Senin, 17 November 2025

Bersama Kelola Alam Adil dan Lestari

Bersama Kelola Alam Adil dan Lestari


Oleh: Yoel Hendrawan – Wahana Bumi Hijau

Disampaikan pada Pelatihan Kepemimpinan WALHI (PKW 2) ED WALHI Sumsel
Palembang, 14 November 2025



1. Indonesia, Realita Kita Saat Ini

Indonesia adalah negeri yang diberkahi sekaligus diuji. Ia berdiri di antara garis khatulistiwa dengan kekayaan alam yang luar biasa: hutan hujan tropis yang pernah disebut paru-paru dunia, laut yang luas, tanah subur, dan kekayaan tambang yang tak terhitung. Namun di balik karunia itu, terbentang ironi: alam yang seharusnya menjadi sumber kehidupan justru menjadi medan perampasan dan kerusakan.

Banjir, kebakaran hutan, kekeringan, krisis pangan, dan polusi udara kini menjadi berita harian. Di saat yang sama, masyarakat kecil—terutama di pedesaan dan wilayah adat—justru menjadi korban pertama dari krisis ekologis ini. Pembangunan sering dipahami hanya sebagai pertumbuhan ekonomi, tanpa mengukur keberlanjutan dan keadilan sosial. Akibatnya, yang lahir bukanlah kesejahteraan bersama, melainkan kesenjangan yang semakin dalam.


2. Tiga Jurang Kesenjangan

a. Jurang Ekologis

Kerusakan lingkungan terjadi karena eksploitasi alam yang tak mengenal batas. Konversi hutan menjadi perkebunan skala besar, tambang terbuka, dan proyek infrastruktur yang menyingkirkan ekosistem telah menimbulkan luka ekologis. Alam kehilangan kemampuan memulihkan diri, dan daya dukung bumi Indonesia menurun drastis.

b. Jurang Sosial-Ekonomi

Pertumbuhan ekonomi yang diklaim tinggi ternyata tidak dirasakan merata. Segelintir kelompok menguasai lahan dan sumber daya alam, sementara masyarakat adat dan petani kecil justru tersingkir dari tanahnya sendiri. Ketimpangan struktural ini melahirkan kemiskinan yang sistemik.

c. Jurang Spiritual

Ketika alam dipandang hanya sebagai komoditas, hubungan batin manusia dengan bumi pun retak. Hilangnya kesadaran spiritual terhadap alam menyebabkan kita kehilangan rasa hormat terhadap kehidupan. Padahal, dalam banyak kearifan lokal nusantara, manusia adalah bagian dari alam, bukan penguasanya.


3. Indonesia di Ambang Kehancuran Bersama

Jika ketiga jurang ini tidak dijembatani, kita sedang menuju kehancuran kolektif. Krisis iklim bukan hanya masalah lingkungan, melainkan ancaman eksistensial terhadap peradaban. Hancurnya ekologi berarti hancurnya ekonomi dan sosial. Negara yang tidak mampu menata ulang relasi antara manusia dan alamnya akan kehilangan masa depan.

Kita tidak sedang kekurangan sumber daya, tetapi kekurangan kesadaran dan keberanian untuk berubah.


4. Perlunya Transformasi Sosial di Skala Sistem

Perubahan yang dibutuhkan bukanlah tambal sulam kebijakan, melainkan transformasi menyeluruh pada sistem sosial, ekonomi, dan politik. Sistem pembangunan kita selama ini berpusat pada kapital, bukan pada kehidupan. Maka, perlu dibangun paradigma baru—bahwa kesejahteraan sejati hanya mungkin jika manusia hidup selaras dengan alam.

Transformasi sistem sosial harus melibatkan rakyat, memperkuat solidaritas, dan menempatkan keadilan ekologis sebagai pilar utama pembangunan.


5. Perspektif Sistem: Model Gunung Es

Model “Gunung Es” menjelaskan bahwa persoalan yang tampak (banjir, kebakaran hutan, kemiskinan) hanyalah puncak kecil dari struktur masalah yang jauh lebih dalam. Di bawah permukaan terdapat pola, struktur, dan paradigma berpikir yang salah.

