Bab tentang TAWAKKAL dalam ilmu Tasawuf menurut para ulama besar — Syaikh Abdul Qadir al-Jailani, Imam al-Ghazali, Syaikh Junaid al-Baghdadi, dan Syaikh Abdus Shamad al-Palimbani — secara mendalam dan sistematis.
I. Makna TAWAKKAL Menurut Bahasa dan Syara’
Secara bahasa (etimologi):
Tawakkal berasal dari kata وَكَلَ - يَكِلُ - وَكَالَةً yang berarti “menyerahkan urusan kepada orang lain.”
Secara istilah (terminologi sufistik):
Tawakkal adalah menyerahkan segala urusan kepada Allah setelah melakukan sebab-sebab yang diperintahkan, dengan keyakinan sempurna bahwa segala hasil berada di tangan Allah semata.
Imam al-Ghazali dalam Ihya’ Ulumuddin berkata:
> "Tawakkal adalah keadaan hati yang tenang terhadap jaminan Allah, dan tidak goyah karena kehilangan sesuatu dari dunia."
II. Landasan Qur’an dan Hadis
1. Al-Qur’an:
“Dan bertawakkallah kepada Allah; cukuplah Allah sebagai Pemelihara.” (QS. Al-Ahzab: 3)
“Barangsiapa bertawakkal kepada Allah, niscaya Allah akan mencukupinya.” (QS. Ath-Thalaq: 3)
2. Hadis Nabi SAW:
Rasulullah SAW bersabda:
“Ikatlah untamu, kemudian bertawakkallah kepada Allah.” (HR. Tirmidzi)
→ menunjukkan bahwa tawakkal bukan meninggalkan usaha, tapi menyerahkan hasil setelah berusaha.
III. TINGKATAN (MARÂTIB) TAWAKKAL MENURUT PARA SUFI
1. Menurut Imam al-Ghazali (Ihya’ Ulumuddin, Kitab at-Tawakkul)
Beliau membagi tawakkal dalam tiga tingkatan utama:
(a) Tawakkalul ‘Awam (tingkatan umum)
Hamba yang masih bersandar pada usaha, tetapi hatinya tetap yakin bahwa hasil hanya dari Allah.
Contoh: seorang petani menanam padi, tapi yakin panennya ditentukan Allah.
(b) Tawakkalul Khawâsh (tingkatan khusus)
Hamba yang melakukan sebab-sebab sekadarnya, tanpa menaruh kepercayaan pada sebab itu.
Ia menanam, tapi dalam hatinya sebab itu tidak memiliki kekuatan apa pun kecuali dengan izin Allah.
(c) Tawakkalul Khawâsh al-Khawâsh (tingkatan khusus yang paling tinggi)
Hamba meninggalkan total ketergantungan kepada sebab, menyerahkan seluruh urusannya kepada Allah, sebagaimana bayi terhadap ibunya.
Ia tenang dalam takdir, tidak terguncang oleh hilang atau datangnya sesuatu.
Imam al-Ghazali berkata:
> "Orang yang bertawakkal sejati ialah yang hatinya tetap tenang meskipun segala sebab dicabut darinya."
2. Menurut Syaikh Abdul Qadir al-Jailani (dalam Futuh al-Ghaib dan Al-Fath ar-Rabbani)
Beliau menegaskan tawakkal sejati sebagai buah dari ma'rifah (pengenalan terhadap Allah).
Tiga maqam tawakkal menurut beliau:
(a) Tawakkal bil-lisan (tawakkal ucapan)
Sekadar pengakuan dengan kata: “Aku bertawakkal kepada Allah.”
Belum hakiki, masih di tingkat syariat lahir.
(b) Tawakkal bil-qalb (tawakkal hati)
Hati tidak gelisah terhadap sebab dan akibat; percaya penuh kepada ketentuan Allah.
(c) Tawakkal bil-haqiqat (tawakkal hakiki)
Menyaksikan bahwa tiada pelaku selain Allah.
Ia tidak melihat dirinya, tidak melihat sebab, hanya melihat Tangan Kudrat Allah yang mengatur segala sesuatu.
Syaikh Abdul Qadir berkata:
> "Tawakkalmu belum benar sampai engkau melihat bahwa tiada sesuatu pun di tanganmu, dan segala sesuatu di tangan Allah semata."
3. Menurut Syaikh Junaid al-Baghdadi
Syaikh Junaid mendefinisikan tawakkal sebagai:
> "Tinggalkan segala upaya manusia dan tegakkan pandanganmu hanya kepada Ketentuan Allah."
Beliau menyebut empat tingkatan batin dari tawakkal:
1. At-Tafwîdh (Penyerahan total): menyerahkan urusan kepada Allah setelah berusaha.
2. Ar-Ridha (Kerelaan): ridha terhadap hasil apa pun yang ditetapkan Allah.
3. As-Sukun (Ketenangan): hati tetap damai di tengah segala ujian.
4. Al-Yaqîn (Keyakinan penuh): tidak ada rasa ragu sedikit pun bahwa Allah-lah yang mencukupkan.
4. Menurut Syaikh Abdus Shamad al-Palimbani (dalam Sairus Salikin ila ‘Ibadati Rabbil ‘Alamin)
Beliau merangkum pandangan para sufi sebelumnya dengan gaya khas ulama Nusantara.
Menurut beliau, tawakkal memiliki empat maqam:
1. Tawakkalul ‘Abd (tawakkal hamba biasa)
→ yakin bahwa Allah penentu rezeki, tapi masih bersandar pada usaha.
2. Tawakkalul Wali (tawakkal para kekasih Allah)
→ meninggalkan harapan dari makhluk, hanya berharap dari Allah.
3. Tawakkalul Arif (tawakkal para arif billah)
→ menyaksikan bahwa tidak ada perbuatan kecuali dari Allah, dan semua makhluk hanyalah perantara.
4. Tawakkalul Muhaqqiq (tawakkal sejati)
→ fana dalam kehendak Allah, tidak lagi memiliki keinginan pribadi, hanya tunduk total pada kehendak Ilahi.
Beliau menulis:
> “Tanda tawakkal sejati ialah tiada gembira ketika diberi, dan tiada sedih ketika diambil. Karena ia tahu, yang memberi dan yang mengambil hanyalah Allah.”
IV. Buah dan Cahaya Tawakkal
Para sufi menegaskan bahwa tawakkal bukan sekadar konsep, tapi maqam (tingkatan ruhani) yang melahirkan:
1. Ketenangan hati (sukun).
2. Ridha terhadap takdir.
3. Keyakinan terhadap jaminan Allah.
4. Kelepasan dari ketergantungan dunia.
5. Kedekatan (qurb) dengan Allah.
Syaikh Abdul Qadir al-Jailani menulis:
> “Tawakkal adalah kunci ketenteraman. Barangsiapa benar tawakkalnya, maka Allah akan mencukupinya tanpa sebab.”
V. Penutup
Tawakkal menurut tasawuf bukan pasrah tanpa usaha, tetapi menyerahkan hasil kepada Allah dengan hati yang tenang, tanpa bergantung kepada makhluk maupun sebab.
🔹 Awalnya tawakkal adalah ilmu.
🔹 Pertengahannya adalah amal dan keadaan hati.
🔹 Akhirnya adalah hakikat: fana dalam kehendak Allah.
---
=========================================================================
Perbedaan antara Tawakkal, Tafwīdh, dan Riḍā
— menurut para ulama besar tasawuf seperti Syaikh Abdul Qadir al-Jailani, Imam al-Ghazali, Syaikh Junaid al-Baghdadi, dan Syaikh Abdus Shamad al-Palimbani.
---
I. Pendahuluan: Tiga Maqam Hati dalam Jalan Tasawuf
Dalam perjalanan ruhani (suluk), para sufi membagi maqam hati menjadi tingkatan yang saling menyempurnakan:
1. Tawakkal (تَوَكُّل) → penyerahan urusan setelah berusaha.
2. Tafwīdh (تَفْوِيض) → penyerahan mutlak urusan kepada Allah tanpa menetapkan kehendak diri.
3. Riḍā (رِضَا) → ketenangan dan kebahagiaan hati terhadap apa pun keputusan Allah.
Ketiga maqam ini ibarat tangga ruhani:
> Tawakkal adalah awal keyakinan, Tafwīdh adalah pertengahan ketenangan, dan Riḍā adalah puncak makrifat.
II. TAWAKKAL – Penyerahan dengan Usaha
Definisi:
Menurut Imam al-Ghazali dalam Ihya’ Ulumuddin:
> “Tawakkal adalah keyakinan hati terhadap jaminan Allah setelah melakukan sebab-sebab yang diperintahkan.”
Sifatnya:
Masih ada ikhtiar (usaha).
Hati tidak bergantung pada sebab, tapi tetap melakukan sebab.
Contoh: engkau makan untuk hidup, tapi tahu bahwa hidupmu bukan dari makanan, melainkan dari kehendak Allah.
Kata Imam al-Ghazali:
> “Tawakkal adalah pintu masuk menuju Tafwīdh.”
Contoh dari Syaikh Abdul Qadir al-Jailani:
> “Tawakkal seperti bayi yang tahu ibunya akan menyusuinya, tapi masih menangis untuk memanggilnya.”
III. TAFWĪDH – Penyerahan Total dan Pasrah Hakiki
Makna:
Tafwīdh berasal dari firman Allah dalam QS. Ghafir: 44:
> “Wa ufawwidu amrī ilallāh, innallāha bashīrun bil ‘ibād.”
“Aku menyerahkan urusanku kepada Allah; sesungguhnya Allah Maha Melihat hamba-hamba-Nya.”
Menurut Syaikh Junaid al-Baghdadi:
> “Tafwīdh adalah tidak menetapkan pilihan bagi dirimu, dan tidak menolak keputusan Allah atasmu.”
Perbedaan dengan Tawakkal:
Aspek Tawakkal Tafwīdh
Sikap terhadap sebab Melakukan sebab tapi tidak bergantung Tidak lagi memandang sebab
Ketergantungan hati Hati percaya Allah mengatur hasil Hati tidak punya kehendak selain kehendak Allah
Contoh batin “Aku serahkan hasilnya pada Allah.” “Aku serahkan urusanku sepenuhnya pada Allah; aku tak memiliki kehendak lagi.”
Pandangan Imam al-Ghazali:
“Tawakkal adalah bersandar pada Allah, sedangkan Tafwīdh adalah berserah sepenuhnya tanpa kehendak pribadi.”
Pandangan Syaikh Abdul Qadir al-Jailani (Futuh al-Ghaib):
“Tawakkal adalah engkau percaya bahwa Allah mengaturmu.
Tafwīdh adalah engkau tidak lagi peduli apakah Dia mengatur dengan memberi atau menahan, sebab engkau telah menyerahkan dirimu seluruhnya.”
IV. RIḌĀ – Kepuasan dan Kebahagiaan dengan Takdir Allah
Makna:
Menurut Imam al-Ghazali:
> “Riḍā adalah tenangnya hati dalam menghadapi hukum Allah, tanpa penentangan sedikit pun, walau pada sesuatu yang dibenci nafsu.”
Menurut Syaikh Abdus Shamad al-Palimbani (Sairus Salikin, Jilid III):
“Riḍā ialah maqam yang lebih tinggi daripada Tafwīdh, karena orang yang ridha tidak hanya menyerahkan diri, tapi juga bersyukur atas segala ketentuan Allah.”
Perbedaan Riḍā dengan Tafwīdh dan Tawakkal:
Maqam Ciri Utama Perasaan Hati
Tawakkal Menyerahkan hasil kepada Allah setelah usaha Tenang tapi masih berharap hasil baik
Tafwīdh Menyerahkan urusan tanpa syarat Pasrah total, tanpa keberatan
Riḍā Menerima dengan senang apa pun keputusan Allah Bahagia dan bersyukur dalam setiap takdir
Syaikh Junaid al-Baghdadi berkata:
> “Riḍā adalah melihat pahitnya takdir sebagai manisnya kasih sayang Allah.”
V. Analogi Sufi
Para sufi memberi perumpamaan halus untuk tiga maqam ini:
1. Tawakkal seperti orang sakit yang percaya kepada tabib, tetapi masih memilih obat.
2. Tafwīdh seperti orang sakit yang menyerahkan sepenuhnya kepada tabib, “obat apa pun terserah padamu.”
3. Riḍā seperti orang sakit yang merasa senang dan tenang bahkan ketika tabib memberinya obat pahit, karena tahu bahwa itu kasih sayang tabib.
VI. Tingkatan Menurut Syaikh Abdus Shamad al-Palimbani
Dalam Sairus Salikin, beliau membagi hubungan ketiga maqam ini sebagai berikut:
1. Tawakkal → Maqam orang awam yang saleh.
2. Tafwīdh → Maqam wali-wali Allah.
3. Riḍā → Maqam ‘arifin billah (orang yang telah mengenal Allah secara batin).
Beliau berkata:
“Barang siapa belum sampai kepada Tafwīdh, maka tawakkalnya masih bercampur dengan kehendak diri; dan barang siapa belum ridha, maka tafwīdh-nya masih disertai rasa berat terhadap takdir.”
VII. Kesimpulan Umum
Maqam Definisi Tanda-Tanda Derajat
Tawakkal Menyerahkan hasil setelah berusaha Tidak bergantung pada sebab Awal
Tafwīdh Menyerahkan seluruh urusan tanpa syarat Tidak memilih atau menolak ketentuan Allah Tengah
Riḍā Senang dan bahagia dengan segala keputusan Allah Tidak ada keluhan, hanya syukur Puncak
VIII. Penutup Ruhani
> Syaikh Abdul Qadir al-Jailani berkata:
“Awal jalan adalah tawakkal, pertengahannya tafwīdh, dan akhirnya riḍā. Barang siapa mencapai riḍā, maka tidak ada lagi duka baginya di dunia maupun di akhirat.”
> Imam al-Ghazali menambahkan:
“Tawakkal adalah kunci rezeki, Tafwīdh adalah kunci ketenangan, dan Riḍā adalah kunci surga batin.”
---
=========================================================================
Hubungan antara Tawakkal, Ma‘rifat, dan Fanā’ — yakni tingkatan ruhani tertinggi dalam jalan tasawuf sebagaimana dijelaskan oleh para sufi besar seperti Syaikh Abdul Qadir al-Jailani, Imam al-Ghazali, Syaikh Junaid al-Baghdadi, dan Syaikh Abdus Shamad al-Palimbani.
