Baik. Kita lanjut dengan penjelasan maqam-maqam (tingkatan spiritual) berikutnya yang ditempuh oleh para sālik (penempuh jalan Allah) menurut para Imam besar sufi — khususnya Syekh Abdul Qadir al-Jailani, Syekh Junaid al-Baghdadi, Imam al-Ghazali, Syekh Abdus Shamad al-Palembani, dan Ibnu ‘Athaillah as-Sakandari.
---
🌿 7. Maqām Tawakkul (Ketergantungan Total kepada Allah)
a. Makna Umum:
Tawakkul adalah berserah diri sepenuhnya kepada Allah setelah melakukan sebab (ikhtiar). Bukan berarti meninggalkan usaha, tetapi menyerahkan hasil sepenuhnya kepada kehendak Allah.
b. Menurut Para Ulama Sufi:
Syekh Abdul Qadir al-Jailani:
“Tawakkul adalah keluar dari daya dan upaya, berdiri di hadapan Allah seperti anak kecil yang menanti rezeki dari ibunya.”
Dalam al-Fath ar-Rabbani, beliau menjelaskan bahwa tawakkul sejati terjadi ketika hati tidak lagi bergantung pada makhluk, harta, atau sebab, melainkan hanya pada Allah.
Imam al-Ghazali (Ihya’ Ulumiddin):
Beliau membagi tawakkul menjadi tiga derajat:
1. Tawakkul orang awam — tetap berusaha tapi tidak resah dengan hasil.
2. Tawakkul orang khawash (terpilih) — meninggalkan kebergantungan pada sebab, hanya melihat Allah sebagai penentu hasil.
3. Tawakkul khawashul khawash — tidak melihat sebab sama sekali, hanya menyaksikan Allah yang Maha Mengatur.
Syekh Junaid al-Baghdadi:
“Tawakkul adalah membiarkan dirimu diatur oleh Allah sebagaimana mayat diatur oleh orang yang memandikannya.”
Artinya: tanpa kehendak, tanpa protes, sepenuhnya pasrah dalam kehendak Allah.
Syekh Abdus Shamad al-Palembani (Siyarus Salikin):
“Tawakkul itu buah dari keyakinan. Siapa yang yakin akan janji Allah, maka ringanlah baginya untuk bertawakkul.”
Ibnu ‘Athaillah as-Sakandari (al-Hikam):
“Istirahatkan dirimu dari urusan dunia, karena apa yang dijamin oleh Allah tidak perlu engkau cemas.”
Dalam pandangan beliau, tawakkul adalah ketenangan hati karena percaya pada jaminan Allah.
---
🌿 8. Maqām Ridhā (Kerelaan terhadap Ketentuan Allah)
a. Makna Umum:
Ridhā adalah menerima dengan lapang dada semua ketentuan Allah — baik yang manis maupun pahit.
b. Menurut Para Ulama:
Imam al-Ghazali:
“Ridhā lebih tinggi daripada sabar. Sabar menahan diri dari keluh kesah, sementara ridhā adalah bergembira dengan ketentuan Allah.”
Syekh Abdul Qadir al-Jailani:
“Ridhā itu tanda cinta. Jika engkau ridha kepada takdir Allah, berarti engkau mencintai-Nya.”
Syekh Junaid al-Baghdadi:
“Ridhā adalah kebahagiaan hati dengan ketetapan Allah.”
Syekh Abdus Shamad al-Palembani:
Dalam Siyarus Salikin, beliau menulis bahwa ridhā muncul setelah fana-nya hawa nafsu dan terangnya cahaya makrifat di hati.
Ibnu ‘Athaillah:
“Tidak ada yang lebih nikmat daripada ridhā. Karena siapa yang ridha, dia telah berada di surga sebelum surga.”
---
🌿 9. Maqām Mahabbah (Cinta kepada Allah)
a. Makna Umum:
Mahabbah adalah puncak perjalanan ruhani — ketika hati hanya dipenuhi oleh cinta Ilahi, sehingga semua amal, ucapan, dan gerak hanya untuk Allah.
b. Menurut Para Ulama:
Syekh Abdul Qadir al-Jailani:
“Cinta sejati kepada Allah ialah ketika engkau tidak menginginkan surga dan tidak takut neraka, tetapi hanya ingin bertemu dengan-Nya.”