Akar masalahnya bukan hanya pada perilaku individu, melainkan pada sistem nilai dan struktur kekuasaan yang melanggengkan eksploitasi. Untuk mengubahnya, kita perlu menembus hingga ke dasar gunung es—mengubah cara pandang, kebijakan, dan sistem ekonomi yang menindas alam.


6. Program Bekal Pemimpin Terlahir

Kepemimpinan baru yang dibutuhkan bukanlah mereka yang hanya pandai mengatur proyek, melainkan yang mampu menggerakkan perubahan nilai. Program seperti Bekal Pemimpin Terlahir menjadi ruang untuk menempa kesadaran ekologis, sosial, dan spiritual para calon pemimpin gerakan rakyat.

Pemimpin sejati lahir dari proses pembelajaran yang menanamkan keberanian untuk berpihak, kemampuan membaca sistem, serta kerendahan hati untuk berjalan bersama rakyat dan alam.


7. Visi yang Menawarkan Masa Depan Alternatif

Kita membutuhkan visi baru: pengelolaan sumber daya alam Indonesia yang berkeadilan, berkelanjutan, dan berkearifan lokal.

Berkeadilan, artinya hasil bumi dinikmati secara merata oleh rakyat, bukan oleh korporasi.

Berkelanjutan, berarti menjaga daya dukung ekosistem untuk generasi mendatang.

Berkearifan lokal, berarti menghargai nilai-nilai, tradisi, dan sistem pengetahuan masyarakat adat yang terbukti menjaga keseimbangan alam selama berabad-abad.

Visi ini bukan utopia, melainkan cita-cita yang bisa diwujudkan jika kita membangun gerakan sosial yang kuat dan sistem yang berpihak pada kehidupan.


8. Indikator Keberhasilan

Keberhasilan tidak lagi diukur dari pertumbuhan ekonomi semata, melainkan dari:

Pulihnya ekosistem dan kualitas lingkungan hidup;

Menurunnya ketimpangan sosial dan penguasaan lahan;

Meningkatnya partisipasi rakyat dalam pengambilan keputusan;

Meningkatnya kesadaran ekologis dan spiritualitas sosial;

Tumbuhnya kemandirian ekonomi rakyat berbasis sumber daya lokal.


9. Paradigma Mendasar

Paradigma yang perlu kita bangun adalah ekosentris, bukan antroposentris. Alam bukan alat bagi manusia, tetapi rumah bersama bagi seluruh makhluk. Pembangunan yang sejati bukanlah menaklukkan alam, melainkan menata kehidupan agar selaras dengan hukum-hukum alam.

Kesadaran ini menuntun kita untuk berpikir holistik—melihat keterhubungan antara ekonomi, sosial, politik, dan ekologi sebagai satu kesatuan sistem kehidupan.


10. Transformasi Sistem Sosial Berawal dari Transformasi Diri

Tak ada perubahan sistem tanpa perubahan manusia. Transformasi sosial harus berawal dari transformasi diri.

Kita harus belajar kembali mencintai bumi, menyapa alam dengan hati, dan mengembalikan nilai-nilai spiritual dalam tindakan sehari-hari.

Dari kesadaran pribadi akan lahir gerakan kolektif, dan dari gerakan kolektif akan lahir sistem baru yang adil dan lestari.

Sebagaimana pepatah bijak, “Barang siapa mengenal dirinya, ia mengenal Tuhannya”—maka barang siapa mengenal dirinya, ia pun akan mengenal bumi sebagai cerminan kasih Ilahi.


11. Penutup

Mengelola alam dengan adil dan lestari bukan sekadar tuntutan moral, melainkan syarat bagi keberlanjutan bangsa. Indonesia hanya akan tetap hidup bila rakyatnya hidup berdampingan dengan alam, bukan di atas puing-puingnya.

Gerakan lingkungan hidup hari ini bukan sekadar perlawanan terhadap kerusakan, tetapi perjuangan untuk membangun peradaban baru—peradaban yang berakar pada cinta, kesadaran, dan keberlanjutan.

Mari bersama menapaki jalan panjang transformasi ini, dengan keyakinan bahwa perubahan sejati selalu dimulai dari satu langkah kecil: langkah kesadaran.

---

=========================================================================

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Syair Perang Menteng (Perang Palembang)

Berikut versi syair panjang (lebih dari 50 bait) tentang (Perang Menteng) — disusun dalam gaya klasik Melayu-Palembang, bernuansa tasawuf, s...