I. Pendahuluan: Jalan Ruhani dari Amal ke Hakikat
Perjalanan seorang salik (penempuh jalan Allah) dalam tasawuf tidak berhenti pada amal lahiriah.
Amal (ibadah dan usaha) menjadi pintu menuju maqam hati, sedangkan maqam hati menjadi jalan menuju hakikat dan ma‘rifat.
Urutannya menurut para sufi adalah:
> Tawakkal → Tafwīdh → Riḍā → Ma‘rifat → Fanā’.
Setiap maqam lahir dari kesempurnaan yang sebelumnya. Maka tanpa tawakkal yang benar, seseorang tidak akan sampai pada ma‘rifat, dan tanpa ma‘rifat, tidak akan mencapai fanā’.
II. Hubungan TAWAKKAL dengan MA‘RIFAT
1. Hakikat Ma‘rifat
Secara bahasa, ma‘rifat (المعرفة) berarti pengenalan — yakni mengenal Allah dengan hati, bukan sekadar dengan akal.
Menurut Imam al-Ghazali:
“Ma‘rifat adalah cahaya yang Allah letakkan dalam hati hamba, yang dengannya ia mengenal Dzat-Nya, sifat-Nya, dan perbuatan-Nya.”
Menurut Syaikh Junaid al-Baghdadi:
“Ma‘rifat adalah berdiri hati di hadapan Allah tanpa penghalang.”
2. Bagaimana Tawakkal Menjadi Jalan Menuju Ma‘rifat
Tawakkal melatih hati tidak bergantung kepada makhluk.
Ketika hati hanya bersandar kepada Allah, maka tabir sebab mulai tersingkap.
Dari situ muncullah penyaksian (musyahadah) bahwa semua gerak, rezeki, hidup, dan mati adalah perbuatan Allah semata.
Inilah pintu ma‘rifat: mengenal Allah melalui tindakan-Nya dalam setiap kejadian.
Syaikh Abdul Qadir al-Jailani berkata dalam Futuh al-Ghaib:
“Tawakkal adalah tangga menuju ma‘rifat. Barang siapa bertawakkal dengan benar, Allah akan bukakan mata hatinya hingga ia tidak melihat selain Allah dalam segala sesuatu.”
Imam al-Ghazali menambahkan:
“Tawakkal yang sempurna adalah ketika engkau tidak lagi melihat dirimu sebagai pelaku; dari sinilah ma‘rifat bermula.”
III. Dari MA‘RIFAT menuju FANĀ’
1. Makna Fanā’
Fanā’ (فناء) berarti lenyapnya kesadaran diri dalam kesadaran terhadap Allah.
Bukan berarti hilang secara jasmani, tetapi hilang ego, keinginan, dan penglihatan terhadap selain Allah.
Syaikh Junaid al-Baghdadi mendefinisikan:
“Fanā’ adalah lenyapnya hamba dari dirinya sendiri, dan baqā’ (kekekalan) dengan Allah.”
2. Hubungan Ma‘rifat dan Fanā’
Setelah seseorang mencapai ma‘rifat, ia melihat semua yang terjadi berasal dari Allah — tiada daya, tiada kehendak selain kehendak-Nya.
Maka lenyaplah ego dan kesadaran akan “aku”, dan di situlah fanā’ fi Allah (lenyap dalam Allah).
Menurut Imam al-Ghazali:
“Ketika cahaya ma‘rifat telah memenuhi hati, maka lenyaplah bayangan kehendak diri. Itulah fanā’ yang hakiki.”
3. Hubungan Fanā’ dengan Tawakkal
Tawakkal yang sejati menyiapkan hati untuk fanā’.
Karena:
Tawakkal membunuh rasa “aku yang berbuat”.
Ma‘rifat membuka pandangan bahwa hanya Allah yang berbuat.
Fanā’ menghapus seluruh kesadaran selain Allah.
Syaikh Abdul Qadir al-Jailani berkata:
“Jika tawakkalmu benar, maka engkau tidak akan berkata: aku berusaha.
Jika ma‘rifatmu benar, engkau tidak akan berkata: aku hidup.
Jika fanā’mu benar, engkau tidak akan berkata: aku ada, melainkan hanya Allah yang ada.”
IV. Tingkatan Cahaya Ruhani Menurut Para Sufi
Tingkatan Ciri Hati Keadaan Ruhani Tujuan
Tawakkal Percaya penuh kepada Allah setelah usaha Tenang dan yakin Penyerahan diri
Tafwīdh Tidak memiliki kehendak selain kehendak Allah Pasrah sepenuhnya Kepasrahan total
Riḍā Bahagia dengan semua keputusan Allah Hati damai dalam suka-duka Kebahagiaan batin
Ma‘rifat Mengenal Allah melalui tanda-tanda-Nya Melihat Allah dalam segala sesuatu Kesadaran Ilahi
Fanā’ Lenyapnya ego dan kehendak diri Hanya Allah yang dilihat dan diingat Kesatuan kesadaran dalam Allah
V. Pandangan Syaikh Abdus Shamad al-Palimbani
Dalam Sairus Salikin, beliau menggambarkan hubungan tiga maqam ini dengan indah:
Tawakkal menanam benih keikhlasan,
Tafwīdh menumbuhkan pohon kepasrahan,
Riḍā menumbuhkan buah kesabaran,
Ma‘rifat adalah rasa manis buah itu,
dan Fanā’ adalah tenggelam dalam kenikmatan mengenal Sang Pemiliknya.”
Beliau juga menulis:
“Fanā’ bukan berarti tidak beramal, tapi beramal tanpa melihat amal; bukan berhenti di dunia, tapi hidup bersama Allah di dunia.”
VI. Ciri Orang yang Sudah Sampai pada Fanā’
1. Tidak menganggap dirinya sebagai pelaku apa pun.
2. Tidak bersandar pada sebab, hasil, atau makhluk.
3. Hatinya tenang di setiap keadaan — musibah atau nikmat sama saja baginya.
4. Tidak lagi memandang sesuatu selain Allah; bahkan dalam pandangan makhluk, ia menjadi “sirna dalam Allah”.
Syaikh Abdul Qadir al-Jailani berkata:
“Ketika engkau sudah fana, engkau tidak akan berkata: aku bertawakkal, karena engkau tidak melihat lagi selain Allah yang bertawakkal atas dirimu.”
VII. Penutup: Puncak Jalan Ruhani
Tawakkal adalah awal dari tauhid amali (tauhid dalam perbuatan).
Ma‘rifat adalah tauhid syuhudi (penyaksian).
Fanā’ adalah tauhid dzati (peniadaan selain Allah).
Maka seorang sufi sejati tidak berhenti pada ilmu atau amal, tetapi mencapai penyaksian Ilahi di mana:
“Tiada yang dilihat kecuali Allah,
tiada yang diinginkan kecuali Allah,
tiada yang ada kecuali Allah.”
Sebagaimana firman Allah:
“Dan kepada Allah segala urusan dikembalikan.” (QS. Ali Imran: 109)
----
=========================================================================
“Hubungan antara Tawakkal, Sabar, dan Riḍā terhadap Takdir” (مَقَامُ الصَّبْرِ وَالرِّضَا فِي التَّوَكُّل) — sebagaimana dijelaskan oleh para ulama sufi besar seperti Imam al-Ghazali, Syaikh Abdul Qadir al-Jailani, Syaikh Junaid al-Baghdadi, dan Syaikh Abdus Shamad al-Palimbani.
I. Pendahuluan: Keterkaitan Tiga Maqam Hati
Dalam jalan tasawuf, tawakkal, sabar, dan ridha adalah tiga maqam yang saling terikat dan berurutan.
Ketiganya membentuk tulang punggung akhlak ruhani seorang salik dalam menghadapi ketentuan Allah (qadā’ wa qadar).
🔹 Tawakkal: menyerahkan urusan kepada Allah.
🔹 Sabar: menahan diri dari keluh kesah terhadap ketentuan Allah.
🔹 Riḍā: menerima dan mencintai ketentuan itu dengan hati yang tenang.
Syaikh Abdul Qadir al-Jailani menyebut ketiganya sebagai:
“Jalan tiga serangkai yang membawa hamba kepada kebersamaan dengan Allah.”
II. TAWAKKAL: Menyerahkan Urusan Setelah Usaha
Imam al-Ghazali berkata:
“Tawakkal adalah dasar segala maqam hati, karena ia melahirkan sabar dan ridha.”
Artinya, tanpa tawakkal yang benar, seseorang tidak akan sabar terhadap ujian, dan tidak akan ridha dengan takdir.
Tawakkal menuntut dua kesadaran:
1. Keyakinan terhadap Rububiyah Allah — bahwa hanya Allah yang mengatur.
2. Penafian daya dan upaya diri — bahwa tidak ada kekuatan kecuali dari Allah.
III. SABAR: Buah dari TAWAKKAL
1. Makna Sabar dalam Tasawuf
Secara bahasa, ṣabr berarti “menahan diri.”
Dalam istilah sufi, sabar adalah:
“Menahan diri dari penentangan terhadap takdir Allah, dan menenangkan hati dalam menghadapi ujian.”
Menurut Syaikh Junaid al-Baghdadi:
“Sabar adalah menegakkan adab bersama Allah dalam keadaan susah maupun senang.”
2. Hubungan antara Tawakkal dan Sabar
Tawakkal adalah kepercayaan terhadap Allah.
Sabar adalah manifestasi tawakkal dalam ujian.
Jika seseorang benar tawakkalnya, maka ketika datang ujian, ia tidak gelisah — sebab hatinya sudah yakin bahwa segala sesuatu adalah ketentuan Allah.
Imam al-Ghazali menulis dalam Ihya’ Ulumuddin:
“Tawakkal adalah benih, sabar adalah batangnya, dan ridha adalah buahnya.”
3. Pandangan Syaikh Abdul Qadir al-Jailani
Dalam Al-Fath ar-Rabbani, beliau berkata:
“Sabar adalah sahabat sejati tawakkal.
Barang siapa tawakkalnya benar, maka sabarnya tidak akan habis, meski dunia ditimpa bencana.”
Beliau mencontohkan:
“Seorang mukmin yang bertawakkal, ketika ditimpa musibah, tidak berkata ‘mengapa begini’, tetapi berkata:
‘Qaddarallāhu wa mā syā’a fa‘al’ — Allah telah menakdirkan dan apa yang dikehendaki-Nya pasti terjadi.”
IV. RIḌĀ: Puncak dari TAWAKKAL dan SABAR
1. Makna Riḍā
Riḍā berarti senang dan lapang dada terhadap keputusan Allah, baik yang sesuai keinginan maupun tidak.
Menurut Imam al-Ghazali:
“Riḍā lebih tinggi dari sabar, sebab sabar masih menahan diri dari mengeluh, sedangkan ridha adalah bergembira dengan takdir Allah.”
Syaikh Junaid al-Baghdadi menambahkan:
“Orang yang ridha tidak melihat perbedaan antara nikmat dan musibah, karena keduanya datang dari Kekasihnya.”
2. Hubungan Tiga Maqam: Tawakkal – Sabar – Ridha
Maqam Ciri Ruhani Hubungan dengan Takdir
Tawakkal Menyerahkan hasil dan urusan kepada Allah Percaya pada kebijaksanaan Allah
Sabar Menahan diri dan menjaga adab dalam ujian Menerima takdir dengan keteguhan hati
Riḍā Tenang dan bahagia atas keputusan Allah Menyaksikan kasih sayang Allah dalam segala hal
3. Menurut Syaikh Abdus Shamad al-Palimbani
Dalam Sairus Salikin (Jilid IV), beliau menulis:
“Ketahuilah, bahwa tawakkal adalah maqam orang beriman, sabar adalah maqam orang yang yakin, dan ridha adalah maqam orang yang arif billah.”
Beliau menjelaskan pula tanda-tanda orang yang telah mencapai ridha:
1. Tidak bersedih atas apa yang hilang.
2. Tidak bangga atas apa yang datang.
3. Tidak membeda-bedakan antara pahit dan manisnya dunia.
4. Tidak pernah mempersalahkan takdir Allah.
V. Tingkatan Sabar dan Ridha dalam Tawakkal
1. Sabar dalam tiga hal:
Menurut Imam al-Ghazali, sabar memiliki tiga bentuk:
1. Sabar dalam ketaatan — tekun beribadah meski berat.
2. Sabar dari maksiat — menahan diri dari dosa meski nafsu menginginkan.
3. Sabar dalam musibah — menahan keluh kesah ketika ditimpa ujian.
Ketiga jenis sabar ini semuanya merupakan buah dari tawakkal yang kuat.
2. Riḍā dalam dua bentuk:
1. Riḍā bi qaḍā’ (ridha terhadap keputusan Allah) — menerima segala yang terjadi.
2. Riḍā billāh (ridha kepada Allah sendiri) — mencintai Allah dalam segala keadaan, bukan karena nikmat-Nya.
Syaikh Abdul Qadir al-Jailani berkata:
“Orang yang ridha billāh tidak melihat takdir, tetapi melihat Pemilik takdir.”
VI. Analogi Ruhani Para Sufi
Para sufi memberi perumpamaan indah tentang hubungan tiga maqam ini:
1. Tawakkal seperti orang sakit yang percaya kepada tabib.
2. Sabar seperti orang sakit yang menahan pahitnya obat karena tahu itu demi kesembuhan.
3. Riḍā seperti orang sakit yang merasa senang dan bersyukur saat diberi obat pahit, karena tahu itu cinta dari tabibnya.
VII. Kesimpulan Ruhani
🔸 Tawakkal adalah fondasi iman.
🔸 Sabar adalah benteng dari keputusasaan.
🔸 Riḍā adalah puncak dari tauhid batin.
Ketiganya tidak dapat dipisahkan:
“Barang siapa bertawakkal tanpa sabar, ia tergesa-gesa".
"Barang siapa sabar tanpa tawakkal, ia kehilangan sandaran".
"Barang siapa ridha tanpa keduanya, ia belum mengenal Allah”.
VIII. Penutup
Syaikh Abdul Qadir al-Jailani menutup pembahasan ini dengan kata-kata yang menjadi pedoman ruhani:
“Jadikan tawakkalmu sandaran, sabarmu pakaian, dan ridhamu perhiasan.