Syekh Junaid al-Baghdadi:
“Mahabbah adalah masuknya sifat-sifat yang dicintai oleh Allah ke dalam dirimu.”
Cinta menurut Junaid adalah penyerapan sifat Ilahi ke dalam jiwa hamba.
Imam al-Ghazali:
Dalam Ihya’, beliau menulis bahwa mahabbah lahir dari tiga hal:
1. Mengenal nikmat Allah.
2. Mengenal keindahan Allah.
3. Mengenal kesempurnaan Allah.
Semakin dalam ma’rifah seseorang, semakin besar pula cintanya.
Syekh Abdus Shamad al-Palembani:
“Cinta itu buah dari ma’rifat. Tidak akan mencintai Allah kecuali orang yang mengenal-Nya.”
Ibnu ‘Athaillah:
“Tanda cinta kepada Allah adalah meninggalkan pilihan diri dan mengikuti pilihan Allah.”
---
🌿 10. Maqām Ma‘rifah (Pengenalan Hakiki kepada Allah)
a. Makna Umum:
Ma’rifah bukan sekadar tahu, tapi menyaksikan dengan hati kehadiran Allah di setiap sesuatu.
b. Menurut Para Ulama:
Syekh Junaid al-Baghdadi:
“Ma’rifah adalah ketika cahaya Allah menyinari rahasia hati, hingga hamba melihat-Nya dengan mata hatinya.”
Syekh Abdul Qadir al-Jailani:
“Ahli ma’rifah adalah mereka yang melihat Allah sebelum melihat sesuatu yang lain.”
Imam al-Ghazali:
“Ma’rifah adalah buah dari mujahadah dan riyadhah. Siapa yang bersungguh-sungguh menempuh jalan Allah, maka Allah akan menyingkap hijab antara dia dan Rabbnya.”
Syekh Abdus Shamad al-Palembani:
Dalam Siyarus Salikin, ma’rifah adalah “mengenal Allah dengan hati yang suci dari syirik, hawa, dan ghaflah (lalai).”
Ibnu ‘Athaillah:
“Tidak ada yang mengenal Allah kecuali Allah. Maka ma’rifah sejati adalah ketika engkau menyadari kelemahanmu dalam mengenal-Nya.”
---
🌿 11. Maqām Fana’ dan Baqā’ (Lenyap dalam Allah dan Kekal bersama Allah)
a. Makna:
Fana’: lenyapnya kesadaran diri dan sifat-sifat kemanusiaan karena tenggelam dalam kehadiran Allah.
Baqā’: tetap eksis dengan sifat-sifat Allah setelah fana dari diri.
b. Menurut Para Ulama:
Syekh Junaid al-Baghdadi:
“Fana’ adalah lenyapnya sifat manusiawi dalam sifat Ilahi, dan baqā’ adalah kekekalan hamba dalam kehendak-Nya.”
Syekh Abdul Qadir al-Jailani:
“Fana’ itu hilangnya kehendakmu sendiri, dan baqā’ adalah ketika engkau hidup dengan kehendak Allah.”
Imam al-Ghazali:
Dalam Ihya’, beliau menyebut fana’ sebagai “mati sebelum mati” (al-mautu qabla al-maut). Yakni, mematikan ego dan keakuan sebelum mati jasmani.
Syekh Abdus Shamad al-Palembani:
“Fana’ dan baqā’ adalah dua sisi kesempurnaan insan kamil. Fana’ dari nafsu, baqā’ dengan Nur Ilahi.”
Ibnu ‘Athaillah:
“Fana’ adalah hilangnya dirimu dari selain Allah. Baqā’ adalah tetapnya engkau bersama Allah setelah hilang dari dirimu.”
---
Apakah engkau ingin saya lanjutkan dengan maqam terakhir (maqam insan kamil dan ittihad) — yaitu puncak kesempurnaan ruhani menurut para sufi besar tersebut, agar lengkap sampai akhir perjalanan seorang salik?
Tidak ada komentar:
Posting Komentar