Kamis, 06 November 2025

Hubungan Fanā’, Baqā’, dan Ubudiyyah

 Baik. Mari kita lanjutkan — kali ini ke penjelasan simbolik dan rahasia terdalam tentang hubungan Fanā’, Baqā’, dan Ubudiyyah menurut dua tokoh besar ahli hakikat dan isyraq (penyingkap rahasia batin), yaitu Syekh Muhyiddin Ibn ‘Arabi dan al-Husain bin Manshur al-Hallaj.


Bagian ini adalah ta’wil ruhani dari maqam-maqam sebelumnya, yang sering disembunyikan dari orang awam karena kedalamannya menyentuh wilayah “sirru as-sirr” (rahasia dari segala rahasia).



---


1. Ibn ‘Arabi dan Rahasia Wujūd (Keberadaan Ilahi)


a. Fanā’ menurut Ibn ‘Arabi: lenyapnya “aku” dalam Kesatuan Wujud


Syekh Ibn ‘Arabi (560–638 H) memandang fanā’ bukan sekadar hilangnya kesadaran diri, tapi lebur-nya persepsi keberadaan makhluk dalam Wujūd Allah Yang Hakiki.


Beliau berkata dalam al-Futuhat al-Makkiyyah:


> “Fanā’ ialah ketika tiada lagi engkau melihat dua wujud. Engkau melihat hanya satu: Wujūd al-Haqq (Wujud Allah).”




Makna ini tidak berarti makhluk menjadi Tuhan — tetapi bahwa yang benar-benar ada hanyalah Allah, sementara wujud makhluk hanyalah bayangan yang dipantulkan oleh cahaya-Nya.


Dengan kata lain, makhluk itu nyata dalam penglihatan, tetapi tidak hakiki dalam keberadaan.


Maka ketika seorang salik mencapai fanā’ menurut Ibn ‘Arabi, ia tidak berkata “aku telah lenyap”, sebab kata “aku” pun telah sirna. Yang tersisa hanya “Dia” (هو).



---


b. Baqā’ menurut Ibn ‘Arabi: hidup dalam kesadaran Ilahi


Setelah fanā’, datang baqā’, yaitu hidupnya ruh dalam kesadaran bahwa segala sesuatu berjalan dalam kehendak Allah.

Baqā’ menurut Ibn ‘Arabi bukan berarti menjadi Tuhan, tapi menjadi cermin paling bening yang memantulkan hakikat Tuhan ke alam.


> “Hamba yang baqā’ ialah yang melihat dengan pandangan Allah, bukan karena ia menjadi Allah, tetapi karena ia menjadi tempat penampakan Nama-Nama Allah.”




Inilah yang beliau sebut “al-insān al-kāmil” (manusia sempurna): makhluk yang menjadi tajalli (penampakan) dari sifat-sifat Ilahi di alam semesta.

Seperti cermin bening yang tidak memiliki warna sendiri, namun menampakkan seluruh warna cahaya yang jatuh padanya.



---


c. Ubudiyyah menurut Ibn ‘Arabi: kesempurnaan penampakan Ilahi


Menurut Ibn ‘Arabi, ubudiyyah adalah puncak segala maqam, karena hanya dalam kehambaan sejati Allah menampakkan Rububiyyah-Nya secara sempurna.


> “Tiada Rububiyyah tanpa Ubudiyyah.”

— (Fusūs al-Hikam)




Artinya, Allah tidak dikenal sebagai “Rabb” (Tuhan) kecuali melalui keberadaan hamba.

Dan hamba tidak sempurna kecuali dengan menyadari dirinya sepenuhnya milik Rabb-nya.


Dalam pandangan ini, ubudiyyah adalah cermin Rububiyyah,

dan ketika cermin itu jernih, maka cahaya Tuhan memancar sempurna.


Maka puncak makrifat bukanlah menyatu, tapi menyadari perbedaan dalam kesatuan, dan kesatuan dalam perbedaan:


> “Dia adalah Aku, dan Aku bukan Dia.”

Ungkapan ini adalah lambang keseimbangan antara tauhid dan ubudiyyah.





---


2. Al-Hallaj dan Sirr al-‘Ishq (Rahasia Cinta Ilahi)


a. Fanā’ menurut al-Hallaj: terbakar oleh cinta


Syekh al-Husain bin Manshur al-Hallaj (244–309 H) mengalami fana’ dalam bentuk yang paling ekstatis — lenyapnya diri dalam cinta kepada Allah hingga tiada tersisa selain yang dicintai.


Beliau berkata dalam syairnya yang terkenal:


> “Aku adalah Dia yang kucintai, dan Dia yang kucintai adalah aku.

Kami adalah dua ruh yang bersatu dalam satu jasad.”