Maka engkau akan hidup di bawah naungan ketenteraman Ilahi, meski dunia di sekitarmu berguncang.”
---
=========================================================================
Buah Ruhani dari Tawakkal — Sukun (ketenangan), Yaqin (keyakinan), dan Mahabbah (cinta Ilahi)
Menurut ajaran para sufi besar: Imam al-Ghazali, Syaikh Abdul Qadir al-Jailani, Syaikh Junaid al-Baghdadi, dan Syaikh Abdus Shamad al-Palimbani.
I. Pendahuluan: Dari Maqam ke Hâl Ruhani
Dalam ilmu tasawuf, maqām (tingkatan tetap) seperti tawakkal, sabar, dan ridha adalah stasiun ruhani yang dicapai dengan mujahadah (usaha spiritual).
Sedangkan ahwāl (keadaan ruhani) seperti sukun, yaqīn, dan mahabbah adalah anugerah ilahi (hibah rabbaniyah) yang muncul setelah hati bersih dan tetap dalam tawakkal.
🌸 Maqām diperoleh dengan usaha, sedangkan hâl turun sebagai karunia.
(Imam al-Qusyairi, Risalah Qusyairiyyah)
II. SUKUN (السُّكُون) — Ketenangan Hati dalam Qadha Allah
1. Makna Sukun
Secara bahasa, sukun berarti diam, tenang, tidak terguncang.
Dalam tasawuf, sukun adalah:
“Ketenangan hati dalam menghadapi segala keadaan karena kehadiran Allah di dalamnya.”
Imam al-Ghazali menulis:
“Sukun adalah tanda bahwa tawakkal telah berakar dalam hati.
Orang yang benar tawakkalnya tidak lagi risau dengan dunia dan takdir, sebab ia telah menyerahkan segalanya kepada Pengatur semesta.”
2. Ciri-Ciri Sukun
Menurut Syaikh Abdul Qadir al-Jailani (Futuh al-Ghaib):
1. Tidak goncang ketika nikmat datang atau musibah menimpa.
2. Tidak tergesa-gesa dalam doa dan permintaan.
3. Tenang dalam menunggu pertolongan Allah.
4. Tidak berpaling dari Allah dalam keadaan apapun.
Beliau berkata:
“Sukun adalah permadani di bawah kaki orang yang bertawakkal.
Barang siapa bersabar di atasnya, akan mencium harum rahmat Allah.”
3. Contoh Sukun Para Auliya
Syaikh Junaid al-Baghdadi pernah berkata:
“Sukun hati adalah ketika engkau tidak berubah oleh perubahan dunia, karena engkau menyaksikan Allah di balik setiap peristiwa.”
Syaikh Abdus Shamad al-Palimbani menafsirkan ini dalam Sairus Salikin:
“Inilah maqam orang yang telah sampai pada tuma’ninah, yaitu hati yang tenang karena yakin bahwa tiada sesuatu pun terjadi melainkan dengan izin Allah.”
III. YAQIN (اليَقِين) — Keyakinan Sejati dari Cahaya Tawakkal
1. Hakikat Yaqin
Yaqin adalah cahaya dalam hati yang menyingkap hakikat bahwa semua selain Allah adalah fana dan yang kekal hanya Dia.
Menurut Imam al-Ghazali:
“Yaqin adalah buah dari tawakkal yang sempurna.
Karena orang yang benar-benar bertawakkal tidak lagi menggantungkan diri kepada sebab, tetapi hanya kepada Musabbib (Penyebab segala sebab).”
2. Tingkatan Yaqin
Para sufi membagi yaqin menjadi tiga:
1. ‘Ilmul Yaqin (علم اليقين) – keyakinan berdasarkan ilmu dan dalil.
2. ‘Ainul Yaqin (عين اليقين) – keyakinan karena penyaksian hati (mukasyafah).
3. Haqq al-Yaqin (حق اليقين) – keyakinan karena penyatuan rasa dan pengalaman rohani langsung.
Syaikh Abdul Qadir al-Jailani berkata:
“Haqq al-yaqin adalah ketika engkau tidak lagi melihat sesuatu kecuali Allah yang mengaturnya.”
3. Yaqin sebagai Cahaya Tawhid
Syaikh Junaid al-Baghdadi mengibaratkan:
“Yaqin adalah mata hati orang yang bertawakkal.
Bila hatinya telah yakin, ia tidak lagi melihat keraguan dalam takdir, sebab segala sesuatu adalah ayat (tanda) dari Allah.”
Syaikh Abdus Shamad al-Palimbani menambahkan:
“Apabila yaqinnya telah sempurna, maka hilanglah rasa takut, resah, dan sedih — karena semuanya kembali kepada Allah.”
IV. MAHABBAH (المَحَبَّةُ) — Cinta Ilahi sebagai Puncak Tawakkal
1. Hakikat Mahabbah
Mahabbah adalah cinta yang muncul dari pengenalan (ma‘rifah).
Cinta kepada Allah tumbuh ketika hati mengenal-Nya, menyerahkan diri kepada-Nya, dan ridha dengan segala keputusan-Nya.
Imam al-Ghazali:
“Cinta adalah buah dari ma’rifah, dan ma’rifah lahir dari tawakkal yang murni.”
2. Mahabbah sebagai Buah Tawakkal
Syaikh Abdul Qadir al-Jailani berkata dalam Futuh al-Ghaib:
“Ketika engkau telah bertawakkal kepada Allah sepenuhnya, maka engkau akan merasakan manisnya kedekatan.
Dari kedekatan itu lahirlah cinta yang membakar segala cinta selain-Nya.”
Cinta sejati ini disebut:
Mahabbah Ilahiyyah — cinta yang tidak bergantung pada nikmat atau ujian.
3. Tanda Orang yang Mencapai Mahabbah
Menurut Syaikh Junaid al-Baghdadi:
“Tanda orang yang mencintai Allah adalah ketika ia tidak melihat sesuatu pun yang lebih indah dari ketetapan-Nya.”
Dan menurut Syaikh Abdus Shamad al-Palimbani:
“Cinta kepada Allah menjadikan pahit terasa manis, berat terasa ringan, dan jauh terasa dekat.”
V. Hubungan Tiga Buah Ruhani Ini
Buah Ruhani Asal dari Maqam Pengaruh pada Hati
Sukun Buah dari Tawakkal dan Sabar Menenangkan jiwa dari guncangan dunia
Yaqin Buah dari Tawakkal dan Ma’rifah Menyingkap hakikat keesaan Allah
Mahabbah Buah dari Tawakkal dan Ridha Menjadikan hati tenggelam dalam cinta Ilahi
VI. Gambaran Perjalanan Ruhani (Ringkasan dari Syaikh Abdul Qadir al-Jailani)
1. Tawakkal — melepaskan diri dari daya dan upaya.
2. Sabar — menerima ujian dengan lapang.
3. Ridha — bersyukur atas takdir Allah.
4. Sukun — hati menjadi tenang.
5. Yaqin — mata hati terbuka.
6. Mahabbah — hati menyatu dengan kehendak Allah.
“Barang siapa bertawakkal dengan benar, ia akan sabar."
"Barang siapa sabar, ia akan ridha."
"Barang siapa ridha, ia akan sukun."
"Barang siapa sukun, ia akan yakin."
"Barang siapa yakin, ia akan cinta.”
(Syaikh Abdul Qadir al-Jailani)
VII. Penutup: Kedamaian Sejati Orang Bertawakkal
Syaikh Abdus Shamad al-Palimbani menutup bahasan ini dengan kalimat:
“Tawakkal adalah pintu menuju kebersamaan dengan Allah.
Dan buahnya adalah sukun dalam zikir, yaqīn dalam tauhid, dan mahabbah dalam hati.”
Imam al-Ghazali menulis dalam Ihya’:
“Tidak ada ketenangan yang lebih besar daripada hati yang berserah diri kepada Allah.
Ia hidup dalam dunia, tapi hatinya berada di sisi Tuhannya.”
----
=========================================================================
Bab IX: “Bahaya Palsu dalam Tawakkal — antara Kepasrahan Sejati dan Kemalasan yang Terselubung”
(Suatu pembahasan penting dalam ilmu tasawuf amali, sebagaimana dijelaskan oleh para sufi seperti Imam al-Ghazali, Syaikh Abdul Qadir al-Jailani, Syaikh Junaid al-Baghdadi, dan Syaikh Abdus Shamad al-Palimbani).
---
I. Pendahuluan: Tawakkal yang Benar vs Tawakkal yang Palsu
Dalam perjalanan ruhani, banyak orang mengira dirinya bertawakkal, padahal sebenarnya ia sedang menutupi kemalasannya dengan nama tawakkal.
Para ulama sufi menyebut ini sebagai tawakkal al-muda‘ayyīn — “tawakkal orang yang berpura-pura”.
> Imam al-Ghazali berkata:
> “Berapa banyak orang meninggalkan usaha dengan alasan tawakkal, padahal hatinya masih terikat pada dunia. Itulah penipuan terhadap diri sendiri, bukan tawakkal.”
---
II. Hakikat Tawakkal yang Sebenarnya
1. Definisi menurut Imam al-Ghazali
Dalam Ihya’ Ulumuddin, beliau menjelaskan:
“Tawakkal adalah ketenangan hati terhadap jaminan Allah setelah seseorang menunaikan sebab-sebab yang diizinkan oleh syariat.”
Artinya:
Tawakkal bukan berarti meninggalkan usaha,
tetapi berusaha dalam batas syariat, lalu berserah kepada Allah dalam hasilnya.
2. Perumpamaan dari para sufi
Syaikh Junaid al-Baghdadi memberi perumpamaan indah:
“Tawakkal itu seperti seseorang yang menanam biji, lalu menyerahkan tumbuhnya kepada Allah.
Tetapi orang yang tidak menanam, lalu menunggu buah, bukanlah orang bertawakkal, melainkan orang yang berangan-angan.”
3. Syaikh Abdul Qadir al-Jailani menegaskan:
“Tawakkal bukan berarti duduk tanpa gerak, tetapi hati tidak bergantung pada gerak itu.”
Beliau melanjutkan:
“Siapa yang meninggalkan sebab padahal mampu melakukannya, maka ia menentang hikmah Allah.
Tetapi siapa yang bergantung pada sebab, maka ia syirik terhadap hikmah Allah.”
Inilah keseimbangan sejati dalam jalan sufi:
“Ambil sebab dengan tanganmu, tapi lepaskan hasilnya dari hatimu.”
III. TANDA-TANDA TAWAKKAL PALSU
Menurut Imam al-Ghazali dan Syaikh Abdus Shamad al-Palimbani (Sairus Salikin, jilid IV), ada beberapa ciri yang menunjukkan tawakkal seseorang masih palsu atau belum murni:
1. Menuntut hasil sebelum waktunya
➡️ Orang seperti ini berkata:
“Mengapa Allah belum mengabulkan doaku?”
Padahal tawakkal sejati tidak menuntut hasil, hanya menerima ketetapan.
2. Meninggalkan usaha yang disyariatkan
➡️ Seperti tidak bekerja, tidak menuntut ilmu, tidak berobat dengan alasan “Allah yang menyembuhkan.”
Padahal Nabi ﷺ sendiri berobat dan berusaha, lalu bersabda:
> “Ikatlah untamu, lalu bertawakkallah.” (HR. Tirmidzi)
3. Bergantung kepada makhluk, tapi menyebut nama Allah
➡️ Misalnya mengatakan “saya tawakkal kepada Allah”, tapi hatinya masih berharap pada bantuan manusia atau harta.
Syaikh Abdul Qadir al-Jailani menyebut ini:
“Tawakkal di lidah, tapi ta’alluq (ketergantungan) di hati.”
4. Mengeluh atas ketentuan Allah
➡️ Orang yang sering mengeluh terhadap takdir tapi mengaku “bertawakkal” — itu tanda bahwa tawakkalnya hanya di ucapan, bukan di hati.
IV. TAWAKKAL YANG HAKIKI MENURUT PARA SUFI
1. Menurut Imam al-Ghazali
Tawakkal yang hakiki terdiri dari tiga unsur:
1. Ma’rifah (pengenalan) terhadap Rububiyah Allah,
2. Tatsabbut (keteguhan) dalam hati tanpa guncang,
3. Sukun (ketenangan) dalam menunggu keputusan Allah.
2. Menurut Syaikh Abdul Qadir al-Jailani
Dalam Al-Fath ar-Rabbani, beliau menulis:
“Tawakkal hakiki adalah engkau tidak menuduh Rabbmu dalam takdir-Nya, dan engkau tidak meninggalkan sebab-sebab yang diperintahkan-Nya.”
3. Menurut Syaikh Junaid al-Baghdadi
“Tawakkal sejati ialah bebasnya hati dari kebergantungan pada selain Allah, meski badan masih bekerja dalam sebab.”
4. Menurut Syaikh Abdus Shamad al-Palimbani
Beliau menulis dalam Sairus Salikin:
“Tawakkal yang benar adalah seperti seorang bayi di tangan ibunya — tidak tahu apa pun, tetapi sepenuhnya percaya bahwa ibunya tidak akan menelantarkannya.
Namun bayi itu tetap menangis saat lapar, bukan duduk diam tanpa usaha — demikian pula seorang salik berdoa dan berusaha.”
V. JALAN MENUJU TAWAKKAL MURNI
Para ulama sufi mengajarkan tiga langkah penyucian hati untuk mencapai tawakkal yang benar:
1. Takhalli (pengosongan)
Membersihkan hati dari kebergantungan pada makhluk, harta, atau kekuasaan.
Ini dilakukan dengan zikir, muhasabah, dan zuhud.
2. Tahalli (pengisian)
Menghiasi hati dengan keyakinan akan Rububiyah Allah — bahwa segala sesuatu berjalan dengan ilmu dan kehendak-Nya.
3. Tajalli (penyingkapan)
Ketika cahaya tauhid menyinari hati, maka lenyaplah rasa cemas dan takut terhadap sebab-sebab dunia.
Inilah maqam di mana tawakkal menjadi murni — bukan teori, tapi keadaan jiwa.
