2014 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Ekosistem Gambut.

Data Hotspot KLHK 2024.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Syair Perang Menteng (Perang Palembang)

Berikut versi syair panjang (lebih dari 50 bait) tentang (Perang Menteng) — disusun dalam gaya klasik Melayu-Palembang, bernuansa tasawuf, s...