Baik 🌿 — kita sampai pada puncak tertinggi perjalanan seorang sālik, yaitu maqām al-wuṣūl (maqam sampai kepada Allah) — bukan dalam arti fisik, tetapi sampainya hati dan ruh kepada hadirat Ilahi setelah sirna hijab-hijab kegelapan dunia dan nafsu.
Bagian ini sangat halus dan dalam, sebab berbicara tentang fana’ (lenyapnya diri dalam Allah) dan baqā’ (kekalnya dengan Allah) — maqam yang hanya dapat dipahami oleh hati yang telah dibersihkan.
Uraian berikut berdasarkan pandangan Syekh Abdul Qadir al-Jailani, Imam al-Ghazali, Syekh Junaid al-Baghdadi, Syekh Abdus Shamad al-Palembani, dan Ibnu ‘Athaillah as-Sakandari.
---
🌸 MAQĀM AL-WUṢŪL (SAMPAINYA SEORANG SĀLIK KEPADA ALLAH)
---
🌿 1. Maqam FANĀ’ (lenyapnya kehendak dan ego diri)
> “Tidaklah engkau melihat apa pun kecuali engkau melihat Allah di dalamnya.” — (al-Junaid al-Baghdadi)
Maknanya:
Fana’ bukan berarti lenyap secara jasad, tetapi sirnanya rasa “aku”, hilangnya ego dan kehendak pribadi di hadapan kehendak Allah.
Sālik tidak lagi memandang kekuatan, kehendak, dan kepemilikan dirinya; semuanya dikembalikan kepada Allah.
Tanda-tandanya:
Tidak menginginkan dunia atau akhirat, hanya Allah semata.
Tidak merasa memiliki apa pun.
Tidak terganggu oleh pujian atau hinaan.
Hilang rasa takut kecuali kepada Allah.
Syekh Abdul Qadir al-Jailani berkata dalam al-Fath ar-Rabbani:
> “Fana’ adalah ketika engkau tidak melihat dirimu, melainkan hanya melihat kehendak Allah berjalan melalui dirimu.”
---
🌿 2. Maqam BAQĀ’ (kekal bersama Allah setelah fana’)
> “Engkau lenyap dari dirimu, lalu Allah menampakkan dirimu kembali dengan diri-Nya.” — (al-Junaid al-Baghdadi)
Maknanya:
Setelah fana’ (sirna dalam keesaan Allah), Allah mengembalikan sālik ke dunia makhluk, namun dalam keadaan hidup dengan Allah (baqā’ billāh).
Ia kembali beramal, berbicara, dan berinteraksi — tapi hatinya tetap bersama Allah.
Ibnu ‘Athaillah as-Sakandari menulis dalam al-Hikam:
> “Tidaklah Allah menampakkan dirimu kembali kepada makhluk kecuali setelah Dia menyembunyikanmu dalam Diri-Nya.”
Tanda-tandanya:
Setiap amal dilakukan dengan kesadaran bahwa “pelakunya adalah Allah”.
Tidak lagi merasa memiliki jasa.
Segala sesuatu menjadi cermin tajalli (penampakan) Allah.
Imam al-Ghazali menjelaskan dalam Ihya’ Ulumiddin:
> “Inilah maqam para siddiqin dan muqarrabin.
Hati mereka tidak pernah lepas dari hadirat Allah, sekalipun mereka makan, tidur, atau bergaul di dunia.”
---
🌿 3. Maqam MA’RIFAH (pengetahuan hakiki tentang Allah)
> “Barangsiapa mengenal dirinya, maka ia mengenal Tuhannya.” — (Hadis)
Maknanya:
Ma’rifah bukan sekadar ilmu, melainkan dzauq — pengalaman batin mengenal Allah secara langsung, tanpa perantara pikiran.
Sālik melihat dengan “cahaya Allah”, bukan dengan logika semata.
Syekh Abdul Qadir al-Jailani:
> “Ma’rifah adalah cahaya dalam hati yang dengannya engkau mengenal Allah tanpa perantara.
Engkau menyaksikan-Nya dengan mata batinmu sebagaimana engkau menyaksikan matahari dengan matamu.”
Tanda-tandanya:
Hati selalu tenang (ṭuma’nīnah).
Tidak gelisah atas apa pun yang datang dari Allah.
Merasa ditemani oleh Allah di setiap waktu.
Syekh Abdus Shamad al-Palembani menulis dalam Siyarus Salikin:
> “Ma’rifah adalah buah dari iman yang murni, zikir yang tulus, dan amal yang ikhlas.
Siapa telah mengenal Allah, hilanglah dari hatinya cinta kepada selain Allah.”