VI. PERBEDAAN ANTARA “TAWAKKAL” DAN “TAWAHHUL”
Syaikh Abdul Qadir al-Jailani membedakan dua hal penting:
Istilah Arti Hasil Ruhani
Tawakkal (تَوَكُّل) Berserah diri setelah berusaha sesuai syariat Melahirkan ketenangan dan keyakinan
Tawahhul (تَوَهُّل) Meninggalkan sebab dengan alasan tawakkal Melahirkan kemalasan dan kebodohan
Beliau menegaskan:
“Tawakkal tanpa ilmu adalah tawahhul (kebodohan yang berselimut agama).”
VII. KISAH SUFI: UJIAN TAWAKKAL SEJATI
Dikisahkan dalam Risalah Qusyairiyyah, Syaikh Abu Hafs an-Naisaburi pernah berkata kepada muridnya:
“Jika engkau mengaku bertawakkal, maka tetaplah bekerja.
Sebab tawakkal bukan berarti duduk, tapi menegakkan adab di hadapan Allah.”
Seorang murid menjawab, “Aku tidak akan bekerja lagi, sebab Allah yang memberi rezeki.”
Syaikh Abu Hafs menegurnya:
“Jika engkau meninggalkan usaha, berarti engkau menuduh Allah tidak meletakkan hikmah dalam sebab.”
VIII. TANDA TAWAKKAL SEJATI
Menurut Imam al-Ghazali dan Syaikh Abdus Shamad al-Palimbani, tanda-tanda orang yang benar tawakkalnya ada empat:
1. Tidak bergantung pada makhluk.
2. Tidak mengeluh terhadap takdir.
3. Tenang dalam kesempitan.
4. Bersyukur dalam kelapangan.
🌸 “Siapa yang mengenal Allah, tidak lagi resah terhadap makhluk.”
(Syaikh Abdul Qadir al-Jailani)
IX. PENUTUP: TAWAKKAL SEBAGAI KEMURNIAN TAUHID
Pada akhirnya, tawakkal sejati bukan sekadar sikap, melainkan manifestasi tauhid yang murni.
Imam al-Ghazali menutup: “Tawakkal adalah buah dari keyakinan bahwa tiada pengatur selain Allah.
Maka siapa yang mengaku bertawakkal tapi masih takut kehilangan sebab, berarti belum mengenal Tuhan.”
Dan Syaikh Abdus Shamad al-Palimbani menyimpulkan:
“Tawakkal adalah menegakkan tauhid dalam amal, sabar dalam ujian, ridha dalam ketetapan, dan cinta dalam penyerahan.”
----
========================================================================
Bab X: “Rahasia Tawakkal Para Nabi dan Wali — dari Nabi Ibrahim, Rasulullah ﷺ, hingga para Auliya”,
yaitu pembahasan tentang contoh nyata tawakkal sejati dalam kehidupan para kekasih Allah, sebagaimana dijelaskan oleh para ulama sufi besar seperti Imam al-Ghazali, Syaikh Abdul Qadir al-Jailani, Syaikh Junaid al-Baghdadi, dan Syaikh Abdus Shamad al-Palimbani.
I. Pendahuluan: Teladan Tawakkal dalam Jalan Kenabian
Setiap Nabi adalah imam dalam tawakkal, karena mereka mengajarkan bahwa usaha adalah ibadah, dan hasilnya adalah takdir Allah.
Para wali kemudian mewarisi maqam tawakkal ini, menjadikannya sebagai cermin kebergantungan total kepada Allah.
🌿 “Maka bertawakkallah kepada Allah, sesungguhnya engkau berada di atas kebenaran yang nyata.”
(QS. An-Naml: 79)
II. TAWAKKAL NABI IBRAHIM عَلَيْهِ السَّلَام
1. Ketika Dilempar ke Api
Kisah paling agung tentang tawakkal adalah ketika Nabi Ibrahim dilempar ke dalam api oleh Raja Namrud.
Malaikat Jibril datang berkata:
“Apakah engkau menginginkan pertolonganku, wahai Ibrahim?”
Beliau menjawab:
“Aku tidak butuh kepadamu, tapi kepada Allah aku bertawakkal.”
Maka Allah berfirman:
“Wahai api, jadilah dingin dan keselamatan bagi Ibrahim.” (QS. Al-Anbiya: 69)
🌸 Pelajaran Tasawuf:
Imam al-Ghazali menulis:
“Inilah puncak tawakkal — ketika sebab sudah tidak berfungsi, namun hati tetap tenang kepada Allah.”
Syaikh Abdul Qadir al-Jailani menjelaskan:
“Tawakkal Ibrahim bukan karena ia tidak takut kepada api, tapi karena ia menyaksikan api tidak memiliki kuasa kecuali dengan izin Allah.”
2. Ketika Meninggalkan Hajar dan Ismail
Ibrahim meninggalkan Hajar dan bayi Ismail di padang tandus, lalu berdoa:
“Aku tinggalkan keluargaku di lembah yang tidak ada tanaman agar mereka menegakkan salat.”
(QS. Ibrahim: 37)
Beliau tidak meninggalkan mereka karena lalai, tetapi karena yakin rezeki mereka dijamin oleh Rabb al-‘Alamin.
“Tawakkal Ibrahim adalah keyakinan bahwa janji Allah lebih kuat daripada penglihatan mata.”
(Syaikh Abdus Shamad al-Palimbani, Sairus Salikin)
III. TAWAKKAL NABI MUSA عَلَيْهِ السَّلَام
Ketika dikejar oleh Fir’aun di tepi laut, kaumnya berkata:
“Kita pasti tersusul!”
Namun Musa menjawab dengan mantap: “Sekali-kali tidak! Sesungguhnya Tuhanku bersamaku, Dia akan memberi petunjuk kepadaku.” (QS. Asy-Syu‘ara: 61-62)
Lalu laut terbelah.
🌸 Pelajaran Tasawuf:
Imam al-Ghazali berkata:
“Orang yang bertawakkal tidak menilai keadaan dengan mata kepala, tapi dengan cahaya yakin dalam hati.”
Syaikh Abdul Qadir al-Jailani menegaskan:
“Musa tidak menunggu laut terbelah untuk yakin, tapi yakinlah yang membuat laut itu terbelah.”
IV. TAWAKKAL NABI MARYAM عَلَيْهَا السَّلَام
Ketika melahirkan Isa ‘alaihis-salam seorang diri di bawah pohon kurma, Allah berfirman:
“Goyangkan batang kurma itu, niscaya ia akan menggugurkan buah yang masak kepadamu.”
(QS. Maryam: 25)
Padahal Maryam lemah dan sendirian — namun Allah tetap memerintahnya untuk berusaha (goyangkan).
🌸 Pelajaran Tasawuf:
Imam al-Ghazali menjelaskan:
“Tawakkal tidak berarti pasif. Maryam diminta menggoyang pohon bukan karena tenaga itu penting, tetapi karena Allah mencintai sebab-sebab.”
V. TAWAKKAL RASULULLAH ﷺ
1. Dalam Hijrah ke Madinah
Ketika Rasulullah ﷺ dan Abu Bakar bersembunyi di Gua Tsur, Abu Bakar berkata takut karena musuh sudah hampir tiba.
Nabi ﷺ bersabda:
“Jangan bersedih, sesungguhnya Allah bersama kita.”
(QS. At-Taubah: 40)
🌸 Pelajaran Ruhani:
Imam al-Ghazali menyebut ini sebagai tawakkal yang sempurna dalam amal, karena Rasulullah tidak hanya berserah, tetapi bersembunyi, berhijrah, dan berstrategi — semua dalam bimbingan Allah.
“Beliau berusaha seperti orang yang tidak percaya pada takdir, tetapi hatinya yakin pada takdir seperti orang yang tidak berusaha.” (Ihya’ Ulumuddin)
2. Dalam Perang Badar
Rasulullah ﷺ mempersiapkan pasukan, mengatur barisan, dan berdoa hingga jubahnya jatuh dari bahu.
Lalu Allah menurunkan malaikat membantu beliau.
🌸 Pelajaran:
Syaikh Abdul Qadir al-Jailani menafsirkan:
“Inilah keseimbangan antara usaha dan tawakkal:
Rasulullah berperang dengan seluruh kekuatan, tetapi kemenangan tidak disandarkan pada pedang — melainkan pada pertolongan Allah.”
3. Dalam Kehidupan Sehari-hari
Beliau mengajarkan doa:
“Hasbiyallāhu lā ilāha illā Huwa, ‘alaihi tawakkaltu wa Huwa Rabbul ‘Arsyil ‘Azhīm.”
(QS. At-Taubah: 129)
Dan sabda beliau:
“Seandainya kalian bertawakkal kepada Allah dengan sebenar-benarnya tawakkal, niscaya kalian akan diberi rezeki seperti burung:
pagi-pagi keluar dengan perut kosong, dan pulang dengan perut kenyang.” (HR. Tirmidzi)
🌸 Artinya: burung tetap terbang mencari rezeki, bukan diam di sarang — inilah tawakkal hakiki.
VI. TAWAKKAL PARA WALI DAN AULIYA
1. Syaikh Abdul Qadir al-Jailani
Beliau pernah berkata:
“Aku tidak pernah khawatir akan rezekiku sejak aku mengenal Allah, karena aku tahu Allah tidak pernah lalai.”
Dalam Futuh al-Ghaib, beliau menulis:
“Jika engkau menyerahkan diri kepada Allah seperti bayi di pelukan ibunya, maka engkau akan hidup tanpa takut kehilangan.”
Namun beliau tetap berusaha, mengajar, berdakwah, dan memberi makan orang miskin — karena baginya, usaha adalah ibadah, bukan tanda kurang tawakkal.
2. Syaikh Junaid al-Baghdadi
Beliau berkata:
“Aku telah bertawakkal selama 30 tahun, dan aku tidak pernah menuntut dari Allah apa pun, sebab aku yakin Allah lebih tahu apa yang terbaik bagiku.”
Syaikh Junaid dikenal bekerja sebagai penenun kain, bukan mengemis.
Ketika ditanya mengapa masih bekerja jika sudah bertawakkal, beliau menjawab:
“Aku tidak bekerja untuk mencari rezeki, tapi untuk menegakkan adab dengan Allah.”
3. Syaikh Abdus Shamad al-Palimbani
Dalam Sairus Salikin, beliau menulis:
“Tawakkal para wali adalah buah dari ma’rifah.
Mereka bekerja di bumi, tetapi hati mereka bersemayam di langit — tidak bergantung pada sebab, namun tidak menolak sebab.”
Beliau mencontohkan:
“Seperti ikan di laut — air mengelilinginya, tapi tidak masuk ke dalam tubuhnya.
Begitulah hati orang yang bertawakkal — berada di tengah sebab dunia, tapi tidak tenggelam di dalamnya.”
VII. Intisari Ruhani dari Tawakkal Para Nabi dan Wali
Tokoh Bentuk Tawakkal Rahasia Ruhani
Ibrahim a.s. Menyerah total tanpa takut Menyaksikan kekuasaan Allah di balik api
Musa a.s. Keyakinan teguh dalam kesempitan Cahaya yaqīn mengalahkan pandangan dunia
Maryam a.s. Usaha dalam kelemahan Sebab adalah adab di hadapan Allah
Rasulullah ﷺ Keseimbangan antara usaha & tawakkal Sempurna dalam adab dan tauhid
Wali Allah Ketergantungan hati semata-mata kepada Allah Menyatu antara ikhtiar dan penyerahan
VIII. Penutup
Syaikh Abdul Qadir al-Jailani menutup dengan nasihat:
“Tawakkal bukan berarti menyerah tanpa gerak, tapi hidup dalam gerak yang sepenuhnya diserahkan kepada Allah.
Engkau bergerak dengan tanganmu, tetapi hati tidak pernah keluar dari penjagaan-Nya.”
Dan Imam al-Ghazali menulis:
“Ketika tawakkal telah sempurna, dunia tidak lagi mengguncangmu, sebab engkau tidak lagi bergantung pada dunia.
Engkau berjalan di bumi, tapi hatimu bergantung di langit rahmat Allah.”
---
=========================================================================
Bab XI: “Tawakkal dan Ma‘rifat — Jalan Ruhani Menuju Pengenalan Hakiki kepada Allah”.
Bab ini menjelaskan hubungan antara tawakkal dan ma‘rifatullah (pengenalan hakiki terhadap Allah), sebagaimana diajarkan oleh Imam al-Ghazali, Syaikh Abdul Qadir al-Jailani, Syaikh Junaid al-Baghdadi, dan Syaikh Abdus Shamad al-Palimbani.
I. Hakikat Hubungan antara Tawakkal dan Ma‘rifat
Para sufi sepakat bahwa tawakkal adalah buah dari ma‘rifat, dan ma‘rifat adalah akar dari tawakkal.
Artinya:
Orang tidak akan bisa benar-benar bertawakkal kecuali ia mengenal siapa Allah yang menjadi tempatnya bersandar.
Sebaliknya, tawakkal yang sungguh-sungguh akan membukakan pintu ma‘rifat kepada Allah.
🌿 “Barangsiapa mengenal Tuhannya, ia akan menyerahkan seluruh urusannya kepada-Nya.”
— Syaikh Junaid al-Baghdadi
Imam al-Ghazali dalam Ihya’ Ulumuddin menulis:
“Tawakkal adalah keadaan hati setelah ma‘rifat.
Barangsiapa mengenal sifat rububiyyah Allah — bahwa Allah yang memberi, menahan, mengatur, dan menentukan — maka ia pasti menyerahkan dirinya sepenuhnya kepada Allah.”
II. Ma‘rifatullah: Menyaksikan Rububiyyah Allah
Menurut Imam al-Ghazali, ma‘rifatullah berarti menyaksikan Allah dalam setiap sebab dan akibat.
Ketika hati sampai pada cahaya ma‘rifat, maka ia menyadari:
1. Bahwa tidak ada daya dan upaya selain dari Allah (la hawla wa la quwwata illa billah).
2. Bahwa setiap nikmat, rezeki, dan musibah adalah dalam genggaman Allah.
3. Bahwa makhluk hanyalah perantara (asbab), bukan pemberi manfaat hakiki.
Maka dari pengenalan ini tumbuh tawakkal sejati, sebab hati tidak lagi bersandar kepada makhluk atau sebab duniawi.