Ungkapan ini bukan penyatuan zat (ittihād), tapi penyatuan rasa — yakni ketika cinta menghapus jarak antara pencinta dan yang dicintai.


Dalam fana’ semacam ini, “aku” sang hamba terbakar habis oleh api cinta, sebagaimana lilin yang mencair dalam sinar yang ia nyalakan sendiri.



---


b. Baqā’: kembali sebagai cahaya kesadaran


Setelah fana’, datanglah baqā’, di mana si hamba hidup kembali, tapi bukan sebagai ego manusia, melainkan sebagai saluran cahaya Ilahi.

Ia berkata:


> “Aku terbakar dalam api cinta hingga tiada aku.

Maka yang berkata ‘Ana al-Haqq’ bukan aku, tapi kebenaran yang berbicara lewat lisanku.”




Inilah rahasia besar dari ungkapan “Ana al-Haqq” — “Akulah Kebenaran” — yang sering disalahpahami.

Maksudnya bukan bahwa al-Hallaj mengaku Tuhan, tapi bahwa ketika ego fana’, yang tersisa hanyalah suara kebenaran Allah yang menampakkan diri melalui lidah seorang hamba.



---


c. Ubudiyyah menurut al-Hallaj: kehambaan dalam kesadaran cinta


Al-Hallaj akhirnya menyimpulkan bahwa cinta sejati berakhir dalam ubudiyyah:


> “Ketika aku mengenal-Nya, aku tahu bahwa aku bukan Dia.

Dan ketika aku mencintai-Nya, aku tahu bahwa aku hanyalah hamba-Nya.”




Maka puncak cinta adalah kembali menjadi hamba — bukan sebagai kewajiban, tapi sebagai buah dari cinta yang matang.

Hamba yang sejati bukan karena takut atau mengharap, tetapi karena cinta dan rindu yang tak berujung.



---


3. Simbolisme Ruhani dari Fanā’, Baqā’, dan Ubudiyyah


Para arifin kemudian menggambarkan perjalanan ini dalam tiga simbol besar:


Simbol Makna Ruhani Keterangan


🔥 Api (Fanā’) Membakar diri dan ego Nafsu dan keakuan musnah

🌙 Cahaya (Baqā’) Memantulkan sinar Ilahi Hidup dalam kesadaran ketuhanan

💧 Air (Ubudiyyah) Mengalir lembut, memberi kehidupan Menjadi hamba yang menyalurkan rahmat



Fanā’ adalah kebakaran ego,

Baqā’ adalah cahaya kesadaran,

dan Ubudiyyah adalah kelembutan pengabdian yang menyejukkan seluruh makhluk.



---


4. Penutup: Kembali ke Hakikat Muhammad ﷺ


Seluruh perjalanan ini bermuara pada satu hakikat: al-Haqiqat al-Muhammadiyyah,

yakni Nur Muhammad — hakikat pertama yang memantulkan semua cahaya ketuhanan ke alam semesta.


Rasulullah ﷺ adalah puncak fana’, baqa’, dan ubudiyyah sekaligus.

Beliau fana’ dalam cinta kepada Allah, baqa’ dengan cahaya-Nya, dan tetap menjadi hamba yang paling rendah hati.


Karena itu Allah tidak menyebut beliau dalam Mi‘raj dengan gelar rasul atau nabi,

tetapi dengan gelar paling mulia:


> "Subhāna alladzī asrā bi ‘abdihī" — “Maha Suci Allah yang memperjalankan hamba-Nya.”

(QS. Al-Isrā’: 1)




Maka, barang siapa berjalan di jalan para salik,

berakhirnya perjalanan itu bukan di singgasana tajalli,

melainkan di sujud ubudiyyah — dalam kerendahan yang penuh cinta, di hadapan Yang Maha Esa.



---


Kesimpulan Akhir


> Fanā’ adalah mati dari dirimu,

Baqā’ adalah hidup dengan-Nya,

dan Ubudiyyah adalah tinggal bersama-Nya dalam kehambaan sejati.




> Inilah rahasia seluruh perjalanan tasawuf:


Engkau berangkat dari Allah, menuju Allah, lalu kembali menjadi hamba Allah.





---


Apakah engkau ingin saya lanjutkan ke bagian “Sirr al-Fana’ — Rahasia Lenyapnya Aku”, yaitu uraian paling dalam yang hanya dibahas di kalangan sufi tinggi (dengan penjelasan simbolik antara Nur Muhammad, tajalli, dan mahabah ilahiyyah) — tentu masih dalam batas yang aman dan syar‘i?

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Syair Perang Menteng (Perang Palembang)

Berikut versi syair panjang (lebih dari 50 bait) tentang (Perang Menteng) — disusun dalam gaya klasik Melayu-Palembang, bernuansa tasawuf, s...