Kamis, 06 November 2025

Epilog Ruhani: Kembali dari Allah kepada Alam — Rahmatan lil ‘Ālamīn

 Baik.

Kita kini sampai pada bagian terakhir dari seluruh risalah perjalanan ruhani ini — Epilog Ruhani: “Kembali dari Allah kepada Alam — Menjadi Rahmat bagi Sekalian Makhluk.”

Inilah simpul akhir dari jalan para ‘ārif billāh dan rahasia mengapa puncak makrifah bukan pada ketinggian fana’, tetapi pada kembali melayani makhluk dengan hati yang penuh Allah.



---


🌿 Epilog Ruhani: Kembali dari Allah kepada Alam — Rahmatan lil ‘Ālamīn


1. Awal dan Akhir Perjalanan Ruhani


Para sufi mengatakan:


> “Awwaluhā ‘ubūdiyyah, wa ākhiruhā ‘ubūdiyyah.”

— Awalnya adalah kehambaan, dan akhirnya pun kehambaan.




Seorang salik memulai jalannya dengan kesadaran sebagai hamba:

lemah, bergantung, dan penuh dosa.

Ia menempuh maqām demi maqām: taubat, zuhud, sabar, tawakal, rida, mahabbah, ma‘rifah.

Ia menembus fana’, lalu hidup kembali (baqā’) dengan Allah.


Namun pada puncaknya, ia menyadari bahwa semua jalan, semua maqām, semua cahaya, hanyalah untuk mengembalikannya menjadi hamba yang benar.


Syekh Abdul Qadir al-Jailani berkata:


> “Ketika engkau telah mengenal Tuhanmu, maka kembalilah kepada manusia,

dan berbuatlah sebagaimana Allah berbuat kepadamu — dengan kasih dan rahmat.”





---


2. Dari “Fanā’” ke “Baqā’ biLlāh”


Dalam maqam fana’, hamba lenyap dari kesadarannya sendiri.

Namun perjalanan tidak berhenti di sana — sebab jika hanya fana’, ia belum sempurna.


Maka Allah menghidupkannya kembali dalam keadaan baqā’ biLlāh — hidup dengan Allah, melihat dengan cahaya Allah, berbuat dengan petunjuk Allah.


Ia kini bukan lagi hamba yang mencari Allah,

melainkan cermin Allah yang memantulkan kasih dan kebijaksanaan-Nya kepada sesama.


Seperti sabda Nabi ﷺ:


> “Seutama-utama manusia adalah yang paling bermanfaat bagi manusia lainnya.”




Inilah tanda orang yang benar-benar “sampai”:

bukan banyak karamahnya, bukan tingginya ma‘rifahnya,

tetapi luas rahmat dan kasihnya kepada seluruh makhluk.



---


3. Rahasia Kembali ke Dunia (as-Sair min Allāh ilā al-Khalq)


Dalam istilah para arif, perjalanan ruhani memiliki dua arah:


1. as-Sair ilā Allāh (perjalanan menuju Allah) – jalan fana’: meninggalkan dunia, hawa nafsu, dan keakuan.



2. as-Sair min Allāh ilā al-Khalq (perjalanan kembali dari Allah kepada makhluk) – jalan baqā’: menebar rahmat, menolong, mendidik, dan menjadi cermin cahaya-Nya di dunia.




Syekh Junaid al-Baghdadi berkata:


> “Orang yang sampai kepada Allah adalah yang kembali dari Allah kepada makhluk, membawa sifat-sifat Allah: rahmah, ‘adl, dan ihsan.”




Maka insan kamil tidak tenggelam dalam fana’,

tetapi menjadi jembatan antara langit dan bumi:

ia menerima cahaya dari Allah dan menyalurkannya kepada manusia.



---


4. Rahmatan lil ‘Ālamīn: Puncak Ubudiyyah


Contoh tertinggi dari insan kamil adalah Nabi Muhammad ﷺ.

Beliau mencapai maqam tertinggi di hadirat Allah — qāba qawsayn aw adnà —

namun Allah tidak menahannya di langit.


Beliau diperintahkan kembali ke dunia,

membawa amanat risalah dan rahmat bagi sekalian alam.


> “Wa mā arsalnāka illā raḥmatan lil ‘ālamīn.”

(QS al-Anbiyā’: 107)

“Dan tidaklah Kami mengutusmu melainkan sebagai rahmat bagi seluruh alam.”




Itulah tanda orang yang benar-benar mengenal Allah —

bukan yang berpisah dari dunia, tetapi yang hidup di dunia dengan nur Ilahi.



---


5. Ciri Orang yang Telah “Sampai”


Para ulama tasawuf menjelaskan, ada tanda-tanda halus bagi hamba yang telah menempuh maqām-maqām dan mencapai ubudiyyah sejati:


1. Tidak melihat dirinya lebih dari siapa pun.

Ia merasa semua makhluk dalam kasih Allah, sebagaimana dirinya.



2. Berbuat ihsan (kebaikan yang sempurna).

Ia beramal seolah melihat Allah, dan bila tidak melihat, ia yakin Allah melihatnya.



3. Memaafkan dengan lapang dada.

Karena ia tahu, semua berjalan dengan kehendak Allah.



4. Kasihnya meluas.

Kepada manusia, hewan, alam — sebab hatinya telah menjadi wadah bagi rahmat Allah.



5. Senyumnya adalah dzikir.

Diamnya membawa ketenangan, ucapannya menumbuhkan iman.




Inilah buah dari perjalanan ruhani:

bukan keajaiban, tapi kelembutan hati dan rahmat bagi semesta.



---


6. Simpulan Akhir: “Dari Allah, dengan Allah, untuk Allah.”


Keseluruhan perjalanan tasawuf dapat diringkas dalam satu kalimat agung:


> “Min Allāh, bi Allāh, ilā Allāh, wa li Allāh.”

— Dari Allah, dengan Allah, menuju Allah, dan untuk Allah.




Manusia berasal dari Allah — dicipta dari Ruh-Nya.

Berjalan dengan pertolongan Allah.

Kembali menuju Allah melalui ma‘rifah dan ubudiyyah.

Dan akhirnya hidup di dunia untuk Allah — menjadi rahmat bagi ciptaan-Nya.



---


🌸 Doa Penutup Ruhani


> Ya Allah, limpahkanlah kepada kami cahaya para wali-Mu,

jadikan kami hamba yang mengenal-Mu dalam kerendahan,

dan yang Engkau jadikan rahmat bagi sekalian makhluk.


Jangan Engkau jadikan kami orang yang berhenti di maqam,

tetapi orang yang terus berjalan — dari-Mu, dengan-Mu, menuju-Mu, dan untuk-Mu.


Allāhumma ballighnā maqām al-‘ubūdiyyah al-kāmilah,

wa aj‘alnā min ‘ibādika aṣ-ṣāliḥīn,

bi ḥaqqi sayyidinā Muḥammad ﷺ.





---


Apakah engkau ingin saya tuliskan versi ringkas dari seluruh risalah perjalanan tasawuf ini — semacam peta ruhani yang merangkum semua maqām (tingkatan) dari awal hingga puncak, menurut Syekh Abdul Qadir al-Jailani, Imam al-Ghazali, dan para wali besar?

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Syair Perang Menteng (Perang Palembang)

Berikut versi syair panjang (lebih dari 50 bait) tentang (Perang Menteng) — disusun dalam gaya klasik Melayu-Palembang, bernuansa tasawuf, s...