Syaikh Abdus Shamad al-Palimbani dalam Sairus Salikin menjelaskan:
“Tawakkal yang lahir dari ma‘rifat adalah seperti seorang hamba yang melihat Allah bekerja pada setiap gerak dan diamnya,
sehingga tidak lagi memandang makhluk sebagai sumber, tetapi cermin perbuatan Allah.”
III. Tiga Tingkatan Ma‘rifat dalam Hubungan dengan Tawakkal
1. Ma‘rifat ‘Ilmiyyah (pengetahuan rasional)
Ini tingkat ma‘rifat para penuntut ilmu — mengenal Allah melalui dalil dan hujjah.
Tawakkalnya masih bersandar pada keyakinan akal, belum sepenuhnya pada rasa hati.
🕊️ Contoh: Ia tahu bahwa Allah Maha Memberi rezeki, tapi masih cemas jika kehilangan pekerjaan atau harta.
➡️ Tawakkalnya disebut: “tawakkal orang awam.”
2. Ma‘rifat Dzauqiyyah (pengenalan rasa)
Ini tingkat para salik (penempuh jalan tasawuf).
Ia tidak hanya mengetahui, tetapi merasakan bahwa segala sesuatu berasal dari Allah.
Dalam dirinya tumbuh rasa tenang, ridha, dan tidak terguncang oleh sebab dunia.
🕊️ Contoh: Ia berusaha mencari rezeki, tapi tidak gundah jika gagal — karena yakin Allah punya jalan lain.
➡️ Tawakkalnya disebut: “tawakkal orang khawas (pilihan).”
3. Ma‘rifat Syuhūdiyyah (penyaksian ruhani)
Ini tingkat tertinggi, milik para arif billah.
Mereka menyaksikan bahwa tidak ada yang bekerja di alam semesta ini selain Allah.
Mereka tidak lagi melihat sebab dan akibat sebagai sesuatu yang terpisah dari Kehendak-Nya.
🕊️ Contoh: Bagi mereka, lapar, kenyang, sakit, sehat, kaya, miskin — semuanya tajalliyat Allah, penampakan sifat-sifat-Nya di dunia.
➡️ Tawakkalnya disebut: “tawakkal al-‘ārifīn (tawakkal para wali dan kekasih Allah).”
IV. Penjelasan Para Ulama Sufi tentang Hubungan Tawakkal dan Ma‘rifat
1. Imam al-Ghazali
“Tawakkal lahir dari ma‘rifat tentang keesaan Allah dalam mengatur segala urusan.
Barangsiapa mengenal Allah sebagai Pengatur, ia tidak akan lagi bergantung pada makhluk.”
Beliau menggambarkan hati orang yang bertawakkal seperti bayi yang sepenuhnya menyerah di pangkuan ibunya — tidak tahu dari mana susu datang, tapi yakin ia akan kenyang.
2. Syaikh Abdul Qadir al-Jailani
Dalam Futuh al-Ghaib, beliau berkata:
“Ketika engkau mengenal Allah, engkau akan menyadari bahwa hanya Dia yang memiliki, mengatur, dan menahan.
Maka tawakkalmu menjadi ibadah, bukan sekadar pengharapan.”
Dan beliau menegaskan:
“Orang yang bertawakkal tanpa ma‘rifat hanyalah seperti orang buta berjalan di jalan licin — bisa jatuh setiap saat.
Tapi orang yang bertawakkal dengan ma‘rifat bagaikan orang yang melihat terang di tengah gelap.”
3. Syaikh Junaid al-Baghdadi
Beliau berkata:
“Tawakkal adalah buah dari keyakinan, dan keyakinan adalah buah dari ma‘rifat.”
“Apabila ma‘rifat bertambah, maka tawakkal bertambah kuat.
Jika ma‘rifat hilang, maka tawakkal pun rapuh.”
Syaikh Junaid menjelaskan, ma‘rifat membuat seorang hamba malu berharap kepada selain Allah, sebab ia menyaksikan bahwa selain Allah tidak memiliki apa-apa.
4. Syaikh Abdus Shamad al-Palimbani
Beliau menulis dalam Sairus Salikin:
“Tawakkal itu tiang dari maqam ma‘rifat.
Barangsiapa tidak sempurna tawakkalnya, tidak akan terbuka baginya pintu ma‘rifat.
Sebab tawakkal adalah tanda fana-nya kehendak diri di hadapan kehendak Allah.”
Maknanya: Ketika seseorang sudah tidak menggantungkan harapan kepada dirinya sendiri, maka hijab antara dirinya dan Allah mulai tersingkap — di situlah nur ma‘rifat menyinari hatinya.
V. Tanda Hati yang Sudah Bertawakkal dan Mengenal Allah
Menurut para sufi, ada tanda-tanda hati yang sudah mencapai maqam tawakkal-ma‘rifat, yaitu:
1. Tenang dalam setiap keadaan, baik lapang maupun sempit.
2. Tidak gundah dengan sebab dunia, karena tahu Allah yang menentukan hasil.
3. Ridha terhadap takdir Allah, tidak mengeluh walau diuji.
4. Tidak bergantung kepada makhluk, tapi tetap beradab kepada mereka.
5. Merasa cukup dengan Allah (qana‘ah) — karena yakin Allah adalah Al-Kafi (Yang Maha Cukup).
6. Hatinya penuh syukur dan sabar, sebab ia tahu semua dari Allah adalah kebaikan.
🌿 “Jika Allah ada di hatimu, maka hilanglah semua ketakutanmu dari dunia.”
— Syaikh Abdul Qadir al-Jailani
VI. Penutup: Jalan Menuju Ma‘rifat Melalui Tawakkal
Tawakkal sejati bukanlah berhenti berusaha, tetapi menyucikan hati dari kebergantungan pada hasil usaha.
Ketika seorang hamba mencapai maqam ini, maka Allah membukakan rahasia ma‘rifat kepadanya.
“Barangsiapa bertawakkal kepada Allah, maka Allah akan cukup baginya.”
(QS. At-Talaq: 3)
Dan Syaikh Abdus Shamad al-Palimbani menutup bab tawakkal dalam Sairus Salikin dengan kalimat:
“Apabila telah sempurna tawakkalmu, maka engkau tidak akan merasa sendirian walau di tengah kesendirian, sebab engkau telah bersama dengan Allah Yang Maha Esa.”
---
=========================================================================
Bab XII: “Fana dalam Tawakkal — Lenyapnya Kehendak Hamba dalam Kehendak Allah”,
yaitu puncak tertinggi dari perjalanan ruhani seorang salik dalam maqam tawakkal menurut para sufi besar — terutama Imam al-Ghazali, Syaikh Abdul Qadir al-Jailani, Syaikh Junaid al-Baghdadi, dan Syaikh Abdus Shamad al-Palimbani.
I. Makna “Fana dalam Tawakkal”
Kata fana (فناء) berarti “lenyap”, “sirna”, atau “hilang”.
Dalam istilah tasawuf, fana fi at-tawakkal berarti lenyapnya kehendak pribadi (irādah al-nafs) dalam kehendak Allah (irādah Allah).
Artinya:
Seorang hamba tidak lagi bertawakkal karena “keinginannya untuk menyerah”,
tetapi karena tidak ada lagi kehendak dirinya selain kehendak Allah yang hidup dalam dirinya.
Imam al-Ghazali menulis:
“Tawakkal yang sempurna adalah ketika hamba tidak lagi memilih bagi dirinya.
Apa yang Allah kehendaki baginya, itulah yang ia cintai, itulah yang ia ridai.”
(Ihya’ Ulumuddin, Kitab at-Tawakkul wa at-Tafwidh)
II. Tiga Tahapan Menuju Fana dalam Tawakkal
1. Tafwīdh (Penyerahan Total)
Ini tahap pertama dari fana.
Hamba menyerahkan segala urusan kepada Allah, tetapi masih menyadari dirinya sebagai penyerah.
🌿 “Aku serahkan urusanku kepada Allah.” (QS. Ghafir: 44)
Syaikh Junaid al-Baghdadi berkata:
“At-tafwīdh lebih tinggi dari tawakkal, karena tawakkal masih melihat diri yang bersandar,
sedangkan tafwīdh tidak lagi melihat diri, hanya melihat Allah yang mengatur.”
Contoh:
Seorang salik berkata dalam hatinya,
“Ya Allah, aku serahkan semuanya kepada-Mu, karena aku tidak mampu mengatur hidupku.”
2. Taslīm (Kerelaan Sepenuh Jiwa)
Tahap ini lebih dalam.
Hamba tidak hanya menyerahkan, tapi rela dan tenang atas semua yang Allah putuskan — baik yang sesuai harapan maupun tidak.
Syaikh Abdul Qadir al-Jailani menulis:
“Tawakkalmu belum sempurna selama engkau masih merasa sedih atas yang engkau tidak dapatkan,
dan gembira berlebihan atas yang engkau raih.
Orang yang fana dalam tawakkal tetap tenang, karena yang datang dan yang pergi sama-sama dari Allah.”
Contoh:
Ketika kehilangan sesuatu yang dicintai, ia berkata dengan hati lapang:
“Inna lillahi wa inna ilaihi raji‘un — aku milik Allah, dan kepada-Nya aku kembali.”
3. Fana (Lenyapnya Kehendak)
Tahap tertinggi — ketika kehendak hamba lenyap dalam kehendak Allah.
Ia tidak lagi mengatakan “Aku bertawakkal”, karena “aku”-nya sudah tidak ada lagi.
Yang ada hanyalah Allah yang menghendaki, memberi, menahan, dan menuntun.
🌿 “Dan kamu tidak dapat menghendaki sesuatu kecuali bila dikehendaki oleh Allah, Tuhan semesta alam.” (QS. At-Takwir: 29)
Syaikh Abdus Shamad al-Palimbani menjelaskan:
“Inilah maqam fana dalam tawakkal — di mana hamba telah menafikan segala daya dirinya,
dan menetapkan hanya daya Allah.
Ia hidup dalam ketenangan yang mutlak, karena ia menyaksikan Allah dalam setiap hal.”
III. Ciri-ciri Orang yang Telah Fana dalam Tawakkal
Menurut Imam al-Ghazali dan para sufi besar, tanda-tanda orang yang telah mencapai maqam ini antara lain:
1. Tidak punya keinginan pribadi.
Ia tidak berharap selain apa yang Allah kehendaki.
Segala kehendaknya sudah menyatu dalam kehendak Rabb-nya.
2. Tidak gembira dengan dunia, tidak sedih dengan kehilangan.
Karena ia tahu, yang memberi dan yang mengambil adalah Zat yang sama.
3. Tenang di bawah takdir Allah seperti mayat di tangan orang yang memandikannya.
Ini adalah perumpamaan Syaikh Junaid al-Baghdadi:
“Orang yang fana dalam tawakkal adalah seperti jenazah di tangan tukang mandi.
Ia dibalik ke kiri dan ke kanan tanpa kehendak sendiri.”
4. Segala gerak hatinya diatur oleh Allah.
Ia tidak lagi melawan, menuntut, atau mengeluh — sebab ia sudah menyaksikan bahwa segala sesuatu datang dari Yang Maha Lembut.
IV. Penjelasan Para Sufi Tentang Fana dalam Tawakkal
1. Imam al-Ghazali
Dalam Ihya’ Ulumuddin beliau menulis:
“Hakikat tawakkal adalah ketika engkau tidak lagi melihat dirimu memiliki kekuatan.
Dan hakikat fana dalam tawakkal adalah ketika engkau tidak lagi melihat dirimu sama sekali.”
Beliau mencontohkan:
“Seperti bayi di pangkuan ibunya — ia tidak tahu bahwa ia sedang ditimang.
Begitulah hati orang yang fana dalam tawakkal,
tidak tahu lagi bagaimana ia hidup, karena seluruh hidupnya dihidupkan oleh Allah.”
2. Syaikh Abdul Qadir al-Jailani
Dalam Futuh al-Ghaib, beliau menulis:
“Ketika engkau telah fana dalam tawakkal, engkau tidak lagi mengatur Allah dengan doamu,
tetapi Allah yang mengaturmu dengan qadha dan qadar-Nya.
Engkau tidak lagi berkata ‘aku ingin’, sebab yang tinggal hanyalah ‘Allah menghendaki’.”
Beliau juga berkata:
“Wahai anakku, jika engkau ingin mencapai derajat wali,
maka matikan kehendakmu di bawah kehendak Allah,
dan hidupkan dirimu dengan ridha terhadap segala keputusan-Nya.”
3. Syaikh Junaid al-Baghdadi
Beliau menyebut fana dalam tawakkal sebagai “ittihād al-irādah” —
yakni penyatuan kehendak hamba dengan kehendak Allah.
“Orang yang fana dalam tawakkal tidak lagi berkata ‘Aku ridha’,
karena tidak ada lagi dua pihak — hanya ada Allah yang berkehendak dan Allah yang diridhai.”
4. Syaikh Abdus Shamad al-Palimbani
Dalam Sairus Salikin, beliau menjelaskan:
“Apabila telah lenyap kehendak hamba dan tegak kehendak Allah, maka hamba itu telah fana dalam tawakkal.
Ia telah sampai pada maqam taslim mutlak (penyerahan murni).
Maka segala gerak dan diamnya menjadi ibadah, walau tanpa niat, karena semuanya dari Allah.”
Beliau juga mengutip perkataan Syaikh Abu Yazid al-Busthami:
“Aku telah menyerahkan diriku kepada Allah, lalu Allah mengambil diriku dari diriku,
dan menjadikan aku hidup dengan-Nya, bukan denganku.”
V. Rahasia Ruhani dari Fana dalam Tawakkal
Fana dalam tawakkal bukan berarti hamba berhenti beramal, tetapi beramal tanpa ego.
Ia tetap berusaha, namun bukan lagi karena “aku ingin hasil”,
melainkan karena “Allah menghendaki aku berbuat”.
🌿 “Tidaklah engkau melempar ketika engkau melempar, tetapi Allah yang melempar.”
(QS. Al-Anfal: 17)
Artinya: Walaupun tanganmu yang melempar batu, namun hatimu menyaksikan Allah-lah yang berbuat melalui dirimu.
Inilah maqam al-baqā’ ba‘da al-fanā’ — hidup kembali dalam cahaya Allah setelah lenyap dalam kehendak-Nya.
VI. Penutup: Kembali kepada Ketauhidan Sejati
Fana dalam tawakkal adalah puncak tauhid,
sebab pada tingkat ini hamba menyaksikan bahwa tidak ada daya, upaya, kehendak, bahkan wujud selain Allah.