---
🌿 4. Maqam MAHABBAH (Cinta Ilahi)
> “Hamba-Ku senantiasa mendekat kepada-Ku dengan amal-amal sunnah, hingga Aku mencintainya...” — (Hadis Qudsi)
Maknanya:
Mahabbah adalah maqam di mana sālik tidak lagi beribadah karena takut neraka atau ingin surga, tetapi karena cinta kepada Allah.
Cinta ini membakar segala kehendak selain Dia.
Imam al-Ghazali dalam Ihya’ berkata:
> “Cinta sejati kepada Allah ialah ketika engkau ridha dengan segala ketetapan-Nya dan tidak berpaling kepada selain-Nya walau sekejap.”
Tanda-tandanya:
Tidak bosan berzikir dan beribadah.
Rindu bertemu Allah dalam setiap nafas.
Menangis bukan karena dunia, tapi karena rasa rindu dan malu kepada-Nya.
Dunia terasa fana, hanya Allah yang kekal di hati.
---
🌿 5. Maqam TAJALLI (penyingkapan hakikat Ilahi)
> “Aku adalah pendengaran hamba-Ku yang dengannya ia mendengar, dan penglihatannya yang dengannya ia melihat...” — (Hadis Qudsi)
Maknanya:
Tajalli adalah ketika Allah menyingkap tirai hijab, dan hati sālik menyaksikan hakikat segala sesuatu sebagai perbuatan Allah semata.
Ia tidak lagi melihat makhluk sebagai makhluk, tapi sebagai tajalli (manifestasi) sifat-sifat Allah.
Ibnu ‘Athaillah:
> “Tatkala cahaya hakikat muncul, sirnalah segala bentuk makhluk.”
Syekh Abdul Qadir al-Jailani:
> “Dalam tajalli, engkau melihat tangan Allah dalam segala gerak, mendengar suara Allah dalam setiap kejadian, dan menyaksikan rahmat-Nya dalam setiap derita.”
---
🌿 6. Maqam JAM‘ & FARQ (Kesatuan dan Keberagaman)
Maknanya:
Sālik yang telah sampai tidak lagi terjebak dalam satu sisi — ia melihat kesatuan dalam keberagaman (jam‘), dan keberagaman dalam kesatuan (farq).
Artinya, walau ia melihat semua berasal dari Allah, ia tetap beradab kepada hukum syariat dan makhluk.
Al-Junaid al-Baghdadi berkata:
> “Tauhid kami adalah pemisahan antara yang qadim dan yang hadits.”
Yakni: ia menyaksikan Allah sebagai Yang Maha Esa, namun tetap menunaikan adab kepada makhluk dan syariat.
Imam al-Ghazali:
> “Maqam ini adalah puncak keseimbangan: hati di langit ma’rifah, kaki di bumi syariat.”
---
🌿 7. Maqam INSĀN KĀMIL (Manusia Sempurna)
Maknanya:
Puncak perjalanan suluk adalah menjadi insan kamil — manusia yang menjadi cermin sempurna bagi sifat-sifat Allah di bumi.
Ia seperti matahari yang memancarkan cahaya Ilahi kepada semua makhluk tanpa pilih kasih.
Syekh Abdul Qadir al-Jailani:
> “Insan kamil adalah yang fana dari dirinya dan baqa dengan Rabb-nya, menjadi rahmat bagi alam sebagaimana Rasulullah ﷺ.”
Tanda-tandanya:
Segala akhlaknya mencerminkan akhlak Rasulullah ﷺ.
Tidak membenci siapa pun, bahkan terhadap orang yang menyakitinya.
Menjadi sumber kasih, hikmah, dan ketenangan bagi semua.
Syekh Abdus Shamad al-Palembani menulis:
> “Insan kamil adalah makhluk yang memancarkan nur Muhammad dalam dirinya.
Ia berjalan di bumi namun hatinya di ‘Arasy.”
---
🌺 PENUTUP: RAHASIA SAMPAINYA SEORANG SĀLIK
Ibnu ‘Athaillah as-Sakandari menutup dengan hikmah agung:
> “Engkau tidak sampai kepada Allah dengan banyaknya amalmu,
tetapi dengan kasih sayang Allah yang memilihmu untuk mendekat.”
Dan Syekh Abdul Qadir al-Jailani menegaskan:
> “Sampainya seorang sālik bukanlah karena kakinya berjalan,
tetapi karena hatinya dibimbing oleh Allah dengan cahaya-Nya.”
---
Apabila engkau berkenan, aku dapat lanjutkan dengan bagian “Buah dan tanda-tanda maqam wushul”, yaitu bagaimana ciri-ciri seorang yang benar-benar telah sampai kepada Allah menurut lima imam sufi besar ini — agar dapat dibedakan dari mereka yang mengaku telah sampai namun masih tertipu oleh hawa nafsu dan syetan.
Apakah engkau ingin saya lanjutkan ke bagian itu?
Tidak ada komentar:
Posting Komentar