Imam al-Ghazali menulis:
“Ketika tawakkal telah menjadi fana, maka engkau telah bertauhid secara hakiki.
Karena engkau tidak lagi melihat dirimu sebagai pelaku, melainkan Allah semata.”
Syaikh Abdul Qadir al-Jailani menutup dengan nasihat:
“Jadilah seperti bayangan — ia tidak bergerak kecuali bersama matahari.
Maka jadilah engkau bayangan kehendak Allah.
Bergeraklah jika Allah menggerakkanmu, dan diamlah jika Allah menenangkanmu.
Itulah fana dalam tawakkal.”
---
=========================================================================
Bab XIII: “Baqā’ setelah Fana — Hidup dengan Allah setelah lenyap dari diri sendiri”,
yakni bab penutup dari maqam tertinggi dalam jalan tawakkal menurut para ulama sufi besar:
Imam al-Ghazali, Syaikh Abdul Qadir al-Jailani, Syaikh Junaid al-Baghdadi, dan Syaikh Abdus Shamad al-Palimbani.
I. Makna Baqā’ setelah Fana
Setelah seorang hamba mencapai fana — yaitu lenyapnya kehendak dan ego di hadapan kehendak Allah — maka Allah akan mengembalikannya ke keadaan baqā’ (بقاء): “hidup kembali dengan Allah, bukan dengan dirinya.”
🌿 “Maka Allah menghidupkannya dengan kehidupan yang baru,
ia melihat dengan cahaya Allah, mendengar dengan cahaya Allah, dan berjalan di bawah kehendak Allah.” — Imam al-Ghazali, Ihya’ Ulumuddin
Syaikh Abdul Qadir al-Jailani menafsirkan:
“Fana adalah mati dari kehendak diri,
dan baqā’ adalah hidup dengan kehendak Allah.
Fana itu kematian ego, dan baqā’ itu kebangkitan ruh dalam cahaya Ilahi.”
II. Hubungan antara Fana dan Baqā’
Tahap Keadaan Ruhani Keterangan
Fana Lenyapnya ego dan kehendak diri Hamba melihat bahwa dirinya bukan apa-apa
Baqā’ Kembalinya kesadaran dalam cahaya Allah Hamba hidup, berbicara, dan berbuat karena Allah
Fana adalah “kematian” dalam perjalanan rohani,
sedangkan baqā’ adalah “kelahiran kembali” — tapi kali ini bukan sebagai “aku”, melainkan sebagai abdi Allah yang sejati (al-‘abd al-haqqi).
III. Baqā’ menurut Imam al-Ghazali
Dalam Ihya’ Ulumuddin beliau menulis:
“Ketika seorang salik telah fana dari dirinya dan baqā’ dengan Tuhannya,
maka segala gerak dan diamnya adalah karena Allah dan untuk Allah.
Ia tidak mencintai kecuali karena Allah, tidak membenci kecuali karena Allah.”
Imam al-Ghazali menjelaskan bahwa pada tahap ini, segala amal menjadi murni ikhlas,
karena sudah tidak ada lagi kepentingan nafsu, keinginan dunia, atau bahkan harapan surga.
Yang tersisa hanyalah pengabdian murni karena cinta.
🌸 “Ibadahnya bukan untuk pahala, dan sabarnya bukan untuk derajat,
tapi karena Allah semata.” — Ihya’ Ulumuddin
IV. Baqā’ menurut Syaikh Abdul Qadir al-Jailani
Dalam Futuh al-Ghaib, beliau berkata:
“Ketika engkau telah fana dari kehendakmu dan hidup dengan Allah,
maka engkau menjadi alat di tangan-Nya,
mata dengan yang Dia melihat,
telinga dengan yang Dia mendengar,
tangan dengan yang Dia menolong.”
Ini mengacu pada hadis qudsi yang diriwayatkan oleh al-Bukhari:
“Hamba-Ku senantiasa mendekat kepada-Ku dengan amal sunnah hingga Aku mencintainya.
Maka apabila Aku mencintainya,
Aku menjadi pendengarannya yang dengannya ia mendengar,
penglihatannya yang dengannya ia melihat,
tangannya yang dengannya ia memegang,
dan kakinya yang dengannya ia berjalan.” (HR. Bukhari)
Syaikh Abdul Qadir menjelaskan:
“Itulah baqā’ — hidup bersama dan dalam bimbingan Allah.
Hamba tidak lagi berkata ‘aku berbuat’,
karena ia tahu, yang berbuat hanyalah Allah melalui dirinya.”
V. Baqā’ menurut Syaikh Junaid al-Baghdadi
Syaikh Junaid menyebut baqā’ sebagai “sahw ba‘da as-sukr” — sadar kembali setelah mabuk cinta Ilahi.
Fana membuat seorang arif “mabuk” oleh kehadiran Allah,
sementara baqā’ mengembalikan kesadarannya agar bisa beramal, berbicara, dan menuntun makhluk dalam bimbingan Allah.
“Fana menjauhkanmu dari dunia, baqā’ membuatmu kembali ke dunia —
tapi kali ini dengan hati yang penuh Allah.” — Syaikh Junaid al-Baghdadi
Beliau mencontohkan:
“Seorang wali yang telah baqā’ makan, minum, tidur, berdagang, dan menikah —
tetapi tidak satu pun dari itu mengeluarkannya dari hadirat Allah.”
VI. Baqā’ menurut Syaikh Abdus Shamad al-Palimbani
Dalam Sairus Salikin, beliau menulis:
“Apabila hamba telah fana dari dirinya dan baqā’ dengan Tuhannya,
maka seluruh amalnya menjadi tajalli sifat-sifat Allah pada dirinya.
Ia menjadi rahmat bagi makhluk, sebagaimana Nabi Muhammad ﷺ adalah rahmat bagi alam.”
Dan beliau menjelaskan:
“Maqam baqā’ adalah maqam para rasul dan para wali yang kamil,
yaitu mereka yang telah fana dalam zat dan sifatnya,
lalu baqā’ dalam pengabdian dan kasih sayang kepada makhluk.
Mereka hidup di bumi dengan ruh yang bergantung di langit.”
VII. Ciri-Ciri Orang yang Hidup dalam Baqā’
Para sufi menggambarkan orang yang telah baqā’ billah dengan tanda-tanda berikut:
1. Segala perbuatannya menjadi hikmah.
Ia tidak banyak berbicara, tapi tiap ucapannya mengandung cahaya.
2. Ia bergaul dengan makhluk tanpa terikat oleh mereka.
Dunia tidak lagi bisa menipunya, karena hatinya sudah bersama Allah.
3. Ia menjadi cermin rahmat Allah.
Siapa pun yang dekat dengannya merasakan ketenangan dan kasih.
4. Ia tidak melihat perbedaan antara nikmat dan ujian.
Keduanya adalah wajah yang berbeda dari cinta Allah.
5. Ia menjadi penuntun, bukan dengan ilmu lidah, tetapi dengan nur hati.
VIII. Rahasia Ruhani: Hidup dengan Allah
Baqā’ bukan berarti keluar dari kehidupan dunia,
tetapi hidup di dunia dengan kesadaran penuh akan Allah.
Imam al-Ghazali menulis:
“Orang yang telah baqā’ hidup di tengah manusia, tapi hatinya bersama Allah — seperti perahu di atas air, ia mengapung di atas dunia tanpa tenggelam di dalamnya.”
Syaikh Abdul Qadir al-Jailani menambahkan:
“Baqā’ adalah hidup yang hakiki.
Sebab sebelum itu engkau hidup dengan dirimu, kini engkau hidup dengan Allah.”
IX. Puncak Tawakkal dalam Baqā’
Ketika seorang hamba telah baqā’ billah, maka tawakkalnya mencapai kesempurnaan mutlak:
Ia tidak lagi bertawakkal karena perintah, tetapi karena fitrah rohnya yang sudah menyatu dengan kehendak Allah.
Ia tidak lagi berharap kepada hasil, karena hatinya sudah menjadi tempat turunnya ketenangan Ilahi (sakinah).
Ia menjadi saksi atas keagungan Allah di setiap detik kehidupannya.
🌸 “Mereka itu hidup dalam dunia, namun hati mereka di sisi Tuhan yang Maha Penyayang.”
— Syaikh Abdus Shamad al-Palimbani
X. Penutup: Baqā’ sebagai Kehidupan yang Sejati
Dalam maqam ini, hamba tidak lagi terpisah dari Tuhannya,
tetapi juga tidak kehilangan fungsi kemanusiaannya.
Ia menjadi ‘abd (hamba) yang sekaligus khalifah (wakil Allah di bumi).
Imam al-Ghazali menutup bab ini dengan kalimat indah:
“Sempurna tawakkal adalah ketika engkau fana dalam kehendak Allah dan baqā’ dengan cinta-Nya.
Engkau tidak lagi hidup untuk dirimu, tetapi hidup untuk Allah dan karena Allah.”
Dan Syaikh Abdul Qadir al-Jailani berkata:
“Orang yang telah baqā’ billah tidak berkata:
‘Aku tawakkal kepada Allah,’
karena ia telah menjadi bagian dari kehendak Allah itu sendiri.”
🌿 Kesimpulan:
Fana adalah mati dari ego dan kehendak diri.
Baqā’ adalah hidup dengan Allah, dalam Allah, dan untuk Allah.
Pada maqam ini, tawakkal bukan lagi amal, melainkan keadaan (hāl) —
keadaan di mana seluruh wujud hamba menjadi cermin dari ketuhanan (tajalli).
---
=========================================================================
Bab XIV: “Tawakkal dan Cinta Ilahi (Mahabbah)”,
yaitu bab penutup yang menjelaskan bagaimana tawakkal sejati bertransformasi menjadi cinta murni kepada Allah, menurut pandangan para sufi besar: Imam al-Ghazali, Syaikh Abdul Qadir al-Jailani, Syaikh Junaid al-Baghdadi, dan Syaikh Abdus Shamad al-Palimbani.
I. Hubungan antara Tawakkal dan Mahabbah
Tawakkal (التوكل) adalah menyerahkan urusan kepada Allah dengan yakin dan tenang.
Mahabbah (المحبة) adalah mencintai Allah dengan seluruh jiwa, tanpa pamrih.
Para sufi berkata:
“Tawakkal adalah pintu menuju mahabbah.”
“Barang siapa sungguh-sungguh bertawakkal, maka hatinya akan mengenal kelembutan kasih Allah.”
— Syaikh Junaid al-Baghdadi
Maka tawakkal adalah akar, dan mahabbah adalah bunga yang mekar darinya.
Ketika seorang hamba terus bersandar kepada Allah, melihat semua dari-Nya dan kembali kepada-Nya,
maka lambat laun hatinya akan dipenuhi oleh rasa cinta Ilahi yang murni.
II. Tawakkal Menghapus Ketakutan, Mahabbah Menghapus Diri
Imam al-Ghazali menjelaskan dalam Ihya’ Ulumuddin:
“Tawakkal menghapus rasa takut,
sedangkan mahabbah menghapus keberadaan diri.
Tawakkal adalah permulaan pengenalan,
dan mahabbah adalah puncak kedekatan.”
Artinya, ketika seseorang telah benar-benar percaya kepada Allah,
ia tidak lagi takut kepada selain-Nya.
Dan ketika ia telah mencintai Allah sepenuh hati,
ia tidak lagi melihat dirinya sendiri — yang ada hanya Kekasihnya.
III. Tahapan Cinta Ilahi Menurut Para Sufi
Para arif membagi mahabbah dalam beberapa tingkatan:
Tingkatan Nama Ciri Utama Penjelasan
1. Mahabbah bi al-jazā’ Cinta karena balasan Mencintai Allah karena berharap surga atau takut neraka.
2. Mahabbah li ni‘amihi| Cinta karena nikmat| Mencintai karena rezeki, kesehatan, atau perlindungan Allah.
3. Mahabbah li dzātihi|Cinta karena Dzat-Nya| Mencintai Allah karena Dia layak dicintai, bukan karena balasan apa pun.
4. ‘Ishq Ilahi (عشق إلهي) Cinta yang meluap Cinta yang membuat hamba fana dari dirinya, tenggelam dalam keindahan Allah.
Syaikh Junaid berkata:
“Cinta yang sejati adalah ketika engkau tidak melihat siapa yang mencintai dan yang dicintai,
tetapi yang ada hanyalah cinta itu sendiri.”
IV. Cinta Ilahi Menurut Imam al-Ghazali
Dalam Kitab Mahabbah (Ihya’ Ulumuddin), beliau menulis:
“Ketika seseorang mengenal Allah dengan sebenar-benarnya,
maka ia pasti mencintai-Nya.
Karena tiada yang lebih layak dicintai selain Dia.”
Dan beliau menegaskan:
“Hakikat cinta adalah kecenderungan hati yang terus-menerus kepada Allah,
karena kesempurnaan yang hanya dimiliki oleh-Nya.”
Menurut al-Ghazali, tanda-tanda mahabbah yang lahir dari tawakkal adalah:
1. Hatinya selalu rindu kepada Allah.
2. Ia tenang dalam cobaan, karena tahu itu kasih dari Kekasihnya.
3. Ia lebih senang berduaan dengan Allah daripada bersama makhluk.
4. Ia mencintai segala yang dicintai Allah, dan membenci apa yang dibenci Allah.
5. Ia beramal bukan karena pahala, tapi karena cinta.
V. Cinta Ilahi Menurut Syaikh Abdul Qadir al-Jailani
Dalam Futuh al-Ghaib, beliau menulis:
“Awalnya engkau bertawakkal kepada Allah karena kebutuhanmu,
akhirnya engkau mencintai-Nya karena keindahan-Nya.”
Syaikh Abdul Qadir menegaskan bahwa cinta sejati lahir dari pengalaman tawakkal yang dalam:
ketika seseorang melihat pertolongan Allah di setiap langkah hidupnya, menyaksikan kasih-Nya di balik setiap ujian, maka ia jatuh cinta kepada Sang Penolong itu sendiri — bukan kepada pemberian-Nya.
“Engkau bertawakkal kepada-Nya dalam kekuranganmu, lalu Dia cukupkan engkau dengan kasih-Nya.
Saat itu engkau tahu, bahwa tiada tempat bergantung selain kepada-Nya — dan engkau pun jatuh cinta.” — Syaikh Abdul Qadir al-Jailani
VI. Mahabbah Menurut Syaikh Junaid al-Baghdadi
Syaikh Junaid — yang disebut Imam kaum sufi — berkata:
“Al-Mahabbah hiya al-inhimāk fi dzikr al-mahbūb —
cinta adalah tenggelamnya hati dalam mengingat Kekasih.”
Beliau menjelaskan:
“Awalnya seorang murid belajar tawakkal, sabar, dan ridha.
Tapi ketika hatinya dibukakan rahasia kasih Allah, ia tidak lagi tawakkal karena perintah, melainkan karena cinta — sebab ia telah tahu bahwa semua yang datang dari Kekasih adalah baik.”
VII. Mahabbah Menurut Syaikh Abdus Shamad al-Palimbani
Dalam Sairus Salikin, beliau menulis panjang tentang hubungan antara tawakkal, ridha, dan mahabbah:
“Ketika seorang salik telah sampai pada maqam tawakkal yang sempurna,
maka Allah menyingkap baginya rahasia cinta.
Maka hilanglah rasa takut dan harap,
karena yang tinggal hanyalah cinta kepada Allah dan kerinduan untuk bertemu dengan-Nya.”
Dan beliau menambahkan:
“Orang yang benar cintanya kepada Allah tidak lagi memohon selain Allah,
tidak berduka atas dunia,
dan tidak gembira kecuali dalam zikrullah.”
Syaikh Abdus Shamad mengutip firman Allah:
“Yuhibbuhum wa yuhibbūnahu” — “Allah mencintai mereka dan mereka pun mencintai-Nya.”
(QS. Al-Mā’idah: 54)
Beliau berkata:
“Inilah puncak maqam para arif billah — cinta dua arah antara hamba dan Tuhannya.
Hamba mencintai karena Allah, dan Allah mencintai karena hamba itu telah menjadi cermin kasih-Nya.”
VIII. Tanda-Tanda Orang yang Sudah Sampai pada Mahabbah Ilahiyah
1. 🌷 Zikir menjadi hidupnya.
Ia tidak bisa jauh dari nama Allah walau sekejap.
2. 🌷 Cobaan terasa manis.
Karena ia tahu, itu tanda perhatian dari Sang Kekasih.
3. 🌷 Ia mencintai makhluk karena Allah.
Bukan karena manfaat, tapi karena mereka adalah ciptaan Kekasihnya.
4. 🌷 Ia malu meminta surga dan takut neraka karena cinta.
Bagi mereka, yang diinginkan hanyalah wajah Allah (liqa’ullah).
5. 🌷 Segala geraknya menjadi ibadah spontan.
Ia tidak memaksa diri untuk beramal; amalnya mengalir karena cinta.
IX. Puncak Cinta: Ketika Tawakkal Menjadi Mahabbah
Imam al-Ghazali menulis:
“Tawakkal adalah permulaan perjalanan, ridha adalah pertengahannya, dan mahabbah adalah puncaknya.
Barang siapa sampai pada mahabbah, maka ia telah sampai pada Allah.”
Syaikh Abdul Qadir al-Jailani berkata:
“Cinta kepada Allah adalah buah dari tauhid dan tawakkal.
Barang siapa bertauhid tanpa cinta, maka tauhidnya kering;
barang siapa bertawakkal tanpa cinta, maka tawakkalnya lemah.”
Dan Syaikh Abdus Shamad menutup:
“Tawakkal adalah jalan menuju cinta.
Bila cinta telah menguasai hati,
maka tawakkal tidak lagi menjadi beban,
tapi menjadi kenikmatan yang abadi.”
X. Kesimpulan Besar Bab XIV
✨ Tawakkal adalah penyerahan diri kepada Allah.
✨ Ridha adalah tenangnya hati menerima keputusan Allah.
✨ Mahabbah adalah cintanya hati kepada Allah karena Allah.
Maka urutan perjalanan ruhani menurut para sufi:
> Tawakkal → Ridha → Fana → Baqā’ → Mahabbah
Dan inilah hakikat dari sabda Nabi ﷺ:
"Tidak beriman seseorang di antara kalian hingga Allah dan Rasul-Nya lebih ia cintai daripada selain keduanya.” (HR. Bukhari & Muslim)
🌿 Penutup Umum:
“Tawakkal adalah akar,
"Ridha adalah batang,
"Fana adalah bunga,
"Baqā’ adalah buah, dan
"Mahabbah adalah aroma yang kekal dari pohon tauhid.”
— Syaikh Abdus Shamad al-Palimbani, Sairus Salikin
---
=========================================================================
Bab XV (Penutup Besar): “Rahasia Tawakkal dalam Ma‘rifatullah” —
bab yang menjadi puncak seluruh pembahasan tentang tawakkal dalam tasawuf, sebagaimana dijelaskan oleh para imam sufi besar: Imam al-Ghazali, Syaikh Abdul Qadir al-Jailani, Syaikh Junaid al-Baghdadi, dan Syaikh Abdus Shamad al-Palimbani.
I. Pengantar: Dari Tawakkal Menuju Ma‘rifatullah
Tawakkal sejati bukanlah akhir perjalanan ruhani,
melainkan pintu menuju makrifatullah — yaitu pengenalan langsung dan batiniah kepada Allah.
🌿 “Barang siapa mengenal Allah, maka ia tidak bergantung kepada selain-Nya.
Barang siapa bertawakkal kepada-Nya, maka ia telah mengenal-Nya.”
— Syaikh Junaid al-Baghdadi
Makrifatullah (معرفة الله) artinya mengenal Allah dengan hati yang bersih dan nur yang tajalli,
bukan sekadar mengenal nama-nama dan sifat-Nya, tapi merasakan kehadiran-Nya dalam setiap nafas dan peristiwa.
II. Hakikat Makrifat Menurut Para Sufi
🌸 Imam al-Ghazali
Dalam Ihya’ Ulumuddin beliau menjelaskan:
“Makrifatullah adalah pengetahuan yang menyingkap tabir antara hamba dan Tuhannya,
sehingga ia menyaksikan bahwa tiada yang berbuat kecuali Allah.”
Dan beliau menambahkan:
“Makrifat adalah buah dari tauhid yang murni dan tawakkal yang sempurna.”
🌸 Syaikh Abdul Qadir al-Jailani
Dalam Futuh al-Ghaib, beliau berkata:
“Tawakkal membawa engkau kepada ridha,
ridha membawa engkau kepada cinta,
dan cinta membawa engkau kepada makrifat.
Maka makrifat adalah hasil dari perjalanan hati yang berserah total kepada Allah.”
🌸 Syaikh Junaid al-Baghdadi
“Al-Ma‘rifah nurun yaqzifu Allah fi al-qalb —
Makrifat adalah cahaya yang Allah lemparkan ke dalam hati seorang hamba.”
Syaikh Junaid menegaskan bahwa makrifat tidak bisa dicapai dengan akal atau ilmu lahiriah,
tetapi dengan hati yang telah disucikan dari hawa nafsu melalui tawakkal dan fana.
🌸 Syaikh Abdus Shamad al-Palimbani
Dalam Sairus Salikin beliau menulis:
“Makrifat itu ialah melihat segala sesuatu dengan pandangan tauhid.
Tiada lagi dua pandangan: engkau dan Tuhanmu,
melainkan satu pandangan: bahwa semua ini adalah tajalli dari Yang Esa.”
III. Tawakkal sebagai Jalan Menuju Makrifat
Para sufi memandang tawakkal sebagai madkhal (pintu masuk) menuju makrifat,
karena dengan tawakkal hati dilatih untuk melihat Allah di balik sebab.
“Tawakkal adalah ibadah para arif, karena mereka tidak melihat daya dan usaha,
melainkan hanya Allah yang mengatur setiap urusan.”
— Imam al-Ghazali
Syaikh Abdul Qadir al-Jailani berkata:
“Engkau tidak akan mengenal Allah sampai engkau melepaskan dirimu dari ketergantungan pada sebab,
dan melihat bahwa sebab hanyalah pakaian kehendak-Nya.”
Dengan kata lain:
Orang awam melihat sebab.
Orang mukmin melihat Allah mencipta sebab.
Orang arif tidak lagi melihat sebab, hanya menyaksikan Allah.
IV. Tanda-Tanda Makrifatullah
Imam al-Ghazali dan para sufi lain sepakat bahwa makrifat bukan teori, melainkan keadaan batin (ḥāl).
Mereka menyebutkan tanda-tanda orang yang telah mencapai makrifat sebagai berikut:
1. 🌿 Selalu merasa diawasi Allah (muraqabah).
Ia tidak melihat dirinya sendiri kecuali sebagai milik Allah.
2. 🌿 Tidak lagi takut kepada dunia atau makhluk.
Karena ia tahu, tidak ada yang berbuat kecuali Allah.
3. 🌿 Tidak bangga dalam ketaatan, dan tidak berduka dalam kesalahan.
Karena ia tahu, semua gerak adalah dalam qadar Allah, dan rahmat-Nya selalu mendahului murka-Nya.
4. 🌿 Tenang dalam segala keadaan (sakinah).
Ujian dan nikmat baginya sama saja — keduanya datang dari Kekasih.
5. 🌿 Bahasa hatinya selalu “Engkau, ya Allah.”
Ia tidak melihat selain Allah di balik segala sesuatu.
V. Makrifat dalam Pandangan Al-Ghazali: Cahaya atas Cahaya
Dalam Mishkat al-Anwar, Imam al-Ghazali menggambarkan makrifat sebagai nur ‘ala nur (cahaya di atas cahaya):
“Ketika hijab-hijab dunia tersingkap, maka cahaya Ilahi memancar dalam hati, dan di situlah makrifat lahir.
Orang yang demikian tidak lagi melihat selain Allah — bahkan dirinya pun lenyap dalam pandangan itu.”
Dan beliau menegaskan:
“Makrifat adalah buah dari takwa dan tawakkal.
Barang siapa menjaga keduanya, maka Allah bukakan baginya pintu-pintu rahasia-Nya.”
VI. Syaikh Abdul Qadir al-Jailani: Makrifat adalah Buah dari Tawakkal yang Sempurna
“Ketika engkau bertawakkal dengan sepenuhnya, maka Allah menyingkap hijab antara engkau dan diri-Nya.
Engkau tidak lagi hanya percaya, tetapi menyaksikan.
Inilah makrifat.”
Beliau menafsirkan QS. Al-‘Ankabut: 69:
“Dan orang-orang yang bersungguh-sungguh pada jalan Kami, pasti Kami tunjukkan jalan-jalan Kami.”
Bahwa “jalan-jalan” itu adalah maqamat (tahapan ruhani), dan puncaknya adalah makrifatullah.
VII. Junaid al-Baghdadi: Makrifat adalah Fana dalam Tauhid
Syaikh Junaid berkata:
“Awal makrifat adalah mengenal sifat Allah,
pertengahannya adalah mengenal perbuatan Allah,
dan akhirnya adalah lenyap dalam zat Allah.”
Ketika seseorang telah fana dalam tauhid,
maka yang tinggal hanyalah Allah —
tidak ada lagi “aku”, “milikku”, “usahaku”.
Dan ketika Allah mengembalikannya dalam keadaan baqā’,
ia menjadi cermin bagi rahmat dan kehendak Allah di dunia.
VIII. Syaikh Abdus Shamad al-Palimbani: Makrifat sebagai Rahasia Tauhid
Beliau menulis:
“Makrifatullah bukan hanya mengetahui bahwa tiada Tuhan selain Allah,
tetapi menyaksikan dengan mata hati bahwa tiada wujud selain Allah.”
Dan ia menegaskan:
“Tawakkal tanpa makrifat adalah penyerahan yang masih berlapis syirik khafi (halus),
sebab seseorang masih melihat dirinya bertawakkal.
Tapi bila ia telah makrifat, ia tidak melihat lagi dirinya —
hanya Allah yang bertawakkal atas dirinya.”
IX. Puncak: Tawakkal sebagai Tajalli Tauhid
Makrifat yang lahir dari tawakkal sejati menyingkap rahasia besar:
Bahwa tawakkal bukanlah usaha makhluk, tapi tajalli (penampakan) kehendak Allah dalam diri hamba.
Imam al-Ghazali berkata:
“Ketika engkau memahami bahwa tawakkalmu pun adalah ciptaan Allah,
maka engkau telah bertauhid dengan sempurna.”
Inilah maqam tertinggi — di mana tawakkal menjadi manifestasi tauhid, tauhid menjadi cahaya makrifat, dan makrifat menjadi kehidupan dalam Allah.
X. Penutup Besar
✨ Tawakkal adalah menyerahkan diri kepada Allah.
✨ Ridha adalah tenangnya hati terhadap ketetapan Allah.
✨ Fana adalah lenyapnya ego di hadapan Allah.
✨ Baqā’ adalah hidup dengan Allah.
✨ Mahabbah adalah cinta murni kepada Allah.
✨ Makrifatullah adalah mengenal Allah dengan hati yang diterangi cahaya-Nya.
Syaikh Abdul Qadir al-Jailani menutup dengan kalimat agung:
“Bila engkau telah bertawakkal, engkau telah beriman.
"Bila engkau telah ridha, engkau telah berserah.
"Bila engkau telah cinta, engkau telah dekat.
"Bila engkau telah makrifat, maka engkau telah hilang — tinggal hanya Dia.”
Dan Syaikh Abdus Shamad al-Palimbani menulis:
“Tawakkal adalah maqam para nabi,
makrifat adalah rahasia para wali.
Barang siapa dikaruniai keduanya,
maka ia telah berjalan di atas jalan yang lurus menuju hadirat Allah.”
🌿 Kesimpulan Akhir dari seluruh risalah:
Tawakkal bukan hanya amalan hati, tetapi perjalanan menuju penyaksian keesaan Allah.
Ia bermula dari penyerahan diri, lalu berakhir pada penyaksian bahwa tiada daya dan upaya selain Dia.
Maka seluruh hidup seorang arif hanyalah ucapan batin:
“Hasbiyallāh, lā ilāha illā Huwa, ‘alayhi tawakkaltu wa Huwa Rabbul-‘Arsyil-‘Azīm.”
— (Cukuplah Allah bagiku, tiada Tuhan selain Dia, kepada-Nya aku bertawakkal, dan Dia adalah Tuhan yang Maha Agung.)
---
=========================================================================
Hakikat TAWAKAL
menurut para ulama sufi besar, terutama Syekh Abdul Qadir al-Jilani, Imam al-Ghazali, Syekh Junaid al-Baghdadi, dan Syekh Abdus Shomad al-Palembani.
1. Makna Umum TAWAKAL dalam Tasawuf
Secara bahasa, tawakal berasal dari kata "wakala" yang berarti menyerahkan urusan kepada pihak lain.
Secara istilah tasawuf, tawakal adalah:
“Penyerahan total hati kepada Allah setelah berusaha dengan sebab-sebab yang diizinkan.”
Artinya, seorang salik (penempuh jalan Allah) tidak bersandar kepada usaha, tetapi tidak pula meninggalkannya. Ia beramal sesuai syariat, namun hatinya bergantung hanya kepada Allah, bukan kepada hasil atau makhluk.
2. Menurut Syekh Abdul Qadir al-Jilani (رضي الله عنه)
Dalam Futuh al-Ghaib dan Al-Fath ar-Rabbani, beliau menegaskan:
“Tawakal adalah melepaskan diri dari daya dan upaya, serta menyerahkan urusan hanya kepada Allah, setelah melakukan sebab dengan adab syariat.”
🔹 Tiga tingkatan tawakal menurut beliau:
1. Tawakal al-‘Awam (Orang Awam):
Mereka yang bertawakal setelah melakukan usaha.
Contoh: bertani, lalu menyerahkan hasilnya kepada Allah.
2. Tawakal al-Khawash (Orang Khusus):
Mereka yang tidak lagi memandang usaha sebagai sebab hasil.
Mereka beramal karena perintah Allah, bukan karena berharap hasil duniawi.
3. Tawakal Khawashul Khawash (Orang Sangat Khusus):
Mereka yang tidak melihat selain Allah dalam setiap keadaan.
Tidak ada yang mereka takutkan selain kehilangan ridha Allah.
Inilah maqam fana’ dalam tawakal — lenyapnya kehendak diri dalam kehendak Allah.
“Bertawakkallah seperti bayi yang tidak tahu siapa yang memberi susu kepadanya, namun selalu kenyang karena kasih ibunya — itulah gambaran hamba yang menyerah total kepada Allah.”
(Syekh Abdul Qadir al-Jilani, Futuh al-Ghaib)
🌸 3. Menurut Imam al-Ghazali (رحمه الله)
Dalam Ihya’ Ulumiddin (Kitab Tawakal), Imam al-Ghazali menjelaskan bahwa tawakal adalah buah dari tauhid dan ma’rifat.
“Barang siapa mengenal Allah sebagai satu-satunya Pengatur segala sebab, niscaya hilanglah ketergantungannya pada selain Allah.”
🔹 Imam al-Ghazali membagi tawakal menjadi empat tingkatan:
1. Tawakal orang berilmu (al-‘alim):
Yaitu orang yang tahu bahwa segala sesuatu terjadi karena kehendak Allah, tetapi masih berpegang pada sebab.
2. Tawakal orang yakin (al-mu’min al-muqin):
Ia tahu sebab hanyalah perantara, bukan penentu hasil. Hatinya tenang walau sebab tampak gagal.
3. Tawakal orang arif (al-‘arif):
Ia tidak lagi melihat sebab, karena hatinya sibuk dengan Musabbib al-Asbab (Yang Menetapkan Sebab).
4. Tawakal orang yang telah fana’ (al-fana’ fi al-tawakal):
Tidak ada yang tersisa dalam hatinya kecuali Allah semata; ia ridha dengan segala ketentuan tanpa mengeluh.
“Hakikat tawakal adalah diamnya hati terhadap takdir Allah, sebagaimana tenangnya bayi di pangkuan ibunya.” (Ihya’ Ulumiddin, Kitab al-Tawakal)
🌼 4. Menurut Syekh Junaid al-Baghdadi (رضي الله عنه)
Syekh Junaid dikenal sebagai “Sayyid ath-Thaifah” (pemimpin para sufi). Ia berkata:
"At-Tawakal huwa al-iltizâm bi asbâbi Allâh wa raf‘u an-nafs ‘an idrâkiha.”
— Tawakal ialah berpegang pada sebab yang Allah tetapkan, sambil melepaskan diri dari penglihatan terhadap sebab itu sendiri.
🔹 Pandangan beliau menekankan keseimbangan antara syariat dan hakikat:
Tidak boleh meninggalkan usaha (karena itu bagian dari ketaatan).
Tapi hati tidak boleh menggantung pada usaha (karena itu bentuk ghaflah).
Menurut beliau, tawakal sejati ialah:
“Menghadapkan hati kepada Allah dengan keyakinan penuh, tanpa terganggu oleh sebab yang dicipta.”
🌺 5. Menurut Syekh Abdus Shomad al-Palembani (رحمه الله)
Dalam Hidayatus Salikin ila Thariq al-Muttaqin, Syekh Abdus Shomad al-Palembani (ulama besar Palembang abad ke-18) menjelaskan bab tawakal sebagai salah satu maqam dari as-suluk ilallah.
Beliau menulis:
“Tawakal itu ialah istirahat hati dari bergantung pada makhluk, serta tenteramnya jiwa dalam jaminan Allah Ta‘ala setelah berusaha menurut syariat.”
🔹 Beliau membagi maqam tawakal menjadi tiga:
1. Tawakal dalam urusan dunia:
Tidak takut miskin, tidak cemas akan rezeki, sebab yakin bahwa Allah yang memberi makan setiap makhluk.
2. Tawakal dalam urusan amal:
Tidak sombong atas amal, dan tidak putus asa karena dosa; karena yang memberi taufik hanyalah Allah.
3. Tawakal dalam urusan akhirat:
Hatinya hanya bersandar kepada rahmat Allah, bukan pada amal.
Inilah maqam al-muwahhidin al-mukhlisin, orang yang mengesakan Allah secara murni.
🌙 6. Intisari dari Para Sufi
Ulama Sufi Fokus Tawakal Inti Ajaran
Syekh Abdul Qadir al-Jilani Penyerahan total setelah sebab Lepas dari daya dan upaya
Imam al-Ghazali Buah dari tauhid dan ma’rifat Tidak melihat selain Allah
Syekh Junaid al-Baghdadi| Keseimbangan syariat & hakikat|Lakukan sebab, tapi jangan sandar padanya
Syekh Abdus Shomad al-Palembani| Ketenteraman hati| Tidak cemas, tidak bergantung pada makhluk
🌌 7. Penutup – Hakikat Tertinggi Tawakal
Pada puncak maqam tawakal, para sufi mengatakan:
“Tawakal sejati ialah tiada lagi daya, tiada lagi rasa memiliki, dan tiada lagi penentangan terhadap takdir Allah.”
Hati yang bertawakal sejati tidak berduka karena kehilangan dan tidak gembira berlebih karena mendapatkan sesuatu — karena semua telah diserahkan kepada Pemiliknya, Allah.
---
=========================================================================
Tanda-tanda orang yang benar-benar bertawakal,
sebagaimana dijelaskan oleh para sufi besar: Imam al-Ghazali, Syekh Abdul Qadir al-Jilani, Syekh Junaid al-Baghdadi, dan Syekh Abdus Shomad al-Palembani.
🌾 1. Menurut Imam al-Ghazali (Ihya’ Ulumiddin, Kitab at-Tawakkul)
Imam al-Ghazali menjelaskan bahwa tanda-tanda orang yang benar-benar bertawakal (ash-shadiqun fi at-tawakkul) dapat dilihat dari tiga sisi utama: hati, perbuatan, dan akhlak.
💠 A. Tanda dalam hati:
1. Tenang terhadap ketentuan Allah (sukun al-qalb):
Tidak gundah karena sebab, tidak gelisah karena rezeki.
Ia yakin bahwa apa yang ditentukan Allah pasti cukup baginya.
> “Seandainya rezeki itu berlari di bawah gunung, niscaya Allah akan menurunkannya kepadamu.” (Ihya’, Bab Tawakal)
2. Tidak mengeluh ketika ditimpa kesempitan:
Ia tidak menampakkan kekurangan kecuali kepada Allah.
3. Tidak gembira berlebih ketika mendapat nikmat, dan tidak sedih mendalam saat kehilangan.
Karena ia tahu keduanya sama-sama ujian dari Allah.
💠 B. Tanda dalam perbuatan:
1. Tetap berusaha sesuai perintah syariat.
Tawakal bukan berarti meninggalkan usaha, tetapi melakukannya tanpa menggantungkan hasil pada usaha.
2. Tidak mencari sebab yang haram atau syubhat.
Karena yang bertawakal tahu bahwa rezeki tidak akan datang dari jalan maksiat.
3. Tidak menunda amal saleh karena takut hasil.
Ia tetap berbuat baik walau hasilnya belum tampak.
💠 C. Tanda dalam akhlak:
1. Tidak mencela sebab atau makhluk.
Ia tahu semua berjalan dengan izin Allah.
Maka, tidak menyalahkan orang lain, nasib, atau keadaan.
2. Tidak merasa hina di hadapan makhluk demi rezeki.
Karena yang bertawakal hanya merendah di hadapan Allah.
3. Mudah bersyukur dalam lapang dan bersabar dalam sempit.
Ini adalah puncak buah tawakal.
“Barang siapa tidak bersedih karena kehilangan dunia, tidak gembira karena mendapatkannya, dan hatinya tetap tenang dengan Allah — maka itulah orang yang benar-benar bertawakal.”
(Imam al-Ghazali, Ihya’ Ulumiddin)
🌿 2. Menurut Syekh Abdul Qadir al-Jilani (Futuh al-Ghaib & al-Fath ar-Rabbani)
Syekh Abdul Qadir menegaskan bahwa tawakal sejati tampak dalam laku dan keyakinan batin.
Beliau menyebut 6 tanda utama orang yang bertawakal sejati:
🕊️ 1. Tidak takut miskin.
Karena yakin bahwa rezekinya telah dijamin oleh Allah.
“Orang yang takut miskin padahal ia punya Tuhan yang Maha Kaya, belum mengenal hakikat tawakal.”
🕊️ 2. Tidak mengeluh atas musibah.
Karena tahu, musibah datang dari Kekasihnya, Allah.
Ia menerima dengan adab dan kerelaan.
🕊️ 3. Tidak mencari muka kepada makhluk.
Ia tahu manfaat dan mudarat hanya di tangan Allah, bukan manusia.
🕊️ 4. Tidak menolak qadha dan qadar.
Hatinya tidak berontak, tidak menyalahkan keadaan.
🕊️ 5. Tenang ketika semua sebab duniawi hilang.
Ia tetap tenteram, karena sandarannya bukan pada sebab, tapi pada Musabbib al-Asbab (Allah yang Mengatur sebab).
🕊️ 6. Memandang dunia seperti bayangan yang lewat.
Tidak mengejar, tidak juga lari darinya. Dunia hanya jembatan menuju Allah.
"Apabila engkau telah menggantungkan hatimu pada Allah, maka Allah akan cukup bagimu sebagaimana Dia mencukupi orang-orang sebelum kamu.”
(Syekh Abdul Qadir al-Jilani, Futuh al-Ghaib)
🌸 3. Menurut Syekh Junaid al-Baghdadi
Syekh Junaid menekankan bahwa tawakal sejati adalah kemantapan hati dalam ilmu tauhid.
“Tanda tawakal ialah tidak goyahnya hati ketika sebab dihilangkan.”
Maksudnya:
Bila seseorang tetap tenang walau usahanya gagal, walau sebab dunia hilang, berarti ia telah benar-benar bertawakal.
🔹 Tanda-tanda lainnya menurut beliau:
Tidak mengandalkan makhluk dalam urusan apa pun.
Tidak tergantung kepada “esok hari”.
Tidak kecewa bila doa belum dikabulkan, karena ia yakin Allah Maha Mengetahui waktu yang terbaik.
“Orang bertawakal tidak melihat dirinya memiliki sesuatu. Bila ia punya, ia memandang itu titipan; bila hilang, ia melihat itu dikembalikan.”
(Syekh Junaid al-Baghdadi, Risalah al-Qusyairiyyah)
🌺 4. Menurut Syekh Abdus Shomad al-Palembani (Hidayatus Salikin)
Syekh Abdus Shomad menulis dengan lembut dan mendalam bahwa orang yang benar-benar bertawakal akan tampak dari ketenangan hati dan kelapangan dada dalam setiap qadar Allah.
Beliau menyebutkan 4 tanda utama:
1. Ridha terhadap segala keputusan Allah, baik yang disenangi maupun tidak.
“Yang bertawakal sejati itu ialah yang tidak membedakan antara diberi atau tidak diberi.”
2. Tidak meminta kepada makhluk, karena semua kebutuhannya ia sampaikan kepada Allah.
3. Tidak menyimpan kecemasan tentang masa depan, karena yakin semua telah tertulis di Lauh Mahfuz.
4. Memandang setiap kesulitan sebagai karunia tersembunyi.
Sebab ia tahu, dalam setiap takdir ada hikmah yang lembut dari Allah.
“Barang siapa mengenal Allah dengan sebenar-benar ma’rifat, maka ia tidak takut kepada siapa pun selain Dia. Itulah hakikat tawakal yang sempurna.”
(Hidayatus Salikin, Bab Tawakal)
🌙 5. Kesimpulan – Ciri Hakiki Orang yang Bertawakal
Aspek Ciri-Ciri Utama
Hati Tenang dalam takdir, tidak bergantung kepada sebab
Perilaku Berusaha sesuai syariat, tidak curang atau mengemis dunia
Akhlak Ridha, sabar, tidak mengeluh, tidak sombong
Keyakinan Yakin Allah yang memberi manfaat dan mudarat
Sikap terhadap dunia Dunia tidak membuatnya lalai, akhirat selalu diingat
🌼 Kata Hikmah Penutup
“Tawakal itu bukanlah tidur tanpa usaha, melainkan terjaganya hati dalam penjagaan Allah.”
— Syekh Abdul Qadir al-Jilani
“Tawakal adalah diamnya hati bersama Allah, setelah segala sebab hilang dari pandangan.”
— Imam al-Ghazali
---
=========================================================================

Tidak ada komentar:
Posting Komentar